Faidah Ayat Kedua :
Allah berfirman
“{وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ}”
“Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)
Syaikh Abdul Karim al-Khudhair hafizhahullah berkata :
الطاغوت كما قرر ابن القيم -رحمه الله تعالى- من الطغيان وهو ما تجاوز به العبد حده من معبود أو متبوع أو مطاع، وكل ما عبد من دون الله وهو راض فهو طاغوت، ما عبد من دون الله فهو طاغوت، ولا يلزم أن يُسجَد له ليكون معبوداً من دون الله، إذا أمروا بمعصية أو نهوا عن طاعة واستجيب لهم فقد اتخذوهم أرباباً من دون الله.
Thaghut sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu ta’ala berasal dari kata thughyan yang artinya sesuatu yang menyebabkan hamba melampaui batasannya dalam bentuk sesuatu yang disembah, diikuti, atau ditaati. Setiap yang disembah selain Allah dan dia ridha maka dia adalah thaghut. Segala yang disembah selain Allah adalah thaghut. Tidak mesti orang lain sujud kepadanya sehingga dia disebut sebagai sesembahan tandingan bagi Allah. Apabila mereka diperintahkan untuk berbuat maksiat lalu dipenuhi ajakannya maka sesungguhnya orang-orang itu telah menjadikan sosok yang mereka taati sebagai rabb/sesembahan tandingan bagi Allah.
(lihat Transkrip Syarh Kitab Tauhid, bagian 1, hlm. 15)
Adapun orang atau sesuatu yang disembah selain Allah tetapi dia tidak meridhai hal itu maka dia bukanlah thaghut. Seperti para rasul, para nabi, kaum beriman, mereka bukan thaghut. Karena mereka semua berlepas diri dari perbuatan itu. Akan tetapi yang menjadi thaghut dalam kasus pemujaan mereka itu adalah setan yang mengajak kepada perbuatan syirik dan menghias-hiasinya agar tampak indah di hadapan manusia (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dalam Syarh Kitab Tauhid, hlm. 20 cet. Dar al-Amajid)
# Kewajiban Bertauhid
Ayat di atas menunjukkan wajibnya bertauhid. Karena di dalamnya terdapat perintah ‘beribadahlah kepada Allah’. Setiap perintah untuk beribadah maknanya adalah perintah untuk bertauhid. Hukum asal perintah adalah megandung makna wajib. Dengan demikian tauhid adalah wajib (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Ushaimi hafizhahullah dalam Syarh Kitab Tauhid, hlm. 7)
Kewajiban beribadah kepada Allah tidak bisa terlaksana kecuali dengan memadukan antara tauhid dengan sikap mengingkari segala bentuk sesembahan selain Allah. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah (yang artinya), “Maka barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah sungguh dia telah berpegang-teguh dengan simpul yang paling kuat.” (al-Baqarah : 256)
Tauhid menuntut seorang hamba beribadah hanya kepada Allah dan tidak menujukan ibadah kepada selain-Nya apapun atau siapapun dia. Hal ini pun tidak cukup, sebab imannya belum dikatakan lurus kecuali apabila mengingkari segala bentuk sesembahan selain Allah. Inilah yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam kepada kaum muslimin. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada bagi kalian teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, ketika mereka berkata kepada kaumnya; Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa-apa yang kalian sembah selain Allah, kami mengingkari kalian, dan telah jelas antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian sampai kalian beriman kepada Allah semata.” (al-Mumtahanah : 4)
# Allah Tidak Menelantarkan Manusia
Ayat di atas juga menunjukkan kepada kita bahwa manusia tidaklah ditinggalkan begitu saja oleh Allah tanpa bimbingan dan panduan. Bahkan Allah mengutus kepada setiap umat seorang rasul. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah ada satu umat pun kecuali berlalu padanya seorang pemberi peringatan.” (Fathir : 24). Allah juga berfirman (yang artinya), “Para rasul yang memberi kabar gembira dan memberikan peringatan supaya tidak ada lagi alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah diutusnya para rasul.” (an-Nisa’ : 165) (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam at-Ta’liq al-Mukhtashar al-Mubin, hlm. 16)
Oleh sebab itu di dalam risalah Ushul Tsalatsah-nya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memberikan penegasan dalam masalah ini. Beliau pun memasukkan faidah ini dalam kategori perkara yang wajib untuk dipelajari dan diamalkan oleh setiap muslim. Beliau mengatakan, “.. bahwa Allah telah menciptakan kita dan memberikan rezeki kepada kita. Allah tidak meninggalkan kita dalam keadaan sia-sia/terlantar. Akan tetapi Allah mengutus rasul kepada kita. Barangsiapa menaatinya masuk surga dan barangsiapa durhaka kepadanya masuk neraka.” Kemudian beliau membawakan dalilnya yaitu firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kalian seorang rasul yang menjadi saksi atas kalian sebagaimana Kami telah mengutus kepada Fir’aun seorang rasul, maka durhakalah Fir’aun kepada rasul itu, maka Kami pun menyiksanya dengan hukuman yang sangat berat.” (al-Muzammil : 15-16)
# Allah Tidak Bermain-main
Allah menciptakan kita bukan untuk bermain-main atau sia-sia belaka. Ada tujuan agung di balik penciptaan dunia dengan segala isinya. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah kalian mengira bahwasanya Kami menciptakan kalian hanya untuk bermain-main/sia-sia, dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maha tinggi Allah Raja yang haq, tidak ada sesembahan -yang benar- selain Dia.” (al-Mu’minun : 115-116). Allah berfirman (yang artinya), “Apakah manusia mengira bahwa dia akan ditinggalkan begitu saja…” (al-Qiyamah : 36)
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Karena keberadaan umat manusia yang hidup kemudian bersenang-senang sebagaimana bersenang-senangnya binatang lalu mati tanpa ada hari kebangkitan dan penghisaban/penghitungan amalan adalah suatu hal yang tidak layak bagi sifat hikmah Allah ‘azza wa jalla, bahkan hal itu suatu perbuatan main-main/sia-sia belaka…” (lihat Syarh Tsalatsah Ushul, hlm. 31 cet. Dar ats-Tsurayya)
# Allah Tegakkan Hujjah kepada Segenap Hamba
Allah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul dalam rangka menegakkan hujjah kepada umat manusia dan supaya mereka bisa beribadah kepada Allah di atas ilmu yang nyata. Allah berfirman (yang artinya), “Mahaberkah Allah yang telah menurunkan al-Furqan (al-Qur’an) kepada hamba-Nya agar dia menjadi pemberi peringatan bagi segenap manusia.” (al-Furqan : 1).
Oleh sebab itu Allah perintahkan manusia untuk kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah apabila terjadi perselisihan diantara mereka. Allah berfirman (yang artinya), “Kemudian apabila kalian berseilsih tentang suatu perkara hendaklah kalian kembalikan hal itu kepada Allah dan Rasul.” (an-Nisa’ : 59). Sehingga kebutuhan manusia kepada risalah/ajaran rasul adalah kebutuhan yang sangat besar dan mendesak dalam kehidupan mereka.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Risalah adalah perkara yang sangat mendesak dalam mewujudkan perbaikan bagi hamba untuk kehidupan dunia dan akhiratnya. Sebagaimana tidak ada kebaikan baginya di akhirat kecuali dengan mengikuti risalah, maka demikian pula tidak ada kebaikan baginya dalam urusan dunianya kecuali dengan mengikuti risalah. Karena sesungguhnya manusia sangat terdesak kebutuhannya terhadap syari’at.” (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hlm. 75 karya Syaikh Muhammad al-Jizani hafizhahullah)
# Kekompakan Dakwah Para Rasul
Ayat yang mulia di atas -dalam surat an-Nahl ayat 36- memberikan faidah bahwa para rasul semuanya memiliki seruan dakwah yang sama yaitu mengajak kepada tauhid dan menjauhi syirik. Memerintahkan untuk beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik. Inilah agama para rasul ‘alaihimus salam. Agama mereka satu, walaupun syari’atnya berbeda. Pokok agama mereka sama yaitu tauhid. Mereka mengajarkan penghambaan kepada Allah sesuai dengan apa yang disyari’atkan (lihat I’anatul Mustafid, Jil. 1 hlm. 37 karya Syaikh al-Fauzan hafizhahullah)
Beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut merupakan kandungan kalimat tauhid laa ilaha illallah. Karena kalimat laa ilaha illallah terdiri dari dua pilar; penolakan/nafi dan penetapan/itsbat. Menolak ibadah kepada selain Allah dan menetapkan ibadah hanya untuk Allah. Dalam kalimat ‘sembahlah Allah’ terkandung penetapan, sedangkan dalam kalimat ‘jauhilah thaghut’ terkandung penolakan (lihat keterangan Syaikh Hamad bin ‘Atiq rahimahullah dalam Ibthal at-Tandid, hlm. 19)
Dalam surat al-Anbiya’ Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada ilah/sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku (saja).” (al-Anbiya’ : 25)