Siapa Yang Merugi?

Bismillah.

Diantara perkara penting yang sering dilalaikan oleh manusia adalah membebaskan dirinya dari jeratan kerugian dan celah-celah kerusakan.

Untung dan rugi sering dilihat dari sudut pandang duniawi semata. Siapa yang mendapatkan laba usaha berjuta-juta maka dianggap dia lah orang yang sukses. Dan siapa yang bangkrut bisnisnya; tidak mendapatkan untung secara materi maka dia lah yang dicap orang yang merugi.

Padahal kehidupan di dunia ini -yang kelak harus dipertanggungjawabkan di akhirat- merupakan modal utama seorang insan. Apabila waktu dan umurnya dia gunakan dalam kebaikan dan ketaatan maka dia lah orang yang beruntung di dunia dan di akhirat. Adapun jika ia menggunakan waktu, kesehatan dan nikmat yang Allah berikan dalam dosa dan pelanggaran maka dia lah orang yang merugi.

Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr : 1-3)

Untuk bisa terbebas dari kerugian ini maka seorang hamba harus menghiasi lisan, hati dan perilakunya dengan keimanan. Orang beriman itulah orang yang beruntung. Sungguh beruntung orang-orang beriman itu; yang khusyu’ di dalam sholatnya dan berpaling dari segala hal yang sia-sia. Orang beriman menyiapkan bekalnya untuk bertemu dengan Allah.

Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Iman yang dimaksud bukan sekedar pengakuan di lisan ataupun semata-mata keyakinan di dalam hati. Akan tetapi hakikat iman adalah ucapan, keyakinan dan amal perbuatan dengan anggota badan. Iman yang melahirkan amal ibadah dan ketaatan. Iman yang ditegakkan di atas asas tauhid dan keikhlasan.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka itu diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama/amal untuk-Nya dengan hanif/dilandasi tauhid, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Dan itulah ajaran agama yang lurus.” (al-Bayyinah : 5)

Dengan demikian orang yang menjalani hidupnya di atas kekafiran dan kemusyrikan adalah kaum yang merugi dan menyimpang dari jalan yang lurus. Orang yang hidupnya hanya mengejar kepuasan nafsu dan kenikmatan yang fana. Para pemuja fatamorgana. Mereka yang lelah dan letih akibat telah diperbudak oleh ambisi-ambisi dunia dan hanyut oleh bisikan-bisikan setan nan durjana…

Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Orang-orang yang malang diantara penduduk dunia ini; mereka keluar dari dunia dalam kondisi belum merasakan sesuatu yang paling baik dan nikmat di dalamnya.” Orang-orang pun bertanya kepada beliau, “Wahai Abu Yahya, apakah itu suatu nikmat yang terbaik di dalamnya?” beliau menjawab, “Yaitu mengenal Allah ‘azza wa jalla…”

Penderitaan dan kehinaan yang dirasakan oleh pemuja hawa nafsu adalah kerugian yang sebenarnya. Mereka berlari meninggalkan kemuliaan ibadah kepada Allah dan lezatnya keimanan menuju rendahnya penghambaan kepada setan dan keinginan-keinginan yang terlarang. Keridhaannya hanya terpaku pada kepentingan hawa nafsu dan kesenangan semu. Baginya orang sukses adalah mereka yang pulang dengan membawa laba jutaan dolar meskipun harus menjadikan amal dan ibadahnya ambyar…

Termasuk deretan kaum yang merugi itu adalah orang yang tidak bersyukur atas nikmat Allah kepada dirinya. Dia menganggap bahwa prestasi dan kebaikan yang dia raih murni hasil kerja keras dan buah kehebatan dirinya. Dia merasa pantas dan layak untuk mendapatkannya. Dia tidak menyandarkan nikmat itu kepada Allah Dzat yang telah menciptakan dan memberikan rezeki kepadanya. Sebagaimana Qarun yang menisbatkan kekayaan dan pencapaiannya kepada ilmu yang dia miliki.

Dari sinilah kita kembali teringat bahwa sesungguhnya keberuntungan sejati itu ada bersama dengan tauhid, iman dan syukur kepada ar-Rahman. Inilah keyakinan dan aqidah yang membuat para sahabat rela berpayah-payah untuk hijrah dan berjuang di jalan Allah. Mereka pun bersedih dan meneteskan air mata tatkala tidak bisa ikut berangkat berjihad bersama nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Mereka infakkan hartanya di jalan dakwah dan lebih mengutamakan hajat saudaranya dalam urusan dunia padahal keadaan diri mereka sendiri sedang susah dan sangat-sangat membutuhkan…

Mereka adalah suatu kaum yang bersedih dan risau tatkala bacaan Qur’an dan dzikir harian luput dari hati dan lisannya dalam sehari semalam. Suatu kaum yang bergetar hatinya apabila dibacakan ayat-ayat Allah. Suatu kaum yang hatinya merasa tenang dengan mengingat Allah. Kesedihan mereka karena luputnya dzikir dan doa melebihi kesedihan sebagian orang yang kehabisan kuota!

Aduhai, betapa malangnya seorang hamba yang hatinya jauh dari mengingat Allah, jauh dari majelis hidayah dan lebih akrab dengan majelis-majelis hawa nafsu. Sungguh benar perkataan sebagian ulama; bahwa hakikat orang yang terpenjara itu adalah mereka yang ditawan oleh hawa nafsunya. Adapun orang yang cerdas dan merdeka itu adalah yang menundukkan jiwa dan raganya kepada Allah serta memurnikan amal untuk-Nya, bukan menjadi budak dunia atau ambisi-ambisi hina….

Kepada Allah semata kita memohon bantuan atas segala urusan, semoga Allah berikan kemudahan bagi kita dalam mengumpulkan pundi-pundi iman dan amal salih dalam sisa umur yang Allah berikan. Umur yang kita tidak tahu kapan malaikat maut itu datang mencabut nyawa kita. Umur yang kita tidak mengetahui di kota mana atau di kampung mana pemiliknya akan meninggal dunia… Wallahul musta’aan.

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *