Bismillah.
Sebuah doa yang selalu kita panjatkan di dalam sholat yaitu bacaan ihdinash shirathal mustaqim, yang artinya, “Ya Allah tunjukilah Kami jalan yang lurus.” (al-Fatihah)
Para ulama menjelaskan bahwa hidayah itu ada 2 macam; hidayah berupa ilmu dan keterangan, dan hidayah berupa bantuan, ilham, dan pertolongan. Hidayah yang pertama disebut hidayatul irsyad wal bayan, sedangkan jenis yang kedua dinamakan hidayatut taufiq.
Ini menunjukkan bahwa setiap hari kita meminta kepada Allah petunjuk agar diberi tambahan ilmu dan penjelasan serta bantuan agar bisa tetap istiqomah di atas kebenaran. Untuk bisa istiqomah di atas Islam seorang butuh ilmu dan pertolongan dari Allah. Kalau bukan karena bimbingan dan bantuan dari-Nya maka tidak bisa melakukan apa-apa.
Para ulama juga menjelaskan bahwa hakikat jalan yang lurus itu adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya. Dengan bahasa lain jalan lurus adalah jalan yang menggabungkan antara ilmu yang bermanfaat dan amal salih. Ilmu yang bermanfaat adalah yang membuahkan rasa takut kepada Allah dan melahirkan amalan dalam kehidupan. Amal salih adalah amalan yang ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (Fathir : 28). Ayat tersebut memberikan pelajaran kepada kita bahwa ilmu yang bermanfaat adalah yang membuahkan rasa takut kepada Allah. Oleh sebab itu seorang ulama besar diantara para sahabat yang bernama Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi ilmu adalah rasa takut.”
Apabila kita memohon hidayah kepada Allah dan tercakup di dalamnya adalah permohonan untuk mendapatkan ilmu dan keterangan, maka sesungguhnya kita juga memohon kepada Allah untuk diberikan ketakwaan dan rasa takut kepada-Nya. Dalam sebuah doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kita diajari memohon kepada Allah ketakwaan jiwa. Doa itu berbunyi ‘Allahumma aati nafsi taqwaahaa, wa zakkihaa anta khairu man zakkaahaa, anta waliyyuhaa wa maulaahaa’ yang artinya, “Ya Allah berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya, sucikanlah ia, Engkau lah sebaik-baik yang menyucikannya, Engkau lah penolongnya dan tuannya.” (HR. Muslim)
Sebagaimana kita sering berdoa kepada Allah agar diberi kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Semisal doa yang berbunyi ‘Rabbana aatina fid dun-ya hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa ‘adzaaban naar’ yang artinya, “Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa neraka.” Para ulama menjelaskan bahwa kebaikan di dunia itu antara lain adalah ilmu dan ibadah, sedangkan kebaikan di akhirat adalah surga.
Sesungguhnya doa merupakan bukti keseriusan seorang hamba dalam beribadah kepada Rabbnya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabb kalian berfirman : Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.” (Ghafir : 60). Ini memberikan faidah bahwa doa adalah bagian dari ibadah, bahkan doa itulah seutama-utama ibadah.
Apabila doa itu ibadah maka ia hanya boleh ditujukan kepada Allah. Tidak boleh berdoa kepada selain Allah karena hal itu termasuk syirik dan kekafiran. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah maka janganlah kalian berdoa/menyeru kepada selain Allah bersama-Nya siapa pun juga.” (al-Jin : 18). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan Rabbmu telah memerintahkan; Janganlah kalian beribadah kecuali kepada-Nya.” (al-Israa’ : 23)
Setiap hari kita berdoa kepada Allah meminta hidayah. Hal itu menunjukkan bahwa hidayah adalah kebutuhan yang sangat mendesak bagi manusia. Tanpa hidayah maka manusia akan hidup seperti binatang bahkan lebih sesat darinya. Mereka memiliki mata tetapi tidak digunakan untuk melihat kebenaran, memiliki telinga tetapi tidak digunakan untuk mendengar kebaikan, memiliki hati tetapi tidak dipakai untuk memikirkan dan merenungkan ayat-ayat-Nya. Bahkan Allah menyebut orang yang tenggelam dalam syirik dan kekafiran sebagai orang yang menjadi mayat akibat kebodohan yang menimpa hatinya dan jauhnya mereka dari mengingat Allah dan hari akhirat.
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan orang yang tidak ingat Allah seperti orang yang sudah lenyap nyawanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya seperti perumpamaan orang hidup dengan orang yang sudah mati/mayat.” (HR. Bukhari). Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan…” Begitu pula ilmu agama ini diserupakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan curahan air hujan yang menyirami bumi; yang dengan air itu tanam-tanaman hidup dan ternak pun bisa minum darinya. Maka kebutuhan kepada ilmu dan hidayah itu jauh berada di atas semua kebutuhan manusia.
Sampai-sampai dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, “Manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari sekali atau dua kali. Adapun lmu dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.” Sayangnya, kita dapati banyak orang menganggap belajar ilmu agama bukan menjadi kebutuhan pokok mereka. Padahal paham agama merupakan syarat mendapatkan kebaikan-kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Padahal, kalau kita cermati sekali lagi bahwa setiap hari kita berdoa meminta hidayah, dan itu artinya kita meminta ilmu dan petunjuk dari Allah. Bukan hanya sekali kita minta, bahkan lebih dari tujuh belas kali dalam sehari semalam. Tentu itu bukan jumlah yang sedikit. Kita tahu bahwa kita butuh kepada Allah tetapi kita sering lalai dari mengingat-Nya. Kita tahu bahwa kita butuh bantuannya dan tidak bisa terlepas dari pertolongan-Nya sekejap mata pun tetapi kita sering lalai dalam berdoa kepada-Nya. Kita juga tahu bahwa kita ini penuh kebodohan tetapi betapa seringnya kita berpaling dari ilmu dan para ulama. Sebagaimana kebutuhan kita kepada ilmu begitu besar maka demikian pula kebutuhan manusia kepada ulama. Sampai-sampai dikatakan oleh sebagian salaf, “Kalau bukan karena keberadaan para ulama niscaya manusia seperti binatang.”
Diantara ulama yang paling besar jasanya kepada umat ini adalah para ulama Ahlus Sunnah pembela hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf, “Para malaikat adalah penjaga-penjaga langit, sementara para ulama ahli hadits adalah penjaga-penjaga bumi.” Tidaklah yang dimaksud sebagai ulama ahli hadits yang sejati melainkan mereka yang benar-benar berpegang teguh dengan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik rahimahullah berkata, “as-Sunnah ini seperti kapal Nabi Nuh. Barangsiapa menaikinya akan selamat dan barangsiapa yang tertinggal darinya akan tenggelam.”
Dari sini kita bisa mengambil faidah betapa pentingnya kaum muslimin mempelajari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena di dalam hadits itulah terdapat penjelasan dari ayat-ayat al-Qur’an, penjelasan tentang aqidah dan keimanan, penjelasan tentang tata-cara ibadah yang benar, dan penjelasan tentang berbagai adab dan syari’at Islam. Diantara kitab yang paling sering dikaji untuk belajar hadits antara lain adalah kitab al-Arba’in an-Nawawiyah karya Imam Nawawi, Umdatul Ahkam karya Imam Abdul Ghani al-Maqdisi, Bulughul Maram karya Ibnu Hajar, Adabul Mufrad karya Imam Bukhari dan Riyadhus Shalihin karya Imam Nawawi, semoga Allah merahmati mereka.
Dan secara khusus kitab yang memuat hadits-hadits dan ayat-ayat tentang tauhid adalah Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah merupakan kitab yang mengikuti metode penyusunan Shahih Bukhari. Di dalamnya kita bisa belajar tafsir, hadits, dan aqidah sekaligus. Banyak sekali faidah yang tersimpan di dalamnya. Sudah selayaknya para penimba ilmu mempelajari kitab ini dan menyebarkan faidahnya di tengah masyarakat. Diantara buku syarah/penjelasan yang sangat bermanfaat untuk kitab ini adalah al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid karya Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah. Kitab ini juga telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh salah satu murid beliau yaitu Ustaz Dzulqarnain hafizhahullah. Wallahul muwaffiq.