Bismillah.
Diantara bacaan yang sering kita ucapkan setiap hari bahkan dalam setiap rakaat sholat adalah kalimat pujian kepada Allah ‘alhamdulillah’ yang artinya ‘segala puji bagi Allah’.
Para ulama menjelaskan bahwa pujian bagi Allah ada 2 macam; pertama, pujian atas kesempurnaan dzat, nama dan sifat serta perbuatan-Nya, dan yang kedua adalah pujian atas nikmat yang Allah berikan kepada kita. Pujian kepada Allah ini adalah suatu pujian khusus karena ia dibangun di atas kecintaan/mahabbah. Karena tidaklah dikatakan sebagai hamd/pujian -dalam bahasa arab- kecuali jika berasal dari rasa cinta dan pengagungan.
Dari sini para ulama menerangkan bahwa di dalam kalimat alhamdulillah terkandung salah satu pilar ibadah hati yang sangat agung yaitu kecintaan kepada Allah. Cinta adalah penggerak amalan. Tidaklah orang melakukan sesuatu atau meninggalkan kecuali landasan utamanya adalah cinta atau tidak cinta. Sementara hati manusia telah tercipta dalam keadaan cinta kepada siapa saja yang telah berbuat ihsan/kebaikan kepada dirinya.
Padahal tidak ada yang lebih berjasa dan lebih besar kebaikannya kepada kita selain Allah. Oleh sebab itu hanya Allah yang patut untuk dicintai dengan bentuk kecintaan yang tertinggi. Karena itu ibadah kepada Allah haruslah mengandung puncak kecintaan, di samping itu ia juga harus dibarengi dengan puncak perendahan diri dan kepatuhan kepada-Nya.
Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan bahwa ibadah kepada Allah itu mencakup puncak kecintaan dan perendahan diri hamba kepada-Nya; itulah dua kutub/poros penghambaan kepada Allah. Dengan bahasa lain bahwa kalimat ‘alhamdulillah’ ini pada hakikatnya mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa kita wajib mencintai Allah dengan puncak kecintaan dan disertai ketundukan sepenuhnya.
Sebagaimana dikatakan oleh orang arab innal muhibba liman yuhibbu muthii’u; bahwa orang yang mencintai itu pastilah tunduk/patuh kepada siapa yang dicintainya. Jika setiap hari kita memuji Allah, kita berusaha terus bersyukur kepada-Nya atas nikmat tiada terhingga, kita pun menunaikan apa-apa yang Allah perintahkan dan menjauhi larangan-Nya; makalah barulah orang itu pantas disebut sebagai orang yang cinta dengan sebenarnya kepada Allah Rabb seru sekalian alam.
Adapun orang yang menobatkan hawa nafsu sebagai komandan bagi kehidupan dan kebudayaannya maka dia lebih layak disebut sebagai pemuja dinar dan dirham, pemuja kesenangan dunia yang fana dan sementara; pemuja sebuah pohon ‘dunia’ yang akan tumbang; cepat atau lambat…
Wallahul muwaffiq. Hanya Allah yang bisa berikan taufik kepada kami dan anda.
Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com