Bismillah.
Sebagaimana sudah diketahui bersama, bahwa tauhid adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah. Menujukan ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Inilah yang disebut dengan tauhid ibadah atau tauhid uluhiyah.
Tauhid inilah kewajiban terbesar dan keadilan tertinggi yang harus ditegakkan di muka bumi ini. Sebaliknya, syirik adalah keharaman terbesar dan kezaliman terburuk yang harus diberantas. Luqman telah berpesan kepada anaknya (yang artinya), “Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar.” (Luqman : 13)
Syirik adalah kezaliman yang akan menghalangi datangnya keamanan dan hidayah dari Allah. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman/syirik, mereka itulah orang-orang yang diberikan keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk.” (al-An’am : 82)
Kewajiban terbesar inilah yang harus selalu ditunaikan oleh setiap hamba kepada Rabbnya di sepanjang hidup mereka. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabbmu telah memerintahkan bahwa janganlah kalian beribadah kecuali kepada-Nya…” (al-Israa’ : 23)
Ibadah adalah hak Allah, tidak boleh mempersembahkan ibadah dalam bentuk apa pun kepada selain Rabb yang menciptakan alam semesta. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian, Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas segenap hamba ialah supaya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tauhid ibadah inilah yang menjadi kandungan dari kalimat syahadat laa ilaha illallah. Bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah. Segala sesembahan selain Allah adalah batil. Allah berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah -sesembahan- yang haq, dan sesungguhnya segala yang mereka seru selain-Nya adalah batil.” (al-Hajj : 62)
Setiap rasul mendakwahkan kalimat tauhid ini kepada umatnya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus sebelum kamu -Muhammad- seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada ilah/sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (al-Anbiya’ : 25)
Tauhid inilah yang selalu diikrarkan oleh setiap muslim di dalam sholatnya, ketika dia membaca ayat yang berbunyi ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin’ yang artinya, “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (al-Fatihah)
Allah tidak ridha dipersekutukan bersama-Nya dalam hal ibadah siapa pun atau apa pun juga; apakah ia malaikat atau rasul, apalagi batu dan pohon. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian menyeru/beribadah bersama dengan Allah siapa pun juga.” (al-Jin : 18)
Dari sini kita bisa mengambil pelajaran, bahwasanya orang yang bertauhid adalah yang selalu menunjukan ibadahnya kepada Allah. Dia tidak mempersembahkan suatu bentuk ibadah -sekecil apapun- kepada selain-Nya. Adapun orang musyrik adalah yang beribadah kepada selain Allah di samping ibadahnya kepada Allah. Dia tidak menjadikan ibadahnya untuk Allah semata, tetapi dia juga persembahkan sebagian ibadahnya kepada selain Allah. Inilah hakikat syirik.
Syirik adalah sebab seluruh amalan menjadi lenyap dan sia-sia. Karena Allah tidak mengampuni dosa syirik kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan masih mengampuni dosa-dosa lain di bawah tingkatan itu bagi siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya.” (an-Nisaa’ : 48)
Syirik sebab pelakunya kekal di dalam neraka dan haram masuk surga. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang pun penolong.” (al-Maa-idah : 72)
Syirik adalah sebab utama kerugian di alam dunia. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang/nabi-nabi sebelummu; Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)
Dengan demikian yang dimaksud orang yang beriman dan beramal salih itu adalah orang yang bertauhid kepada Allah. Karena semua manusia merugi kecuali orang yang beriman dan beramal salih. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr : 1-3)
Setiap amal salih yang tidak dilandasi dengan tauhid dan keikhlasan akan sia-sia dan justru menjadi sebab kesengsaraan bagi pelakunya. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)
Allah tidak menerima ibadah yang tidak murni untuk-Nya. Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya bersama-Ku ada pujaan/sesembahan selain Aku, maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim)
Dengan demikian setiap amalan harus ikhlas karena Allah. Amal yang tidak ikhlas tidak akan diterima sebesar apapun amalan itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu hanya akan dinilai jika disertai niat. Dan setiap orang hanya akan dibalas sesuai dengan apa-apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Karena itulah para ulama menjelaskan bahwa amal-amal itu akan berbeda-beda nilai dan keutamaannya berdasarkan iman dan keikhlasan yang bersemayam di dalam hati pelakunya. Semakin ikhlas maka semakin mulia amalan itu di hadapan Allah. Ibnul Mubarok rahimahullah berkata, “Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niatnya. Dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil juga karena niatnya.”
Untuk meraih keikhlasan inilah dibutuhkan perjuangan/mujahadah. Sebagian ulama terdahulu mengatakan, “Tidaklah aku berjuang menundukkan diriku dengan sebuah perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk menggapai keikhlasan.”