Seri Faidah Ushul Tsalatsah [2]

Bismillah.

Penulis kitab -yaitu Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah– mengatakan di bagian awal risalahnya, “Ketahuilah -semoga Allah merahmati anda- bahwa wajib atas kita…”

Makna Istilah Wajib

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Wajib ialah segala sesuatu yang diberi pahala bagi pelakunya dan diberi hukuman bagi yang meninggalkannya. Adapun mustahab/sunnah adalah perkara yang diberi pahala bagi pelakunya dan tidak dihukum orang yang meninggalkannya. Dan mubah itu adalah hal-hal yang tidak diberi pahala karena melakukannya dan tidak dihukum/berdosa karena meninggalkannya.” (Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, hal. 15)

Di dalam kitabnya al-Ushul min ‘Ilmi al-Ushul, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa wajib adalah sesuatu yang diperintahkan oleh ‘pembuat syari’at’ dalam bentuk keharusan seperti halnya sholat lima waktu. Artinya, di dalam perkara yang wajib ini tidak ada pilihan lain bagi hamba. Contoh perkara wajib lainnya adalah puasa Ramadhan. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menyaksikan bulan itu maka hendaklah dia berpuasa.” (al-Baqarah : 185). Sesuatu yang wajib adalah hal yang diperintahkan, oleh sebab itu tidak termasuk di dalamnya perkara haram, makruh, dan mubah; karena ketiga hal ini tidak diperintahkan. Dan dengan perkataan ‘dalam bentuk keharusan’ memberikan faidah bahwa perkara yang mandub/mustahab tidaklah termasuk dalam hal yang wajib. Karena sesuatu yang mustahab/dianjurkan tidak ada keharusan padanya. Orang yang melakukan kewajiban akan diberi pahala apabila dia melakukannya dalam rangka menjalankan syari’at, bukan karena riya’. Selain itu dalam melakukan kewajiban juga harus dilandasi dengan niat. Dan juga harus sesuai dengan petunjuk/ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang meninggalkan kewajiban berhak untuk diberi hukuman apabila dia melakukannya dalam keadaan mengetahui dan sengaja atau dia meninggalkan kewajiban itu secara mutlak/tidak melakukannya sama sekali (lihat Syarh al-Ushul min ‘Ilmi al-Ushul oleh Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir asy-Syatsri hafizhahullah, hal. 52-53)

Orang yang meninggalkan kewajiban ada dua kemungkinan; dia dihukum karena keadilan Allah dan hikmah-Nya, atau dia tidak jadi dihukum karena maaf dan rahmat-Nya. Ungkapan ‘berhak dihukum’ lebih tepat digunakan daripada perkataan ‘dihukum’ karena pada perkataan ini terkandung pemastian diberikannya hukuman. Padahal, memastikan dijatuhkannya hukuman pada orang yang meninggalkan kewajiban adalah pernyataan yang tidak selaras dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengenai orang yang meninggalkan kewajiban; yaitu dia berada di bawah kehendak Allah; artinya bisa jadi dia diampuni oleh Allah (lihat Taqrib al-Hushul ‘ala Latha’if al-Ushul min ‘Ilmi al-Ushul, hal. 37 oleh Dr. Ghazi bin Mursyid al-‘Utaibi hafizhahullah)

Wajib juga bisa didefinisikan dengan ‘hal-hal yang dipuji bagi pelakunya dan dicela bagi yang meninggalkannya’. Adapun sunnah/mustahab/mandub adalah ‘hal-hal yang pelakunya dipuji tetapi yang meninggalkannya tidak dicela’ (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Muhammad bin Husain al-Jizani hafizhahullah hal. 290-291)

Yang dimaksud dengan istilah ‘pembuat syari’at’ adalah Allah atau rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena taat kepada rasul sama dengan taat kepada Allah. Adapun pada asalnya yang menetapkan syari’at itu adalah Allah ‘azza wa jalla. Meskipun demikian rasul adalah penyampai syari’at Allah itu dan menjadi penetap syari’at itu bagi hamba-hamba Allah (lihat Syarh al-Ushul min ‘Ilmi al-Ushul oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, hal. 46)

—-

12959419_1126149990738724_1443654006_o

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *