oleh : Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Mukadimah Syarah
Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad, kepada segenap pengikutnya dan para sahabatnya seluruhnya.
Wa ba’du.
Di hadapan kita terdapat risalah ini -yaitu risalah Tsalatsatul Ushul (tiga landasan utama)- dan ini merupakan risalah yang sangat agung lagi ringkas. Ia ditopang dengan dalil-dalil dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Risalah ini membahas tentang sebuah landasan penting diantara pokok-pokok agama Islam yaitu akidah. Sudah menjadi kebiasaan para ulama untuk memberikan perhatian terhadap tulisan-tulisan ringkas seperti ini. Dimana mereka berusaha untuk menulisnya, bersusah payah untuk meringkas materinya dan menyusunnya sedemikian rupa. Kemudian setelah itu mereka pun berusaha untuk mengajarkannya untuk dihafalkan oleh murid-muridnya. Hal itu dengan tujuan supaya materi-materi ini menjadi pokok-pokok ilmu yang tertanam di dalam diri mereka serta menjadi simpanan faidah yang mereka akan bisa memetik pelajaran darinya dan menebarkan faidah darinya.
Memulai belajar dengan tulisan-tulisan ringkas semacam ini adalah pondasi bagi para penimba ilmu. Maka seorang penimba ilmu seharusnya memulai belajar sedikit demi sedikit. Dia mengambil materi-materi dasar dan pokok-pokoknya dan bertahap dalam mempelajarinya.
Ringkasan-ringkasan semacam ini adalah jalan menuju tulisan-tulisan yang tebal. Oleh sebab itu tidak mungkin kitab-kitab tebal bisa dipahami kecuali setelah memahami kitab-kitab yang ringkas dan bertahap dalam mempelajarinya sedikit demi sedikit. Oleh karena itulah para ulama menafsirkan tentang makna firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Akan tetapi jadilah kalian orang-orang yang Rabbani disebabkan apa-apa yang kalian ajarkan dengan Al Kitab dan disebabkan karena kalian mempelajarinya.” (Ali Imran ayat 79). Sesungguhnya orang Rabbani adalah orang-orang yang memulai dengan ilmu-ilmu yang dasar sebelum ilmu-ilmu yang besar. Mereka mendidik diri mereka sendiri dan murid-muridnya dengan mengawali dari perkara-perkara yang dasar menuju perkara-perkara yang besar. Dan hal ini adalah suatu yang alami karena segala sesuatu itu dimulai dari pokok dan pondasinya kemudian menjadi besar setelah itu.
Adapun orang yang menerjuni ilmu secara langsung dari perkara-perkara yang tinggi/berat hal ini akan membuatnya letih dan tidak membuahkan hasil apa-apa. Sementara orang-orang yang memulai dari perkara yang pokok dan bertahap dalam belajar maka inilah orang yang dengan izin Allah berjalan meniti metode yang benar dan menempuh arah yang lurus.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit) katakanlah “Itu adalah penentu waktu bagi manusia dan haji.” Dan bukanlah kebajikan itu dengan kalian mendatangi rumah-rumah dari belakangnya akan tetapi kebajikan itu adalah siapa yang bertakwa. Dan datangilah rumah-rumah itu dari pintu-pintunya.” (Al Baqarah ayat 189). Orang-orang itu bertanya tentang hilal mengapa hilal itu muncul pada awalnya kecil kemudian menjadi besar kemudian menjadi bertambah besar sampai kemudian menjadi bundar lalu kemudian ia menjadi kecil sampai kemudian kembali menjadi bulan sabit (hilal)? Allah menegur mereka dan mengarahkan mereka kepada pertanyaan yang bermanfaat bagi mereka dan hendaknya mereka mendatangi rumah-rumah ilmu dari pintunya.
Adapun pertanyaan mengenai hilal/bulan sabit dan keadaanya ketika dia kecil atau menjadi besar maka hal ini tidak ada faidahnya untuk mereka. Akan tetapi faidah yang penting adalah hendaklah mereka bertanya mengenai perkara-perkara yang dibutuhkan yaitu mengetahui faidah dari bulan sabit/hilal. Oleh sebab itu Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah, “hilal itu penentu waktu bagi manusia.”” Allah menjelaskan kepada mereka faidah-faidahnya yaitu Allah menjadikan hilal sebagai alat untuk menentukan waktu bagi manusia yang dengannya mereka bisa mengetahui perkara-perkara ibadah, muamalah, ajal/batas akhir, dan lain sebagainya.
Kemudian Allah membimbing mereka untuk mengetahui faidah dari hilal. Allah tidak menjawab pertanyaan mereka mengenai hakikat dari hilal. Karena sesungguhnya tidak ada faidah bagi mereka dengan mengetahuinya dan supaya Allah mengarahkan mereka kepada sesuatu yang semestinya mereka tanyakan yaitu pintu-pintu ilmu, bukan hal yang dikesampingkan dari ilmu atau masalah-masalah yang sifatnya tambahan saja yang sebenarnya tidak mereka butuhkan, dan seandainya mereka membutuhkannya maka itu kebutuhannya sangat sedikit (jarang).
MUKADIMAH PENULIS
Beliau (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah) berkata,
“Bismillahirrahmanirrahim”
Keterangan:
Beliau rahimahullah mengawali tulisan ini dengan basmalah untuk meneladani kitab Allah azza wa jalla karena sesungguhnya yang paling pertama kamu lihat di dalam mushaf dan sebelum setiap surat di dalammnya pasti tertulis “Bismillahirrahmanirrahim.”
Maka memulai dengan basmalah di dalam risalah, buku-buku, dan tulisan-tulisan adalah dalam rangka meneladani kitab Allah azza wa jalla. Demikian pula Nabi shallallahu’alaihi wa sallam senantiasa menulis basmalah di awal surat-suratnya. Seperti ketika beliau menulis surat yang dikirimkan kepada para penguasa dan pemimpin dan yang ditujukan kepada orang-orang di penjuru bumi untuk mengajak mereka mengikuti islam dimana beliau memulai tulisan/surat-suratnya dengan “Bismillahirrahmanirrahim.”
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam membuka pembicaraannya diawali dengan “Bismillahirrahmanirrahim.” Hal ini menunjukkan bahwasanya memulai dengan “Bismillahirrahmanirrahim” adalah sunnah/ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana Sulaiman ‘alaihis salam ketika menulis surat kepada Bilqis Ratu Negeri Saba’ maka beliau memulai suratnya dengan “Bismillahirrahmanirrahim.” Allah berfirman (yang artinya), “Dia (Bilqis) berkata, “Wahai para pembesar sesungguhnya telah disampaikan kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman dan di dalamnya tertulis “Bismillahirrahmanirrahim janganlah kalian menyombongkan kepadaku dan datanglah kepadaku dalam keadaan pasrah.”” (An Naml ayat 29-31)
Oleh sebab itu semestinya memulai dengan “Bismillahirrahmanirrahim” pada setiap tulisan yang penting dan berharga dan setiap risalah.
Berdasarkan hal ini maka orang-orang yang tidak memulai karya tulisnya dan risalahnya dengan “Bismillahirrahmanirrahim” mereka itu telah meninggalkan sunnah Nabi dan tidak meneladani Kitab Allah azza wa jalla. Dan terkadang hal itu menyebabkan buku-buku mereka atau risalah-risalah mereka tidak membawa berkah dan tidak mengandung faidah; karena jika tulisan tersebut kosong dari “Bismillahirrahmanirrahim” maka tercabut faidah darinya.
Mengapa mereka meninggalkan “Bismillahirrahmanirrahim”? Sesungguhnya mereka meninggalkannya hanya karena hal itu adalah ‘sunnah’ sementara mereka berpaling dari sunnah atau mengikuti orang-orang yang berpaling dari sunnah. Oleh sebab itu hal ini perlu untuk diperhatikan.
Adapun makna “Bismillahirrahmanirrahim” adalah memohon pertolongan dengan menyebut nama Allah. Perkataan beliau “bismillah” itu adalah susunan huruf jar dan majrur yang berkaitan dengan sesuatu yang dihapus/tidak disebutkan. Kalimat selengkapnya adalah berbunyi “Saya memohon pertolongan dengan menyebut nama Allah Ar Rahman Ar Rahim” atau juga bisa diartikan “Saya mengawali urusan ini dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang seraya mencari berkah dengan nama-nama-Nya dan sekaligus memohon pertolongan kepada Allah azza wa jalla.”
Ini adalah kalimat pembuka yang agung di dalam pembicaraan, buku atau risalah sehingga seorang insan memohon pertolongan kepada Allah pada awal urusannya atau ketika memulai urusannya dan dia mencari keberkahan dengan menyebut nama Allah subhanahu wa ta’ala.
—