Setetes Faidah Surat al-‘Ashr

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Allah berfirman :

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr : 1-3)

Makna ‘al-‘Ashr’

Di dalam tafsirnya, Imam Ibnu Jauzi rahimahullah (wafat 597 H) menjelaskan, bahwa ada tiga tafsiran makna kata al-‘ashr. Pertama; ia bermakna waktu. Ini adalah tafsiran dari Ibnu ‘Abbas, Zaid bin Aslam, al-Farra’, dan Ibnu Qutaibah. Kedua; ia bermakna waktu sore yaitu sejak tergelincirnya matahari ke arah barat -setelah zuhur- hingga menjelang tenggelamnya matahari. Tafsiran kedua ini disampaikan oleh al-Hasan dan Qatadah. Ketiga; ia bermakna sholat ‘ashar, ini adalah tafsiran dari Muqatil (lihat dalam Zaadul Masiir fi ‘Ilmit Tafsir, hal. 1586)

Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah berkata :

والعصر قيل هو الدهر وهي الأيام التي يحصل فيها الخير والشر من أعمال العباد فناسب الإقسام بالعصر الذي هو وقت العمل لما بعده من هذه المسائل وقيل إنّ العصر هو العشي ، وهو آخر النهار .

والذي رجحه ابن كثير – رحمه الله – هو الأول، وأما الطبري فذكر أن العصر يشمل الدهر، ويشمل العشي، ويشمل الليل والنهار، وقال : إذا شمل هذا الاسم هذه الأمور فليس هناك ما يخصص أحدها دون غيره، وعلى هذا فيكون الإقسام يشمل كل ما ذكر في معنى العصر

Kata al-‘ashr ada yang berpendapat bahwa maknanya adalah ‘hari-hari’ yang terjadi padanya kebaikan dan keburukan dari amal perbuatan hamba, oleh sebab itu sangat tepat di sini Allah bersumpah dengan waktu (al-‘ashr) yang itu merupakan waktu untuk beramal terhadap perkara-perkara yang akan disebutkan berikutnya. Ada juga yang menafsirkan bahwa kata al-‘ashr artinya adalah waktu sore yaitu pada akhir siang.

Pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah adalah tafsiran yang pertama. Adapun ath-Thabari menyebutkan bahwa kata al-‘ashr mencakup ad-dahr (masa) dan juga mencakup waktu sore, mencakup malam dan siang. Beliau mengatakan ‘apabila nama ini mencakup perkara-perkara ini semuanya maka tidak ada dalil yang membatasi maknanya pada salah satunya tanpa melibatkan makna yang lain. Berdasarkan hal ini maka objek sumpah dalam ayat ini mencakup semua hal yang termasuk dalam makna al-‘ashr.’

(lihat Transkrip Syarah Ushul Tsalatsah, hal. 18)

Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili hafizhahullah berkata :

والعصر: هو الزمن والدهر الذي تكون فيه الأعمال، فالدهر والزمن هو الذي تكون فيه الأعمال فيكون فيه الربح وتكون فيه الخسارة، إن سوّد الإنسان زمنه وعصره بالمعاصي كان في الخسران، وإن أنار زمنه بالطاعات كان من أهل الربح

Kata al-‘ashr maknanya adalah zaman/masa dan waktu yang menjadi wahana terjadinya amalan-amalan. Waktu dan masa itulah yang menjadi medan untuk melakukan amal-amal. Sehingga dengannya orang akan meraih keberuntungan atau justru mendapatkan kerugian. Jika seorang insan menghitamkan masa dan waktu yang dijalaninya dengan berbagai bentuk maksiat maka dia akan berada dalam kerugian. Dan apabila dia menyinari zamannya itu dengan ketaatan-ketaatan niscaya dia termasuk orang yang meraih keberuntungan.

(lihat Transkrip Syarh Ushul Tsalatsah oleh beliau, hal. 68)

Disebutkan dalam Manaqib al-Imam Ahmad, Abdullah bin Muhammad al-Baghawi pernah mendengar Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Saya akan terus menimba ilmu sampai saya masuk kubur.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, 4/129)

Disebutkan dalam kitab Tadzkiratul Huffazh, bahwa Ali bin al-Hasan bin Syaqiq rahimahullah menceritakan : Pada suatu malam yang dingin aku berjalan bersama dengan Ibnul Mubarak untuk keluar dari masjid. Maka dia pun ber-mudzakarah (saling mengingat pelajaran dan ilmu) dalam hal hadits bersamaku dan aku pun bermudzakarah bersamanya di depan pintu. Maka dia pun terus mengajakku bermudzakarah sampai datanglah mu’adzin untuk mengumandangkan adzan subuh (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, 4/135)

Disebutkan dalam kitab Tadzkiratul Huffazh, bahwa an-Nashr bin Syumail rahimahullah pernah mengatakan, “Tidak akan bisa seorang merasakan lezatnya ilmu sampai dia merasakan lapar dan melupakan rasa laparnya itu.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, 4/136)

Di dalam Thabaqat al-Hanabilah dikisahkan bahwa suatu ketika Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengimami sholat bersama Abdur Razzaq maka Abdur Razzaq pun bertanya kepadanya tentang penyebab beliau lupa di dalam sholatnya tadi. Imam Ahmad menjawab, “Saya belum mencicipi makanan semenjak tiga hari lamanya.” Kisah ini terjadi pada saat perjalanan Imam Ahmad ke negeri Yaman dalam rangka menimba ilmu (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, 4/138)

Khalaf bin Hisyam al-Azdi rahimahullah mengatakan, “Pernah saya mengalami kesulitan memahami sebuah bab dalam ilmu nahwu sehingga saya tidak bisa memahaminya. Maka saya pun menghabiskan uang sebanyak tiga puluh ribu dirham sampai pada akhirnya saya bisa memahaminya dan matang dalam mengilmui hal itu.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, 4/144)

Lihatlah saudaraku yang mulia, betapa waktu demikian berharga bagi para ulama kita. Mereka rela berlapar-lapar, sampai tidak tidur, dan mengeluarkan biaya yang besar demi mengisi waktunya dalam hal ketaatan dan kebaikan-kebaikan. Lalu bagaimana dengan kita?!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *