Para ulama menjelaskan bahwa kebahagiaan adalah di tangan Allah, dan hal itu tidak akan bisa diraih kecuali dengan ketaatan kepada Allah. Ketaatan kepada Allah itu tersimpulkan dalam tiga keadaan; ketika diberi nikmat bersyukur, ketika ditimpa musibah bersabar, dan ketika terjerumus dalam dosa maka beristighfar. Inilah tiga tanda kebahagiaan hamba, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam mukadimah al-Wabil ash-Shayyib.
Karena itulah, termasuk perkara yang sangat indah dan menunjukkan kemuliaan dakwah ini, apa yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di dalam mukadimah risalahnya al-Qawa’id al-Arba’. Dimana beliau meniti jalan sebagaimana jalan yang ditempuh oleh Ibnul Qayyim rahimahullah tersebut. Beliau mendoakan bagi orang-orang yang membaca risalahnya agar termasuk orang yang memiliki ketiga hal itu. Apabila diberi nikmat maka bersyukur, apabila ditimpa musibah bersabar, dan apabila berbuat dosa maka beristighfar.
Ketaatan kepada Allah -sebagaimana diterangkan para ulama- bermakna tunduk kepada perintah dan larangan-Nya. Yaitu dengan melaksanakan perintah serta menjauhi larangan. Ketiga hal tersebut -syukur, sabar, dan istighfar- adalah termasuk hal-hal yang diperintahkan oleh Allah. Bahkan bisa kita katakan bahwa ketiga hal ini merupakan pokok-pokok ketaatan.
Syukur kepada Allah dibangun oleh tiga hal; pengakuan secara batin bahwa segala nikmat datang dari Allah -bukan dari kemampuan dan kehebatan diri kita-, memuji Allah atas nikmat-nikmat itu dengan lisan kita, dan menggunakan segala nikmat itu hanya dalam ketaatan kepada-Nya. Maka bukanlah termasuk syukur kepada Allah menisbatkan nikmat dan rizki kepada selain Allah, seperti menisbatkan turunnya hujan kepada rasi bintang ini dan itu. Bahkan perkara semacam itu adalah termasuk kekufuran dan syirik kepada-Nya.
Dan salah satu kenikmatan terbesar yang diberikan Allah kepada kita -umat manusia- adalah nikmat kehidupan. Dimana Allah telah menciptakan kita padahal sebelumnya kita tidak ada. Allah berikan rizki kepada kita padahal sebelumnya kita tidak punya apa-apa. Maka termasuk bentuk syukur yang paling utama -bahkan ini adalah asasnya- yaitu mentauhidkan Allah dalam beribadah. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21)
Oleh sebab itu, Allah juga berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2). Yang dimaksud orang yang terbaik amalnya -sebagaimana ditafsirkan oleh Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah– adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas yaitu apabila amal itu dikerjakan murni karena Allah, sedangkan benar apabila berada di atas tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan termasuk perkara bid’ah.
Dengan demikian tauhid merupakan pokok dari syukur kepada Allah. Tidaklah dikatakan bersyukur kepada Allah dengan sebenarnya kecuali orang yang mentauhidkan-Nya. Tauhid inilah hak Allah atas segenap hamba. Sebagaimana disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hak Allah atas setiap hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh sebab itu syirik kepada Allah merupakan bagian dari kufur kepada nikmat Allah. Bagaimana mungkin Allah dipersekutukan dalam hal ibadah, padahal hanya Allah yang menciptakan dan memberi rizki, kemudian ibadah justru diberikan kepada selain-Nya?! Sebagaimana dikatakan oleh para ulama, bahwa Dzat yang menciptakan segala sesuatu itulah yang layak untuk disembah. Sebagaimana kita mengakui bahwa hanya Allah yang menciptakan maka semestinya kita juga menujukan ibadah hanya kepada-Nya.
Bahkan dengan sebab syirik itulah semua amal menjadi tertolak dan sia-sia. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu, dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)
Oleh sebab itu sungguh aneh dan mengherankan apa yang dilakukan oleh sebagian orang di masa kini yang mereka memberikan sebagian ibadah kepada selain Allah -dalam bentuk ritual persembahan, sembelihan, sesaji, dsb- dengan alasan untuk bersyukur kepada Yang Maha Pencipta yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Apakah dikatakan bersyukur kepada-Nya jika seorang hamba melakukan perbuatan syirik dengan menujukan ibadah kepada selain-Nya?! Apakah perbuatan semacam ini layak untuk disebut sebagi pujian dan sanjungan kepada Allah; ataukah justru sebaliknya, bahwa sesungguhnya itu merupakan celaan dan penghinaan kepada-Nya?!
Aduhai, betapa buruknya tipu daya Iblis kepada umat manusia! Sehingga peribadatan kepada selain Allah dan kekafiran kepada-Nya justru dihias-hiasi dan dipoles sedemikian rupa -dengan syubhat dan kerancuan pemikiran- supaya tampak indah di hadapan manusia. Inilah program Iblis dan bala tentaranya untuk menyesatkan bani Adam dari jalan yang lurus.
Adapun di dalam sabar dan istighfar maka sesungguhnya di sinilah terletak nilai penghambaan kepada Allah. Ketika seorang hamba ridha kepada takdir Allah dan bersabar menerima musibah yang menimpanya. Ketika seorang hamba menyadari kesalahan dan dosanya kemudian memohon ampunan dan bertaubat kepada-Nya. Sebagaimana halnya tauhid dan syukur adalah pondasi penghambaan kepada Allah. Inilah yang Allah kehendaki dari manusia ketika Allah menciptakan mereka. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)
Dengan syukur maka seorang hamba membuktikan kecintaannya kepada Allah, dan dengan sabar dan istighfar seorang hamba membuktikan perendahan dirinya kepada Allah. Karena sesungguhnya ibadah kepada Allah itu memadukan antara puncak kecintaan dan puncak perendahan diri, sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah.
Tidaklah dikatakan beribadah kepada Allah orang yang tidak mencintai-Nya. Dan tidak dikatakan beribadah kepada Allah orang yang tidak tunduk merendahkan diri kepada-Nya. Oleh sebab itu ibadah kepada Allah harus senantiasa ditegakkan di atas kecintaan dan pengagungan kepada-Nya. Bukan semata-mata ketaatan secara fisik tanpa keimanan di dalam hati pelakunya. Apakah yang membedakan orang beriman dengan orang munafik kecuali apa-apa yang tertanam di dalam hati mereka? Syukur ketika mendapatkan nikmat, sabar ketika ditimpa musibah, dan bertaubat dari dosa; maka ini semua adalah perkara-perkara yang harus berangkat dari dalam hati pelakunya.
Sehingga bukanlah syukur kepada Allah jika seorang hamba melakukan ibadah tanpa keikhlasan atau riya’ kepada manusia. Demikian pula bukan termasuk sabar yang benar apabila seorang beristighotsah kepada selain Allah dan bertawakal kepada selain-Nya ketika dirundung musibah dan malapetaka. Demikian juga bukanlah termasuk istighfar dan taubat kepada Allah apabila seorang hamba meninggalkan maksiat demi mencari pujian dan kedudukan di mata manusia.
Hal ini semua menunjukkan kepada kita bahwa ibadah apapun maka tidak bisa dilepaskan dari tauhid dan keikhlasan. Tidak akan diterima di sisi Allah syukur, sabar, dan istighfar apabila tidak dilandasi dengan tauhid dan keikhlasan. Oleh sebab itu Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dengan hanif…” (al-Bayyinah : 5)