Penerjemah : Ustadz Didik Suyadi hafizhahullah
Syaikh Shalih bin Fauzan Abdullah Al Fauzan hafidzahullah ditanya :
أحسن الله إليكم صاحب الفضيلة وهذا سائل يقول : فهمنا من فضيلتكم أن من ليس على السنة فليس بمسلم ، فهل هذا في كل مخالف للسنة ، وفي كل مسألة ؟
Syaikh yang mulia, semoga Allah memberi kebaikan kepadamu. Seorang penanya berkata : Kami memahami dari perkataan anda bahwa orang yang tidak berada diatas sunnah maka bukan seorang muslim, apakah ini terjadi pada semua orang yang menyelisihi sunnah dan terjadi dalam semua masalah ?
الجواب : أنا ماقلت هذا ، ما قلت كل مخالف للسنة ليس بمسلم ، أقول يتفاوت هذا ، يتفاوت هذا ، منه ما يكون ليس بمسلم إذا خالف في العقيدة ، أشرك بالله أو دعا غير الله أو جحد أسماءه وصفاتِه هذا ليس بمسلم ،
أما إذا كان خالف السنة في أشياء مستحبة أو أشياء واجبة فهذا يعتبر ضلالاً ، ولا يعتبر كفراً ، يعتبر ضلالاً بقدره وبدعة ، ويعتبر عليه الوعيد ، فلا تأخذوا الأمور على إطلاقها ، لابد من التفصيل في هذا الأمر . نعم .
وهذا الذي يوجب على المسلم أن يطلب العلم ، لأنه قد يأخذ هذه النصوص على ظاهرها ويكفر الناس ، ولا يرجع إلى أهل العلم ، ولا يرجع إلى الأدلة التي تفسرها وتبينها وتوضحها ، لأنه ما يعرف ولا يدري . نعم .
Jawab :
Saya tidak mengatakan hal ini. Saya tidak mengatakan bahwa setiap orang yang menyelisihi sunnah bukanlah seorang muslim. Namun yang saya katakan adalah bahwa dalam masalah ini (status seseorang itu) bertingkat-tingkat. Ada orang yang tidak dihukumi sebagai seorang muslim jika dia menyelisihi dalam masalah aqidah, seperti berbuat kesyirikan, berdo’a kepada selain Allah, menolak semua nama dan sifat-Nya, orang yang melakukan demikian bukanlah seorang muslim.
Adapun jika dia menyelisihi Sunnah dalam perkara-perkara yang hukumnya mustahab (dianjurkan) atau dalam perkara wajib, dia termasuk orang yang sesat namun bukan orang kafir. Kesesatannya sekadar dengan tingkat kebid’ahannya dan dia berhak mendapat ancaman. Maka janganlah kalian mengambil perkara ini secara muthlaq, namun hendaknya yang kalian lakukan adalah merinci perkara ini, na’am.
Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim untuk menuntut ilmu, karena bisa jadi seseorang itu mengambil dan menerapkan dalil-dalil sesuai dengan dzahirnya sehingga dia mengkafirkan manusia. Dia tidak mengembalikan perkara tersebut kepada para ulama’, tidak mengembalikannya kepada dalil-dalil yang menjelaskan dan mentafsirkan (perkara yang masih belum jelas) tersebut, disebabkan karena ketidaktahuannya, na’am.
Sumber Artikel : Blog Ustadz Didik [klik]