Di dalam Bulughul Maram, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mencantumkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kamu melihat orang yang berjualan atau melakukan transaksi pembelian di masjid maka katakanlah, ‘Semoga Allah tidak memberikan keuntungan bagi perdaganganmu’.” (HR. An-Nasa’i dan At-Tirmidzi dan beliau menyatakan hadits ini hasan)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Perkataan ‘maka katakanlah ‘Semoga Allah tidak memberikan keuntungan bagi perdaganganmu’ ini adalah doa keburukan dan pengingkaran atas perbuatan tersebut. Sehingga ini menunjukkan terlarangnya melakukan transaksi jual-beli di dalam masjid. Dan hal ini bersifat umum mencakup segala bentuk jual-beli…” (lihat Syarh Bulughul Maram oleh Syaikh al-Fauzan, Juz 2 hal. 182)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa berdasarkan hadits di atas haram hukumnya berjual-beli di dalam masjid. Beliau bahkan menyatakan bahwa hukum jual-beli semacam itu adalah tidak sah atau batil (lihat Fathu Dzil Jalal wal Ikram, 1/610)
Imam Ash-Shan’ani rahimahullah menyatakan, “Di dalam hadits ini terkandung penunjukan bahwa diharamkan jual-beli di masjid…” Meskipun demikian beliau juga menjelaskan bahwa hukum jual-belinya tetap sah atau teranggap, berdasarkan ijma’ yang dinukil oleh Al-Mawardi (lihat Subulus Salam, 1/358 cet. Maktabah Nazar Al-Musthofa Al-Baz)
Syaikh Abdullah al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa ada dua pendapat ulama mengenai hukum jual-beli di masjid. Pendapat pertama mengatakan bahwa hal itu adalah makruh. Dan apabila telah terjadi transaksi jual-beli maka hukumnya tetap sah. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama dan menjadi salah satu pendapat Imam Ahmad serta dipilih oleh Ibnu Taimiyah. Pendapat kedua mengatakan bahwa hal itu adalah haram, dan apabila telah terjadi jual-beli maka tidak sah hukumnya. Ini merupakan madzhab Hanabilah (Hanbali). Diantara kedua pendapat ini, pendapat pertama -yang menyatakan jual-belinya tetap sah- lebih kuat. Karena dengan begitu akan bisa mengkompromikan semua dalil. Namun, untuk memalingkan larangan dari makna haram menuju makruh dibutuhkan dalil lain. Adapun nukilan ijma’ mengenai keabsahan jual-beli yang sudah terlanjur terjadi di dalam masjid maka hal itu tidaklah menafikan pendapat yang mengharamkan. Suatu hal yang mungkin dan bisa diterima bahwa larangan ini dimaknai pengharaman sementara akad/transaksi yang terjadi tetap sah hukumnya (lihat Minhatul ‘Allam, 2/481-482)
Kesimpulan dari keterangan Syaikh Abdullah al-Fauzan adalah bahwa pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah jual-beli di masjid hukumnya haram, meskipun demikian apabila terjadi jual-beli itu di masjid hukumnya tetap sah atau tidak batal. Maknanya, barang yang dibeli telah berpindah status kepemilikannya kepada si pembeli dan menjadi haknya. Demikian pula uang yang telah diterima oleh si penjual juga sah menjadi miliknya. Akan tetapi mereka telah melakukan perkara yang diharamkan -yaitu jual-beli di masjid- dan berdosa atas hal itu.
Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Syafi’i dan banyak ulama yang lain. Yaitu hukum jual-belinya tetap sah akan tetapi pelakunya berdosa karena telah melakukan hal yang diharamkan. Adapun Imam Ahmad -dalam pendapat beliau yang lain- mengatakan bahwa hukumnya adalah haram dan tidak sah. Ibnu Hubairah mengatakan bahwa hukumnya tidak sah. Haramnya jual-beli di masjid juga merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah (lihat catatan kaki Subulus Salam, 1/358 cet. Maktabah Nazar Al-Musthofa Al-Baz).