Untaian Nasihat Ulama (2)

Bagian 2.
Hakikat dan Pilar-Pilar Ibadah

Makna Ibadah

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Ibadah adalah kecintaan dan tundukan secara total, disertai kesempurnaan rasa takut dan perendahan diri.” (lihat Tafsir al-Fatihah, hal. 49 tahqiq Dr. Fahd ar-Rumi)

Cakupan Ibadah

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibadah mencakup melakukan segala hal yang diperintahkan Allah dan meninggalkan segala hal yang dilarang Allah. Sebab jika seseorang tidak memiliki sifat seperti itu berarti dia bukanlah seorang ‘abid/hamba. Seandainya seorang tidak melakukan apa yang diperintahkan, maka orang itu bukanlah hamba yang sejati. Seandainya seorang tidak meninggalkan apa yang dilarang, maka orang itu juga bukan hamba yang sejati. Seorang hamba -yang sejati- adalah yang menyesuaikan dirinya dengan apa yang dikehendaki Allah secara syar’i.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz ‘Amma, hal. 15)

Pentingnya Ibadah Hati

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa yang mencermati syari’at, pada sumber-sumber maupun ajaran-ajarannya. Dia akan mengetahui betapa erat kaitan antara amalan anggota badan dengan amalan hati. Bahwa amalan anggota badan tak akan bermanfaat tanpanya. Dan amalan hati lebih wajib daripada amalan anggota badan. Apakah yang membedakan antara mukmin dengan munafik kalau bukan karena amalan yang tertanam di dalam hati masing-masing di antara mereka berdua? Penghambaan/ibadah hati itu lebih agung daripada ibadah anggota badan, lebih banyak dan lebih kontinyu. Karena ibadah hati wajib di sepanjang waktu.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 14-15)

Sebab Hidupnya Hati

Ibnul Qayyim rahimahullah juga mengatakan, “Hidupnya hati adalah dengan amal, irodah/kehendak, dan himmah/cita-cita. Manusia apabila menyaksikan pada diri seseorang tampaknya perkara-perkara ini, mereka pun mengatakan, “Dia adalah orang yang hatinya hidup.” Sementara hidupnya hati adalah dengan terus-menerus berdzikir dan meninggalkan dosa-dosa.” (lihat al-Majmu’ al-Qayyim, 1/118)

Tanda Kebersihan Hati

‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu mengatakan, “Seandainya bersih hati kalian niscaya ia tidak akan merasa kenyang dari menikmati kalam/ucapan Rabb kalian [yaitu al-Qur’an, pent].” (lihat Tazkiyatun Nufus wa Tarbiyatuha, hal. 48)

Tanda Hati Yang Mati

Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan, “Terkadang hati itu sakit dan semakin parah penyakitnya sementara pemiliknya tidak sadar, karena dia sibuk dan berpaling dari mengetahui hakikat kesehatan hati dan sebab-sebab yang bisa mewujudkannya. Bahkan, terkadang hati itu mati sedangkan pemiliknya tidak menyadari. Tanda kematian hati itu adalah tatkala berbagai luka akibat dosa/keburukan tidak lagi menyisakan rasa perih dan pedih di dalam hati. Demikian pula, tatkala kebodohan tentang kebenaran dan ketidaktahuan dirinya tentang akidah-akidah yang batil tidak lagi membuatnya merasa kesakitan. Sebab, hati yang hidup akan merasakan perih apabila ada sesuatu yang jelek dan nista yang merasuki jiwanya, dan ia akan merasa kesakitan akibat tidak mengetahui kebenaran; hal ini akan bisa dirasakan berbanding lurus dengan tingkat kehidupan yang ada di dalam hatinya.” (lihat al-Majmu’ al-Qayyim, 1/131)

Mencari Hati

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Carilah hatimu pada tiga tempat; ketika mendengarkan bacaan al-Qur’an, pada saat berada di majelis-majelis dzikir/ilmu, dan saat-saat bersendirian. Apabila kamu tidak berhasil menemukannya pada tempat-tempat ini, maka mohonlah kepada Allah untuk mengaruniakan hati kepadamu, karena sesungguhnya kamu sudah tidak memiliki hati.” (lihat al-Fawa’id, hal. 143)

Musibah Kerasnya Hati

Hudzaifah al-Mar’asyi rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang tertimpa musibah yang lebih berat daripada kerasnya hati.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 661)

Sebab Kerasnya Hati

Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Dua perkara yang akan mengeraskan hati, yaitu terlalu banyak berbicara dan terlalu banyak makan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 657)

Sebab Hancurnya Hati

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menginginkan kejernihan hatinya hendaknya dia lebih mengutamakan Allah daripada menuruti berbagai keinginan hawa nafsunya. Hati yang terkungkung oleh syahwat akan terhalang dari Allah sesuai dengan kadar kebergantungannya kepada syahwat. Hancurnya hati disebabkan perasaan aman dari hukuman Allah dan terbuai oleh kelalaian. Sebaliknya, hati akan menjadi baik dan kuat karena rasa takut kepada Allah dan berdzikir kepada-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 95)

Pilar-Pilar Ibadah

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Ibadah yang diperintahkan itu mengandung perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini ditopang oleh tiga pilar; cinta, harap, dan takut. Ketiga pilar ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satunya maka dia belum beribadah kepada Allah dengan benar. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 35 cet. Dar Ibnu Khuzaimah)

Takut dan Harapan

‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu berkata, “Seandainya ada yang berseru dari langit: ‘Wahai umat manusia masuklah kalian semuanya ke dalam surga kecuali satu orang’ aku takut orang itu adalah aku. Dan seandainya ada yang berseru dari langit: ‘Wahai umat manusia, masuklah masuklah kalian semuanya ke dalam neraka kecuali satu’, maka aku berharap orang itu adalah aku.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 301)

Pokok Amalan

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “…Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak madharat. Apabila dia melakukan sesuatu; maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakekat/inti daripada ibadah. Sebab seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta niscaya ibadahmu akan terasa hampa dan tidak ada ruhnya sama sekali…” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/3] cet. Maktabah al-‘Ilmu)

Cinta dan Pengagungan

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara; cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta maka seorang berjuang menggapai keridhaan sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya maka kamu merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu berharap dan mencari keridhaan-Nya.” (lihat asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’ [1/9] cet. Mu’assasah Aasam)

Makna Tauhid

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “.. Beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, inilah makna tauhid. Adapun beribadah kepada Allah tanpa meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, ini bukanlah tauhid. Orang-orang musyrik beribadah kepada Allah, akan tetapi mereka juga beribadah kepada selain-Nya sehingga dengan sebab itulah mereka tergolong sebagai orang musyrik. Maka bukanlah yang terpenting itu adalah seorang beribadah kepada Allah, itu saja. Akan tetapi yang terpenting ialah beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kalau tidak seperti itu maka dia tidak dikatakan sebagai hamba yang beribadah kepada Allah. Bahkan ia juga tidak menjadi seorang muwahhid/ahli tauhid. Orang yang melakukan sholat, puasa, dan haji tetapi dia tidak meninggalkan ibadah kepada selain Allah maka dia bukanlah muslim…” (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1 hal. 38-39)

Salah Paham Mengenai Tauhid

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Bukanlah makna tauhid sebagaimana apa yang dikatakan oleh orang-orang jahil/bodoh dan orang-orang sesat yang mengatakan bahwa tauhid adalah dengan anda mengakui bahwa Allah lah sang pencipta dan pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan, dan yang mengatur segala urusan. Ini tidak cukup. Orang-orang musyrik dahulu telah mengakui perkara-perkara ini namun hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam…” (lihat at-Tauhid, Ya ‘Ibadallah, hal. 22)

Tidak Boleh Beribadah Kepada Para Wali

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Allah tidak ridha dipersekutukan bersama-Nya dalam hal ibadah dengan siapa pun juga. Tidak malaikat yang dekat ataupun nabi yang diutus. Tidak juga wali diantara para wali Allah. Dan tidak juga selain mereka. Ibadah adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun para wali dan orang-orang salih, bahkan para rasul dan malaikat sekali pun maka tidak boleh menujukan ibadah kepada mereka dan tidak boleh berdoa kepada mereka sebagai sekutu bagi Allah ‘azza wa jalla. Perkara yang semestinya dan wajib bagi kita adalah mencintai orang-orang salih dan mengikuti keteladanan mereka serta mengikuti jalan mereka. Adapun ibadah, maka itu adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala semata….” (lihat at-Tauhid, Ya ‘Ibadallah, hal. 25-26)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *