Bismillah.
Kita berjumpa kembali dalam seri faidah dari kitab al-Ushul ats-Tsalatsah karya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Setelah menyampaikan tentang wajibnya berilmu, maka beliau pun menerangkan apa yang dimaksud dengan ilmu. Beliau berkata, “…Ilmu itu adalah mengenal Allah…”
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, apa yang dimaksud dengan mengenal Allah? Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa yang dimaksud mengenal Allah di sini adalah pengenalan dari dalam hati yang melahirkan sikap menerima dan tunduk kepada syari’at Allah serta berhukum dengan syari’at-Nya yang telah disampaikan oleh rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 19)
Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri hafizhahullah menerangkan, bahwa yang dimaksud dengan ‘mengenal Allah’ itu adalah dengan beriman kepada-Nya. Dan hal itu mencakup iman kepada wujud Allah -bahwa Allah itu ada-, iman kepada rububiyah, uluhiyah, dan nama-nama serta sifat-sifat-Nya (lihat It-haful ‘Uqul bi Syarhi ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 8)
Syaikh Yahya al-Hajuri hafizhahullah pun menegaskan bahwasanya yang dimaksud ‘mengenal Allah’ di sini adalah pengenalan yang membuahkan tauhid. Sehingga mengenal Allah itu mencakup mengenal nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, uluhiyah-Nya, dan rububiyah-Nya. Inilah yang menjadi misi utama Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab. Agar Allah diesakan dan tidak dipersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, hal. 5)
Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus sebelum engkau -Muhammad- seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (al-Anbiyaa’ : 25)
Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah menegaskan, bahwa yang dimaksud dengan ‘mengenal Allah’ bukan semata-mata pengenalan yang terbayang di dalam pikiran manusia. Akan tetapi yang dimaksud mengenal Allah adalah yang melahirkan ucapan, amalan, dan keyakinan -atau kita sebut dengan istilah ‘iman’-. Bukan semata-mata ‘mengenal’; sebab Iblis pun mengenal Allah, yaitu dia mengenal bahwa Allah adalah Rabbnya akan tetapi dia justru kufur dan menentang. Pemahaman semacam ini -yaitu yang mendefinisikan iman cukup dengan ma’rifah/pengenalan belaka- adalah penyimpangan yang dilakukan oleh sekte Jahmiyah. Karena mereka (Jahmiyah) mendefinisikan iman hanya dengan ma’rifah. Oleh sebab itu yang dimaksud dengan mengenal Allah di sini adalah yang mencakup pembenaran di dalam hati/keyakinan, ucapan, dan amalan. Sehingga tercakup di dalamnya iman kepada rububiyah Allah, uluhiyah-Nya, dan nama-nama serta sifat-sifat-Nya (lihat Transkrip Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 5)
Di dalam ma’rifatullah tercakup keimanan kepada Allah dalam hal rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.” (al-Fatihah : 1). Allah juga berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian…” (al-Baqarah : 21). Allah juga berfirman (yang artinya), “Maka janganlah kalian menjadikan bagi Allah sekutu-sekutu sementara kalian mengetahui.” (al-Baqarah : 22). Allah berfirman (yang artinya), “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura : 11) (lihat Transkrip Syarh Tsalatsatil Ushul oleh as-Suhaimi, hal. 3-4)
Iman kepada Allah mencakup iman terhadap wujud Allah, iman terhadap rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan asma’ wa shifat-Nya. Oleh sebab itu wajib mentauhidkan Allah dalam hal rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat (lihat keterangan Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah dalam Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/28)
Mentauhidkan Allah dalam hal rububiyah maksudnya adalah meyakini bahwa Allah itu esa dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya seperti mencipta, memberikan rizki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur segala urusan di alam semesta ini. Tidak ada sekutu bagi Allah dalam perkara-perkara ini (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/28)
Mentauhidkan Allah dalam hal uluhiyah maksudnya adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba seperti dalam berdoa, merasa takut, berharap, tawakal, isti’anah, isti’adzah, istighotsah, menyembelih, bernazar, dsb. Oleh sebab itu ibadah-ibadah itu tidak boleh dipalingkan kepada selain-Nya siapa pun ia; apakah dia malaikat ataupun nabi terlebih-lebih lagi selain mereka (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/28)
Mentauhidkan Allah dalam hal asma’ wa shifat maksudnya adalah menetapkan segala nama dan sifat Allah yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri atau oleh rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan kesempurnaan dan kemuliaan-Nya tanpa melakukan takyif/membagaimanakan dan tanpa tamtsil/menyerupakan, tanpa tahrif/menyelewengkan, tanpa ta’wil/menyimpangkan, dan tanpa ta’thil/menolak serta menyucikan Allah dari segala hal yang tidak layak bagi-Nya (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/28)
Semua ayat yang membicarakan tentang perbuatan-perbuatan Allah maka itu adalah tercakup dalam tauhid rububiyah. Dan semua ayat yang membicarakan tentang ibadah, perintah untuk beribadah dan ajakan kepadanya maka itu mengandung tauhid uluhiyah. Dan semua ayat yang membicarakan tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya maka itu mengandung tauhid asma’ wa shifat (lihat at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 29)
Kaitan antara ketiga macam tauhid ini adalah; bahwa tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat mengkonsekuensikan tauhid uluhiyah. Adapun tauhid uluhiyah mengandung keduanya. Artinya barangsiapa yang mengakui keesaan Allah dalam hal uluhiyah maka secara otomatis dia pun mengakui keesaan Allah dalam hal rububiyah dan asma’ wa shifat. Orang yang meyakini bahwa Allah lah sesembahan yang benar -sehingga dia pun menujukan ibadah hanya kepada-Nya- maka dia tentu tidak akan mengingkari bahwa Allah lah Dzat yang menciptakan dan memberikan rizki, yang menghidupkan dan mematikan, dan bahwasanya Allah memiliki nama-nama yang terindah dan sifat-sifat yang mulia (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/30)
Adapun orang yang mengakui tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat maka wajib baginya untuk mentauhidkan Allah dalam hal ibadah (tauhid uluhiyah). Orang-orang kafir yang didakwahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui tauhid rububiyah akan tetapi pengakuan ini belum bisa memasukkan ke dalam Islam. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi mereka supaya mereka beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Oleh sebab itu di dalam al-Qur’an seringkali disebutkan penetapan tauhid rububiyah sebagaimana yang telah diakui oleh orang-orang kafir dalam rangka mewajibkan mereka untuk mentauhidkan Allah dalam hal ibadah (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/30-31)
Diantara ketiga macam tauhid di atas, maka yang paling dituntut adalah tauhid uluhiyah. Sebab itulah perkara yang menjadi muatan pokok dakwah para rasul dan sebab utama diturunkannya kitab-kitab dan karena itu pula ditegakkan jihad fi sabilillah supaya hanya Allah yang disembah dan segala sesembahan selain-Nya ditinggalkan (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 29)
Seandainya tauhid rububiyah itu sudah cukup niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak perlu memerangi orang-orang kafir di masa itu. Bahkan itu juga berarti tidak ada kebutuhan untuk diutusnya para rasul. Maka ini menunjukkan bahwa sesungguhnya yang paling dituntut dan paling pokok adalah tauhid uluhiyah. Adapun tauhid rububiyah maka itu adalah dalil atau landasan untuknya (lihat at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 30).
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Bukanlah makna tauhid sebagaimana apa yang dikatakan oleh orang-orang jahil/bodoh dan orang-orang sesat yang mengatakan bahwa tauhid itu adalah dengan anda mengakui bahwa Allah lah sang pencipta dan pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan, dan yang mengatur segala urusan. Ini tidak cukup. Orang-orang musyrik dahulu telah mengakui perkara-perkara ini namun hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam…” (lihat at-Tauhid, Ya ‘Ibadallah, hal. 22)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah, melainkan mereka juga terjerumus dalam kemusyrikan.” (Yusuf: 106).
Ikrimah berkata, “Tidaklah kebanyakan mereka -orang-orang musyrik- beriman kepada Allah kecuali dalam keadaan berbuat syirik. Apabila kamu tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Mereka menjawab, ‘Allah’. Itulah keimanan mereka, namun di saat yang sama mereka juga beribadah kepada selain-Nya.” (lihat Fath al-Bari [13/556])
Syaikh Raslan hafizhahullah berkata, “Bukanlah tauhid itu dengan semata-mata mengakui bahwa hanya Allah yang menciptakan, yang berkuasa dan yang mengatur tetapi disertai persembahan ibadah kepada selain-Nya. Ini bukanlah tauhid. Orang-orang musyrik itu telah mengakui tauhid rububiyah yaitu mengesakan Allah dalam hal penciptaan, kekuasaan, dan pengaturan. Akan tetapi bersamaan dengan itu mereka juga beribadah kepada selain-Nya sehingga mereka tetap berstatus sebagai orang musyrik. Pengakuan mereka itu belum bisa memasukkan ke dalam Islam dan belum mengeluarkan mereka dari kekafiran.” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ Syaikh Raslan, hal. 15)
Tauhid uluhiyah inilah yang dimaksud di dalam dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum musyrikin di masa itu. Sebagaimana bisa kita tangkap dari firman Allah yang mengisahkan tanggapan mereka/orang musyrik (yang artinya), “Apakah dia -Muhammad- itu hendak menjadikan sesembahan-sesembahan yang banyak itu kemudian hanya menjadi tinggal satu sesembahan saja. Sungguh ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan.” (Shaad : 5)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu apabila dikatakan kepada mereka laa ilaaha illallah maka mereka pun menyombongkan diri. Mereka berkata: Akankah kami meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair gila.” (ash-Shaffat : 35-36)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Sebagaimana pula wajib diketahui bahwa pengakuan terhadap tauhid rububiyah saja tidaklah cukup dan tidak bermanfaat kecuali apabila disertai pengakuan terhadap tauhid uluhiyah dan benar-benar merealisasikannya dengan ucapan, amalan, dan keyakinan…” (lihat Syarh Kasyf asy-Syubuhat, hal. 24-25).
