Untaian Nasihat Ulama (1)

Bagian 1.
Keutamaan Tauhid

Sumber Kebaikan

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu perkara yang memiliki dampak yang baik serta keutamaan beraneka ragam seperti halnya tauhid. Karena sesungguhnya kebaikan di dunia dan di akherat itu semua merupakan buah dari tauhid dan keutamaan yang muncul darinya.” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 16)

Sebab Keselamatan

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Di antara keutamaan tauhid yang paling agung adalah ia merupakan sebab yang menghalangi kekalnya seorang di dalam neraka, yaitu apabila di dalam hatinya masih terdapat tauhid meskipun seberat biji sawi. Kemudian, apabila tauhid itu sempurna di dalam hati maka akan menghalangi masuk neraka secara keseluruhan/tidak masuk neraka sama sekali.” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 17)

Wajib Belajar Aqidah

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Barangsiapa menghendaki keselamatan bagi dirinya, menginginkan amal-amalnya diterima dan ingin menjadi muslim yang sejati, maka wajib atasnya untuk memperhatikan perkara aqidah. Yaitu dengan cara mengenali aqidah yang benar dan hal-hal yang bertentangan dengannya dan membatalkannya. Sehingga dia akan bisa membangun amal-amalnya di atas aqidah itu. Dan hal itu tidak bisa terwujud kecuali dengan menimba ilmu dari ahli ilmu dan orang yang memiliki pemahaman serta mengambil ilmu itu dari para salaf/pendahulu umat ini.” (lihat al-Ajwibah al-Mufidah ‘ala As’ilatil Manahij al-Jadidah, hal. 92)

Wajib Mengenali Syirik

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Wajib untuk mempelajari tauhid dan mengenalinya sehingga seorang insan bisa berada di atas ilmu yang nyata. Apabila dia mengenali tauhid maka dia juga harus mengenali syirik apakah syirik itu; yaitu dalam rangka menjauhinya. Sebab bagaimana mungkin dia menjauhinya apabila dia tidak mengetahuinya. Karena sesungguhnya jika orang itu tidak mengenalinya -syirik- maka sangat dikhawatirkan dia akan terjerumus di dalamnya dalam keadaan dia tidak menyadari…” (lihat at-Tauhid, ya ‘Ibaadallah, hal. 27)

Mengenali Kebatilan untuk Dijauhi

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka tidaklah cukup seorang insan dengan mengenali kebenaran saja. Akan tetapi dia harus mengenali kebenaran dan juga mengenali kebatilan. Dia kenali kebenaran untuk dia amalkan. Dan dia kenali kebatilan untuk dia jauhi. Karena apabila dia tidak mengenali kebatilan niscaya dia akan terjerumus ke dalamnya dalam keadaan dia tidak mengerti…” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 62)

Nilai Penting Tauhid

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka tidak akan bisa mengenali nilai kesehatan kecuali orang yang sudah merasakan sakit. Tidak akan bisa mengenali nilai cahaya kecuali orang yang berada dalam kegelapan. Tidak mengenali nilai penting air kecuali orang yang merasakan kehausan. Dan demikianlah adanya. Tidak akan bisa mengenali nilai makanan kecuali orang yang mengalami kelaparan. Tidak bisa mengenali nilai keamanan kecuali orang yang tercekam dalam ketakutan. Apabila demikian maka tidaklah bisa mengenali nilai penting tauhid, keutamaan tauhid dan perealisasian tauhid kecuali orang yang mengenali syirik dan perkara-perkara jahiliyah supaya dia bisa menjauhinya dan menjaga dirinya agar tetap berada di atas tauhid…” (lihat I’anatul Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid, 1/127-128)

Asas Agama Islam

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia’nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid, 1/17)

