Unsur Ketakwaan

Bismillah.

Para ulama kita telah menjelaskan berbagai pengertian tentang takwa dan keutamaannya. Diantara definisi takwa yang paling indah adalah keterangan Thalq bin Habib rahimahullah, bahwa takwa itu adalah melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah (keimanan dan ilmu) dengan mengharap pahala Allah serta meninggalkan maksiat di atas cahaya dari Allah karena takut hukuman Allah. Riwayat ini dibawakan oleh Ibnul Mubarok dalam kitab az-Zuhd no 1343.

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah mengambil faidah berharga dari definisi ini. Bahwa takwa itu memiliki permulaan/start dan tujuan/target yang hendak dicapai. Adapun permulaan atau pondasinya adalah keimanan. Sementara iman tidak akan tegak dan benar kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itu ulama yang lain juga menjelaskan bahwa yang dimaksud di atas cahaya dari Allah adalah di atas bashirah/ilmu yang nyata dalam beragama. Target dari takwa adalah untuk meraih pahala dan selamat dari hukuman atau siksa.

Apa yang beliau jelaskan itu mengandung pelajaran yang penting bagi kita; bahwa untuk mewujudkan ketakwaan kepada Allah seorang muslim harus senantiasa menimba ilmu dan mengamalkannya. Takwa juga tidak bisa terlepas dari amalan-amalan hati seperti takut, harap dan cinta. Karena itulah para ulama menyatakan bahwa keutamaan amal itu berbeda-beda tingkatannya diantara sebab utamanya adalah karena perbedaan kualitas amalan-amalan hati berupa keimanan (di hati) dan keikhlasan.

Oleh sebab itu Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu hanya dengan berangan-angan atau menghiasi penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan-amalan.” Amalan hati juga akan sangat mempengaruhi kualitas ketaatan dan ibadah seorang hamba. Sebagian salaf berkata, “Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niatnya, dan betapa banyak amal besar menjadi kecil juga gara-gara niatnya.”

Orang yang bertakwa tidak bisa tidak -harus- selalu terikat dengan aturan dan hukum agama. Itulah yang diisyaratkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah pahamkan dia dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Orang yang paling paham agama adalah yang paling takut kepada Rabbnya. Bukan semata-mata diukur dengan luasnya wawasan atau banyaknya hafalan. Karena itulah Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Bukanlah ilmu dengan banyaknya riwayat, tetapi hakikat ilmu adalah khosy-yah/rasa takut kepada Allah.”

Referensi : Hakikat Taqwa oleh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr link : https://al-badr.net/muqolat/7719

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *