Bismillah.
Faidah dalam bahasa arab lebih tepat mungkin diartikan dengan pelajaran atau hikmah, sementara istilah hikmah itu sendiri memiliki makna yang luas; salah satunya adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya atau lebih luas dari itu hikmah itu bermakna kepahaman dalam agama.
Diantara ulama yang sangat besar perhatiannya dalam hal faidah dan hikmah ini adalah Imam Ibnul Qayyim dan Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahumallah. Sehingga tidak heran apabila Ibnul Qayyim memiliki sebuah kitab khusus dengan judul al-Fawa’id; bentuk jamak dari kata ‘faidah’. Sementara Ibnu Rajab menyusun kitab syarah hadits yang beliau beri nama Jami’ul ‘Ulum wal Hikam; yang bermakna ensiklopedi ilmu dan hikmah.
Sebagian ulama di masa kini pun membuat buku khusus yang mengumpulkan petikan faidah dan hikmah dari ulama terdahulu, semacam Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah yang disusun oleh Syaikh Shalih bin Ahmad asy-Syami, begitu pula Mawa’izh Ibnil Qayyim juga karya beliau. Petikan faidah dan hikmah ini lebih mudah atau sering disebut dengan mau’izhah/nasihat. Dengan demikian ia lebih menyentuh ke dalam hati dan lebih akrab di telinga para pembaca.
Tidaklah diragukan bahwa kalimat para ulama salaf itu singkat tetapi sarat akan makna dan pelajaran, sebagaimana ilmu salaf itu lebih dalam dan lebih mendekati kebenaran. Oleh sebab itu para ulama kita mengatakan, “Setiap kebaikan itu karena mengikuti ulama salaf, sedangkan semua keburukan karena mengikuti orang-orang khalaf/belakangan; yaitu yang menyelisihi salaf.”
Imam al-Auza’i rahimahullah berpesan, “Wajib atasmu mengikuti jejak-jejak para salaf/pendahulu yang baik meskipun orang-orang menolakmu…” Imam Malik rahimahullah berkata, “Tidak akan memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini kecuali apa-apa yang telah memperbaiki keadaan generasi awalnya.”
Tentu saja, landasan dalam beragama bukan pada ucapan ulama atau perkataan tokoh. Sebab yang dijadikan rujukan dan sandaran adalah al-Kitab dan as-Sunnah. Allah berfirman (yang artinya), “Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara, kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir…” (an-Nisaa’ : 59)
Meskipun demikian, untuk bisa memahami ayat atau hadits kita tidak bisa terlepas dari bantuan para ulama yang ahli di bidangnya. Ucapan para ulama salaf terutama dari kalangan sahabat nabi merupakan panduan dan arahan bagi kita untuk menjalankan ajaran-ajaran agama. Hal itu tidak lain karena mereka lah yang paling memahami maksud dari ayat dan hadits-hadits itu setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh sebab itu kita dapati sebagian ulama mengumpulkan ucapan dan nasihat-nasihat mereka dalam buku khusus, sebagaimana Abu Nu’aim rahimahullah dalam kitabnya Hilyatul Auliyaa’. Tidak jarang pula kita temukan penjelasan dan nasihat para salaf itu di sela-sela kitab tafsir dan syarah hadits. Hal ini menunjukkan perhatian besar para ulama terhadap ucapan dan nasihat salafus shalih.
Satu hal yang perlu diingat oleh kita, bahwa membaca dan meresapi nasihat para ulama terdahulu merupakan sarana untuk memupuk keimanan dan menjaga ketakwaan. Para sahabat nabi -sebagaimana disebut oleh Ibnu Mas’ud- adalah orang-orang yang paling bersih hatinya dan paling dalam ilmunya. Oleh sebab itu ucapan mereka penuh dengan kebaikan dan pelajaran. Sebagian mereka terkadang bertemu dengan saudaranya hanya untuk mengajak bersama-sama menyegarkan keimanan dan memperkuat jalinan cinta karena Allah.
Dengan begitu semestinya kita menyadari, bahwa ucapan salaf tidak layak hanya kita jadikan sebagai penghias tulisan atau pengharum pembicaraan, lebih daripada itu ucapan salaf adalah lentera dan cahaya yang semestinya kita gunakan untuk berjalan di atas kebenaran.
—