Kunci Persatuan Umat

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menasihatkan, “Apabila para da’i pada hari ini hendak menyatukan umat, menjalin persaudaraan dan kerjasama, sudah semestinya mereka melakukan ishlah/perbaikan dalam hal aqidah. Tanpa memperbaiki aqidah tidak mungkin bisa mempersatukan umat. Karena ia akan menggabungkan berbagai hal yang saling bertentangan. Meski bagaimana pun cara orang mengusahakannya; dengan diadakan berbagai mu’tamar/pertemuan atau seminar untuk menyatukan kalimat. Maka itu semuanya tidak akan membuahkan hasil kecuali dengan memperbaiki aqidah, yaitu aqidah tauhid…” (lihat Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah, hal. 16)

Kewajiban Paling Wajib

Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah berkata, “… Sesungguhnya memperhatikan perkara tauhid adalah prioritas yang paling utama dan kewajiban yang paling wajib. Sementara meninggalkan dan berpaling darinya atau berpaling dari mempelajarinya merupakan bencana terbesar yang melanda. Oleh karenanya, setiap hamba wajib mempelajarinya dan mempelajari hal-hal yang membatalkan, meniadakan atau menguranginya, demikian pula wajib untuk mempelajari perkara apa saja yang bisa merusak/menodainya.” (lihat asy-Syarh al-Mujaz, hal. 8)

Pokok Seluruh Ajaran Agama

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya tauhid menjadi perintah yang paling agung disebabkan ia merupakan pokok seluruh ajaran agama. Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan ajakan itu (tauhid), dan beliau pun memerintahkan kepada orang yang beliau utus untuk berdakwah agar memulai dakwah dengannya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 41)

Dakwah Kepada Pondasi Agama

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka wajib atas orang-orang yang mengajak/berdakwah kepada Islam untuk memulai dengan tauhid, sebagaimana hal itu menjadi permulaan dakwah para rasul ‘alaihmus sholatu was salam. Semua rasul dari yang pertama hingga yang terakhir memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Karena tauhid adalah asas/pondasi yang di atasnya ditegakkan agama ini. Apabila tauhid itu terwujud maka bangunan [agama] akan bisa tegak berdiri di atasnya…” (lihat at-Tauhid Ya ‘Ibaadallah, hal. 9)

Pentingnya Tauhid dan Bahaya Syirik

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Tidaklah diragukan bahwasanya Allah subhanahu telah menurunkan Al-Qur’an sebagai penjelas atas segala sesuatu. Dan bahwasanya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menjelaskan Al-Qur’an ini dengan penjelasan yang amat gamblang dan memuaskan. Dan perkara paling agung yang diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an ini adalah persoalan tauhid dan syirik. Karena tauhid adalah landasan Islam dan landasan agama, dan itulah pondasi yang dibangun di atasnya seluruh amal. Sementara syirik adalah yang menghancurkan pondasi ini, dan syirik itulah yang merusaknya sehingga ia menjadi lenyap…” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 14)

Konsekuensi Kalimat Tauhid

Ada yang berkata kepada al-Hasan, “Sebagian orang mengatakan: Barangsiapa mengucapkan laa ilaha illallah maka dia pasti masuk surga.”? Maka al-Hasan menjawab, “Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaha illallah kemudian dia menunaikan konsekuensi dan kewajiban darinya maka dia pasti masuk surga.” (lihat Kitab at-Tauhid; Risalah Kalimat al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullah, hal. 40)

Kunci Surga

Dikatakan kepada Wahb bin Munabbih rahimahullah, “Bukankah laa ilaha illallah adalah kunci surga?”. Beliau menjawab, “Benar. Akan tetapi tidaklah suatu kunci melainkan memiliki gerigi-gerigi. Apabila kamu datang dengan membawa kunci yang memiliki gerigi-gerigi itu maka dibukakanlah [surga] untukmu. Jika tidak, maka ia tidak akan dibukakan untukmu.” (lihat Kitab at-Tauhid; Risalah Kalimat al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, hal. 40)

Resep Menjadi Ahli Tauhid

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Washobi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah wahai saudaraku sesama muslim, semoga Allah memberikan taufik kepadaku dan kepadamu, bahwa seorang insan tidaklah termasuk ahli tauhid yang sebenarnya kecuali setelah dia mengesakan Allah dalam melakukan segala bentuk ibadah.” (lihat al-Qaul al-Mufid fi Adillati at-Tauhid, hal. 32)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *