Takut Berbuat Syirik (bagian 3)

Bismillah.

Alhamdulillah dalam kesempatan ini Allah beri kemudahan bagi kita untuk melanjutkan pembahasan dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah pada bab khouf minasy syirki; rasa takut kepada syirik.

Pada bagian terdahulu telah kita baca doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam kepada Allah agar dijauhkan dari pemujaan kepada berhala. Hal ini menunjukkan rasa takut yang sangat dalam dalam hatinya terhadap perbuatan syirik. Beliau tidak merasa aman dari bahaya syirik yang begitu merajalela di tengah umatnya kala itu. Maka, bagaimana lagi dengan kita yang penuh dengan kekurangan dan kelemahan?

Berikutnya penulis membawakan hadits :

وفي الحديث: “أخوف ما أخاف عليكم: الشرك الأصغر، فسئل عنه، فقال: الرياء”  رواه أحمد والطبراني والبيهقي

Di dalam hadits, “Sesuatu yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik ashghar.” Beliau pun ditanya mengenai apa itu syirik ashghar, beliau menjawab, “Itu adalah riya’.” (HR. Ahmad Thabarani dan al-Baihaqi)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhawatirkan para sahabat terjerumus dalam syirik ashghar. Beliau memberikan contohnya adalah perbuatan riya’; yaitu seorang beramal salih karena dilihat manusia dan menghendaki pujian mereka. Ini adalah bahaya yang mengancam orang-orang salih. Karena dalam diri mereka terdapat kebaikan yang bisa dijadikan sebagai sarana untuk mencari sanjungan orang lain.

Riya’ adalah perkara yang merusak ibadah dan keikhlasan. Ia merusak kemurnian makna laa ilaha illallah; tiada yang berhak disembah dengan benar selain Allah. Ia beribadah demi mencari sanjungan dan kedudukan di mata manusia. Hal ini mengotori kandungan iyyaka na’budu. Sebab pelakunya telah mempersembahkan bagian dari ibadahnya kepada selain Allah.

Riya’ juga menjadi salah satu sifat orang munafik. Mereka menampakkan kepada manusia amal salih tetapi sesungguhnya mereka menyembunyikan keburukan dan maksiat di dalam hatinya. Para ulama menjelaskan bahwa riya’ menyebabkan terhapusnya amal kebaikan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu mereka kerjakan kemudian Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan pejrumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan aaml salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Karena itulah para ulama kita senantiasa menekankan agar memurnikan niat karena Allah dalam setiap bentuk amal kebaikan. Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Riyadhush Shalihin dan al-Arba’in an-Nawawiyah telah membuat bab khusus tentang ikhlas di bagian awal kitabnya, beliau membawakan hadits innamal a’maalu bin niyaat yang menunjukkan wajibnya ikhlas dalam beramal salih. Demikian pula ulama terdahulu seperti Imam Bukhari dan Abdul Ghoni al-Maqdisi rahimahumallah yang mengawali kitabnya – Sahih Bukhari dan Umdatul Ahkam – dengan hadits tersebut.

Sebagian ulama salaf berkata, “Orang yang ikhlas berusaha menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana ia suka menyembunyikan keburukan-keburukannya.” Ibnul Mubarok rahimahullah berkata, “Betapa banyak amal besar menjadi kecil gara-gara niat, dan betapa banyak amal kecil menjadi besar juga karena niatnya.” Oleh sebab itu para ulama salaf berjuang sedemikian rupa untuk menjaga amalnya dari riya’. Sebagian mereka mengatakan, “Tidaklah aku berjuang menundukkan jiwaku dengan sebuah perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk menuju keikhlasan.”

Semoga Allah menjaga kita dari syirik besar maupun syirik yang kecil, yang tampak maupun yang tersembunyi.

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com

Baca bab-bab terdahulu melalui link berikut ini [Seri Belajar Kitab Tauhid]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *