Di dalam kitabnya Umdatul Ahkam, Imam Abdul Ghani al-Maqdisi rahimahullah (wafat 600 H) menyebutkan hadits pertama di dalam kitab Thaharah. Hadits ini berbicara tentang masalah niat.
Dari Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, beliau berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu hanya akan dinilai jika disertai dengan niat-niat.” dalam sebuah riwayat disebutkan, “dengan niat.” “Dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang telah dia niatkan. Barangsiapa hijrah karena Allah dan rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrah karena dunia yang ingin dia gapai atau wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits yang agung ini juga disebutkan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) di bagian awal dari al-Arba’in an-Nawawiyah dan Riyadhush Shalihin. Keunikan hadits ini adalah tidak ada yang meriwayatkannya dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam selain Umar, lalu tidak ada yang meriwayatkan dari Umar selain Alqomah bin Waqqash al-Laitsi, lalu tidak ada yang meriwayatkan dari Alqomah selain Muhammad bin Ibrahim at-Taimi, lalu tidak ada yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim selain Yahya bin Sa’id al-Anshari. Adapun setelah itu banyak yang mengambil riwayat ini dari Yahya (lihat Fathul Qawil Matin karya Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah dalam Kutub wa Rasa’il ‘Abdil Muhsin, 3/86)
Hadits ini termasuk hadits yang disebut dengan istilah muttafaq ‘alaih -yang disepakati- maksudnya disepakati oleh Bukhari dan Muslim keabsahannya dan konsekuensinya adalah para ulama juga menyepakati akan kesahihan hadits ini. Hadits yang semacam ini -yang telah disepakati oleh kedua imam tersebut- bisa dipastikan kesahihannya. Dan ilmu yang dibuahkan darinya termasuk ilmu yang bersifat qath’i (pasti) bukan sekedar dhann (dugaan kuat) (lihat al-Muqni’ fi ‘Ulum al-Hadits, 1/76 karya Imam Ibnul Mulaqqin rahimahullah – wafat 804 H)
Di dalam hadits ini terkandung pelajaran yang sangat penting yaitu bahwasanya niat merupakan pondasi amalan dan wajibnya mengikhlaskan amalan. Oleh sebab itu kita wajib mengikhlaskan seluruh amal untuk Allah semata. Hal ini merupakan perwujudan makna syahadat laa ilaha illallah. Karena maksud kalimat tauhid itu adalah memurnikan segala ibadah untuk Allah semata; dan inilah yang dimaksud dalam hadits di atas. Dengan demikian isi hadits ini adalah kaidah yang sangat agung diantara pokok-pokok agama Islam. Karena pentingnya kandungan hadits ini Imam Bukhari rahimahullah mengawali kitabnya Sahih Bukhari dengan hadits ini (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Minhatul Malil al-Jalil, 1/26-27)
Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi rahimahullah (wafat 1163 H) berkata, “Hadits ini merupakan pokok yang agung diantara pokok-pokok agama. Semestinya setiap hamba menghendaki wajah Allah ta’ala dalam amal-amalnya serta menjauhi pujaan selain-Nya. Karena orang yang ikhlas itulah yang beruntung sedangkan orang yang riya’ pasti merugi. Dan ikhlas itu tidak bisa dicapai kecuali oleh orang yang mengetahui keagungan Allah ta’ala dan pengawasan-Nya terhadap segenap makhluk-Nya…” (lihat Tuhfatul Muhibbin bi Syarhil Arba’in, hal. 39)
Hadits ini mengandung pelajaran bahwasanya barangsiapa melakukan amal karena riya’ atau ingin dipuji berdosa. Barangsiapa berjihad dengan niat semata-mata untuk meninggikan kalimat Allah sempurna balasan untuknya. Barangsiapa berjihad karena Allah dan juga karena ingin mendapat ghanimah/harta rampasan perang pahalanya berkurang. Barangsiapa berjihad semata-mata untuk mencari ghanimah dia tidak berdosa tetapi dia tidak mendapatkan pahala orang yang berjihad. Oleh sebab itu niat yang ikhlas merupakan syarat diterimanya seluruh amal (lihat keterangan Syaikh Abdullah alu Bassam rahimahullah dalam Taisir al-‘Allam, 16)