Bismillah. Allahumma yassir…
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, mengenal tujuan kita diciptakan oleh Allah di atas muka bumi ini adalah perkara yang sangat penting lagi mulia. Yang mana setiap insan diciptakan oleh Allah dalam rangka mewujudkan penghambaan sepenuhnya kepada-Nya.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Sebagaimana telah diterangkan oleh para ulama bahwa makna beribadah kepada Allah adalah mentauhidkan-Nya; memurnikan ibadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya.
Tauhid dalam makna yang lebih luas adalah mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya; seperti mencipta, mengatur, dan menguasai alam, begitu pula keesaan Allah dalam hal ibadah dan kesempurnaan nama dan sifat-Nya. Oleh sebab itu para ulama membagi tauhid menjadi 3 macam; tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat.
Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya. Yaitu meyakini bahwa Allah lah yang menciptakan alam ini, yang mengaturnya, dan yang menguasai alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan, yang memberi rezeki, yang menurunkan hujan, yang menumbuhkan tanam-tanaman, dsb. Tauhid rububiyah ini belum bisa memasukkan ke dalam Islam; karena kaum musyrikin pun telah mengakuinya dan hal itu belum membuat mereka bisa tergolong kaum muslimin.
Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba. Yaitu hamba menujukan ibadah kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya; apakah itu nabi, wali, atau malaikat, atau apa pun selain Allah. Segala bentuk ibadah berupa sholat, sembelihan, doa, istighotsah, nadzar, hanya ditujukan kepada Allah, tidak ditujukan kepada selain-Nya. Tauhid uluhiyah atau disebut tauhid ibadah merupakan pokok ajaran Islam dan sebab diturunkannya kitab-kitab dan diutusnya para rasul. Tauhid inilah yang terkandung dalam kalimat laa ilaha illallah. Bahwa tidak ada yang berhak menerima ibadah kecuali Allah semata.
Adapun tauhid asma’ wa shifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya. Yaitu seorang muslim wajib meyakini nama dan sifat Allah sebagaimana yang telah disebutkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa menolak, tanpa menyelewengkan, dan tanpa menyerupakan. Dalam hal tauhid asma’ wa shifat inilah muncul berbagai kelompok yang menyimpang di dalam Islam. Ada kelompok yang terjerumus dalam tasybih; yaitu menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Dan ada pula yang terjerumus dalam ta’thil; yaitu menolak sifat-sifat Allah semacam Jahmiyah.
Diantara kitab ulama yang membahas ilmu tauhid secara detil dan gamblang berdasarkan dalil al-Kitab dan as-Sunnah adalah Kitab Tauhid yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi rahimahullah. Di dalam kitab ini dijelaskan tauhid uluhiyah beserta hal-hal yang merusaknya secara terperinci. Penting bagi seorang penimba ilmu apalagi para da’i untuk mempelajari dan mendalami kandungan kitab ini. Tidak kurang para ulama besar di masa kini -yang telah wafat maupun yang masih hidup- turut mengkaji dan mendalami kitab ini dalam majelis-majelis maupun kitab yang mereka susun.
Ambillah contoh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah; seorang ulama besar dan mufti Arab Saudi pada masanya, pun mengkaji Kitab Tauhid ini dalam majelis-majelisnya. Begitu pula rekan sekaligus muridnya yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah membahas kandungan Kitab Tauhid ini; hingga akhirnya diterbitkan dalam bentuk buku berjudul al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid. Demikian pula ulama berikutnya sekelas Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah, pun mengkaji Kitab Tauhid ini dalam majelis dan juga menulis penjelasan khusus untuknya. Sehingga terbitlah kitab I’anatul Mustafid dan Mulakhosh fi Syarh Kitab at-Tauhid; keduanya adalah karya Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah wa baaraka fi ‘umrihi.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak hanya menulis Kitab Tauhid, bahkan beliau juga menulis kitab-kitab lain untuk menerangkan tauhid; yang pada umumnya adalah kitab-kitab yang ringkas semacam al-Qawa’id al-Arba’ (empat kaidah pokok), Tsalatsatul Ushul (tiga landasan utama), Kasyfu Syubuhat (menyingkap kerancuan), Tafsir Kalimat Tauhid, Nawaqidhul Islam, dsb.
Kitab Tauhid ini -sebagaimana diterangkan para ulama- merupakan jawaban atas berbagai penyimpangan tauhid yang marak di masa beliau hidup dan juga banyak tersebar pada zaman ini. Padahal penyimpangan tauhid ini bisa merusak agama bahkan mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Suatu kenyataan yang sangat memprihatinkan dan patut diperhatikan oleh setiap orang yang merindukan kejayaan Islam dan kaum muslimin. Bagaimana mungkin seorang muslim tidak memperhatikan masalah tauhid; padahal itu merupakan pokok agamanya. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dilahirkan di Uyainah sebuah daerah di dekat kota Riyadh pada tahun 1115 H. Beliau telah menghafal Qur’an semenjak kecil dan belajar agama kepada ayahnya seorang qadhi/hakim di Uyainah pada waktu itu. Beliau juga menimba ilmu agama kepada para ulama lain di Mekkah, Madinah, Bashrah. Dengan bekal ilmu itulah beliau mulai merintis dakwahnya yang penuh berkah untuk mengajak manusia kembali kepada aqidah Islam yang murni dari berbagai kotoran syirik, bid’ah, khurafat dan pemujaan kepada kuburan. Beliau wafat di Dir’iyah pada tahun 1206 H dan meninggalkan ilmu yang bermanfaat bagi kaum muslimin.
Apabila kita cermati usaha beliau dalam menerangkan tauhid ini sungguh usaha yang tidak kenal lelah dan menunjukkan besarnya semangat beliau dalam mencurahkan manfaat bagi umat. Kita ambil contoh misalnya apa yang telah beliau tulis dalam risalahnya Tsalatsatul Ushul (tiga landasan utama) atau yang lebih akrab dengan sebutan Ushul Tsalatsah. Kitab ini menjelaskan pokok-pokok agama Islam secara bertahap kepada kaum muslimin. Pada bagian awal beliau menerangkan tentang kewajiban untuk berilmu, beramal, dakwah, dan sabar. Beliau pun membawakan dalilnya dari al-Qur’an serta menyebutkan perkataan ulama yang menjelaskannya.
Begitu pula apabila kita cermati kitab beliau yang lain semacam al-Qawa’id al-Arba’ yang berisi empat kaidah untuk memahami tauhid dan syirik. Sebelum membahas inti pembicaraan tentang kaidah-kaidah itu beliau memberikan mukadimah khusus yang berisi doa agar Allah menjadi penolong bagi kita di dunia dan di akhirat, dan agar Allah jadikan kita orang yang diberkahi dimana pun berada, dan agar Allah menjadikan kita sebagai orang yang apabila diberi nikmat bersyukur, apabila diberi cobaan/musibah besabar dan apabila berbuat dosa beristighfar.
Begitu pula dalam Kitab Tauhid ini, beliau memberikan beberapa bab di awal dalam rangka memberikan pengertian tentang tauhid ini secara bertahap sebelum merinci berbagai hal yang merusak tauhid atau perkara-perkara yang menjadi bagian dari tauhid. Beliau pun berupaya untuk membawakan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah, dan tidak lupa pula membawakan perkataan para ulama terdahulu di sebagian tempat pembahasan. Beliau tidak banyak membawakan perkataan dari dirinya sendiri di dalam bagian pokok Kitab Tauhid ini.
Pada bagian awal kitab ini, beliau menyebutkan basmalah; yaitu ucapan bismillahirrahmanirrahim. Ini adalah kalimat yang dianjurkan untuk diucapkan atau ditulis di awal kitab. Sebagaimana surat yang dikirimkan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihis salam kepada Ratu Bilqis, demikian pula surat-surat dakwah yang dikirimkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para raja. Sehingga telah menjadi kebiasaan para ulama untuk memulai kitab-kitab mereka dengan basmalah.
Makna ucapan basmalah itu adalah ‘dengan menyebut nama Allah Yang Maha pengasih lagi Maha penyayang’. Di dalam kalimat ini terkandung isti’anah; yaitu memohon pertolongan kepada Allah dengan menyebut nama-nama-Nya yang maha indah/asma’ul husna. Selain itu di dalam kalimat ini juga terkandung tabarruk/mencari berkah atau kebaikan yang banyak dengan memulai pembicaraan dengan menyebut asma’ul husna sebelum yang lainnya.