Demikian sedikit catatan faidah yang bisa kami sajikan pada kesempatan ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.
—
Bonus Informasi :
Donasi Pembangunan Masjid
Alhamdulillah, atas taufik dari Allah kemudian bantuan dari para muhsinin. Pada saat ini telah dilakukan proses perataan tanah wakaf yang hendak didirikan di atasnya bangunan masjid rintisan Graha al-Mubarok di dusun Donotirto, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul. Jarak tempuh lokasi tanah tersebut dari kampus UMY adalah kurang lebih 10 menit.
Tanah yang diratakan untuk lokasi pembangunan masjid ini merupakan wakaf dari dua orang muhsinin, yaitu Bapak Sudarmanto dan Bapak Suranto, semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan. Luas tanah yang hendak dibangun masjid adalah 400 meter per segi.
Pengurusan tanah wakaf ini merupakan kerjasama dari rekan-rekan pengurus FORSIM yaitu al-Akh Yudha -ketua FORSIM-, al-Akh Andes -takmir mahasiswa Masjid Muthohharoh Ngebel-, al-Akh Bayu -bendahara FORSIM-, Bp. Windri -pembina FORSIM-, Bp. dr. Desin -pembina FORSIM-, Bp. Sudarmanto dan Bp. Suranto -selaku pemilik tanah- beserta rekan-rekan wisma al-Mubarok dan wisma al-Falah, semoga Allah membalas kebaikan mereka dengan sebaik-baik balasan.
Bagi kaum muslimin yang ingin menyumbangkan sebagian hartanya untuk pembangunan masjid silahkan mengirimkan kepada panitia pembangunan masjid via :
Rekening Bank Syariah Mandiri (BSM) no rek. 706 712 68 17
atas nama Windri Atmoko
Konfirmasi Donasi via SMS :
Ketik : Nama#Alamat#Donasi Masjid#Tanggal Transfer#Jumlah
Contoh : Abdurrahman, Jakarta, Donasi Pembangunan Masjid, 15 Mei 2016, 1 Juta
Dikirimkan ke no HP : 0857 4262 4444 (sms/wa) (Nashrullah, Wakil Mudir Ma’had)
Demikian informasi dari kami, semoga bermanfaat.
– Forum Studi Islam Mahasiswa (FORSIM)
– Pengurus Ma’had al-Mubarok
– Panitia Pendirian Graha al-Mubarok
Pusat Informasi :
Website : www.al-mubarok.com
Fanspage FB : Kajian Islam al-Mubarok
e-mail : forsimstudi@gmail.com
—
Motivasi :
Keutamaan Membangun Masjid
Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah…” (at-Taubah : 18)
Memakmurkan masjid mencakup perbuatan memakmurkannya secara fisik dan juga secara maknawi. Memakmurkan secara fisik misalnya adalah membangunnya dengan tanah dan batu, menemboknya, dsb. Adapun memakmurkan secara maknawi ialah dengan keimanan kepada Allah, sholat, membaca al-Qur’an, dakwah dan ta’lim/mengajarkan ilmu agama. Oleh sebab itu apabila seorang mukmin membangun sebuah masjid dengan landasan iman dan keikhlasan maka hal itu termasuk memakmurkan masjid secara fisik dan maknawi sekaligus maka pahalanya adalah Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Minhatul Malik al-Jalil, 1/856)
Memakmurkan masjid yang sejati adalah dengan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Sehingga masjid benar-benar menjadi tempat untuk menunaikan sholat berjama’ah. Tempat untuk menyebarkan ilmu dan diadakannya majelis-majelis ilmu. Tempat untuk mempelajari al-Qur’an. Tempat untuk beri’tikaf. Dari masjid inilah akan terpancar cahaya ilmu dan ta’lim. Dan dari masjid inilah akan tersebar berbagai kebaikan di tengah umat (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh Bulughul Maram, 2/166)
Dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membangun sebuah masjid seraya mengharap wajah Allah niscaya Allah akan bangunkan untuknya yang semisalnya di dalam surga.” (HR. Bukhari no. 452)
Di dalam hadits ini terkandung keutamaan bagi orang yang membangun sebuah masjid untuk Allah, bahwasanya dia akan dibangunkan sebuah rumah di surga. Ini adalah keutamaan yang sangat besar. Akan tetapi hal itu berlaku dengan syarat harus disertai dengan iman dan keikhlasan. Oleh sebab itu disebutkan dalam hadits ‘seraya mengharap wajah Allah’. Dengan demikian perbuatan itu harus dilandasi dengan keimanan dan keikhlasan. Apabila orang yang membangunnya tidak beriman atau tidak ikhlas maka tidak ada pahala baginya di akhirat. Dan yang dimaksud dengan membangun masjid itu mencakup membangun sejak dari awal ataupun memperbaharui/merenovasi dan memperluasnya (lihat Minhatul Malik al-Jalil, 1/861)