Dalam kalimat ini terkandung 3 nama Allah; yaitu Allah, ar-Rahman, dan ar-Rahim. Nama Allah bermakna yang berhak disembah. Nama ar-Rahman bermakna yang memiliki sifat kasih sayang yang sangat luas. Nama ar-Rahim bermakna yang mencurahkan rahmat-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara makhluk ciptaan-Nya. Nama Allah dan ar-Rahman tidak boleh digunakan untuk selain Allah, adapun nama Rahim bisa disebutkan untuk makhluk; dalam artian orang yang penyayang, sebagaimana Allah memuji nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang memiliki sifat rahim/kasih sayang kepada orang-orang beriman.
Kemudian, setelah basmalah penulis membawakan judul Kitab Tauhid lalu menyebutkan firman Allah yang menunjukkan hakikat tauhid yaitu ayat (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Dari sini kita bisa mengetahui bahwa hakikat tauhid itu adalah beribadah kepada Allah semata. Inilah yang dikenal dengan istilah tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah.
Maka inti dari tauhid itu adalah mempersembahkan ibadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Bukanlah inti tauhid -sebagaimana yang dianggap oleh sebagian kalangan umat Islam- bahwa tauhid adalah keyakinan Allah sebagai pencipta dan penguasa alam semesta. Karena keyakinan semacam itu belum bisa memasukkan ke dalam Islam; keyakinan semacam itu yang biasa dikenal dengan nama tauhid rububiyah bukanlah inti dakwah para rasul. Karena tauhid rububiyah adalah perkara yang telah tertanam dalam fitrah manusia, bahkan orang kafir sekalipun. Sehingga para rasul tidak perlu susah-susah untuk memahamkan umat dalam hal ini. Yang menjadi titik persengketaan para rasul dengan umatnya adalah dalam hal tauhid ibadah. Oleh sebab itu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak kepada kalimat tauhid mereka menyombongkan diri dan menolaknya. Karena mereka paham maksud dari kalimat ini mengharuskan mereka meninggalkan segala bentuk ibadah kepada selain Allah; dan mereka tidak menyukainya.
Dari sini kita juga perlu memahami apa itu ibadah? Ibadah secara bahasa bermakna perendahan diri dan ketundukan. Adapun secara syari’at yang dimaksud ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan dilandasi kecintaan dan pengagungan. Atau ada pula yang memberikan definisi bahwa ibadah meliputi segala hal yang dicintai oleh Allah; berupa ucapan dan perbuatan; yang tampak dan yang tersembunyi. Sehingga ada ibadah hati, ada ibadah dengan lisan, dan ada ibadah dengan anggota badan.
Dari sini kita bisa mengetahui bahwa tujuan Allah menciptakan kita dalah supaya kita mewujudkan penghambaan kepada Allah dengan melakukan apa-apa yang Allah cintai dan Allah ridhai. Melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian ibadah itu memiliki makna dan cakupan yang sangat luas, bukan hanya terbatas pada sholat, puasa, zakat, dsb. Termasuk dalam ibadah adalah doa, tawakal, nadzar, kurban, cinta, takut, harapan.
Dengan kata lain, seorang bisa mewujudkan ibadah kepada Allah dimana pun dan kapan pun. Apakah dia seorang rakyat atau pejabat, apakah dia seorang anak, pemuda, atau orang tua. Apakah dia seorang pegawai atau pimpinan. Apakah dia sedang berada di masjid atau di rumahnya. Apakah dia sedang berada di waktu malam atau di waktu siang. Karena yang dia cari adalah cinta dan keridhaan Allah atas perbuatan dan keyakinannya. Orang yang seperti ini akan menjadikan hidup dan matinya untuk Allah, diam dan bergeraknya karena Allah, duduk dan berjalannya pun karena Allah. Inilah yang dicapai oleh orang-orang yang mengenal Allah. Sebuah kenikmatan ruhiyah dan kelezatan hati yang banyak tidak dirasakan manusia di muka bumi. Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Orang-orang yang malang dari para penduduk dunia ini. Mereka keluar darinya dalam keadaan tidak merasakan sesuatu yang terbaik di dalamnya.” Orang-orang bertanya kepada beliau, “Wahai Abu Yahya, apakah itu yang terbaik di sana?” beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.”
Orang yang menyadari bahwa Allah menciptakan dirinya untuk sebuah tujuan yang mulia, tentu dia tidak akan menghabiskan waktu dan umurnya untuk sesuatu yang sia-sia apalagi mendatangkan azab dan malapetaka. Dia akan berjuang dan berjuang untuk meraih kemuliaan dan surga lebih keras dan lebih besar daripada perjuangan para pemuja dunia dalam mengejar fatamorgana…
Kemudian, setelah itu penulis rahimahullah menyebutkan firman Allah (yang artinya), “Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36). Setiap rasul yang diutus oleh Allah sejak rasul yang pertama hingga yang terakhir semuanya mendakwahkan tauhid. Semuanya mengajak kepada kalimat tauhid.
Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (al-Anbiya’ : 25)
Ibadah kepada Allah tidak bisa terwujud kecuali dengan meningkari thaghut yaitu sesembahan selain Allah. Imam Malik rahimahullah menjelaskan bahwa thaghut adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah. Gembong utama dari thaghut itu adalah setan atau Iblis; karena dia lah yang mengajak dan menyeru manusia untuk beribadah kepada selain Allah. Sebagaimana ucapan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam ketika mendakwahi ayahnya. Beliau berkata (yang artinya), “Wahai ayahanda, janganlah engkau beribadah kepada setan…” (Maryam : 44)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan, “Karena sesungguhnya orang yang beribadah kepada selain Allah sesungguhnya dia telah beribadah kepada setan…” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 494)
Allah berfirman dalam surat Yasin (yang artinya), “Bukankah Aku telah berpesan kepada kalian wahai anak Adam; Janganlah kalian beribadah kepada setan.” (Yasin : 60). Sa’id bin Jubair rahimahullah mengatakan, “Ibadah itu adalah ketaatan. Yang demikian itu karena barangsiapa yang menaati apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan mematuhi apa-apa yang dilarang Allah maka sesungguhnya dia telah menyempurnakan ibadah kepada Allah. Dan barangsiapa yang menaati setan dalam hal agama dan amalnya maka sesungguhnya dia telah beribadah kepada setan.” (lihat al-Jami’ fi ‘Aqa’id wa Rasa’il Ahlis Sunnah wal Atsar, hlm. 33)
Ayat yang dibawakan oleh penulis dari surat an-Nahl di atas juga memberikan pelajaran kepada kita bahwa setiap umat telah datang kepada mereka rasul yang memperingatkan akan bahaya syirik dan kedurhakaan kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah ada suatu umat pun melainkan telah berlalu padanya pemberi peringatan.” (Fathir : 24)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Semua bentuk syirik pada hakikatnya adalah peribadatan kepada thaghut. Maka hal itu menunjukkan bahwa semua rasul ‘alaihimus salam datang dengan membawa perintah untuk beribadah kepada Allah ta’ala dan melarang perbuatan syirik. Inilah makna laa ilaha illallah. Karena ia menggabungkan antara penolakan/nafi dengan penetapan/itsbat. Menolak syirik dan menetapkan tauhid.” (lihat at-Ta’liq al-Mukhtashar al-Mubin ‘ala Qurrati ‘Uyun al-Muwahhidin, hlm. 17)
Karena itulah orang-orang musyrikin Quraisy menolak dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak ingin sesembahan itu hanya satu. Yang mereka inginkan sesembahan itu banyak. Sehingga mereka menganggap ajakan tauhid adalah perkara yang mengherankan. Allah berfirman menceritakan perkataan mereka (yang artinya), “Apakah dia itu hendak menjadikan sesembahan-sesembahan ini menjadi satu sesembahan saja, sesungguhnya ini adalah perkara yang benar-benar mengherankan.” (Shad : 5). Sebagaimana kaum Tsamud berkata kepada Nabi Shalih ‘alaihis salam (yang artinya), “Apakah engkau hendak melarang kami menyembah apa-apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami.” (Hud : 62)
Maka hal ini mengingatkan kita akan jawaban sebagian kaum yang ketika diberi peringatan dari bahaya syirik dan kerusakan iman, maka mereka menjawab yang maknanya ‘apakah kalian hendak melarang kami melestarikan budaya warisan nenek moyang kami?’. Mereka menganggap bahwa apa yang diwariskan oleh nenek moyangnya -padahal itu berupa kebatilan- adalah kebenaran yang harus dipertahankan; walaupun resikonya harus menumpahkan darah dan menghunuskan pedang! Subhanallah… Hanya kepada Allah kita mengadukan keadaan…