Secara bahasa, manhaj berarti ‘jalan yang terang dan gamblang’. Adapun istilah ‘salaf’ yang dimaksud di sini adalah para pendahulu umat ini dari kalangan Sahabat dan pengikut setia mereka (lihat al-Mukhtashar al-Hatsits, hal. 15-16)
Apabila disebutkan istilah salaf secara umum maka yang dimaksud adalah tiga generasi pertama dari umat ini yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Mereka itulah yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia adalah di masaku, kemudian yang sesudah mereka, kemudian yang sesudah mereka.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Bukhari, Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu) (lihat al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani, hal. 11)
Mengikuti jalan kaum salaf adalah wajib. Hal ini berdasarkan firman Allah (yang artinya), “Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami pun akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’ : 115). Dan tidaklah diragukan bahwa jalan para sahabat dan tabi’in adalah jalan kaum beriman yang harus diikuti (lihat al-Mukhtashar al-Hatsits, hal. 21)
Allah pun meridhai orang-orang yang mengikuti para sahabat. Allah berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu kaum Muhajirin dan Anshar beserta orang-orang yang mengikuti mereka, maka Allah ridha kepada mereka dan mereka pun pasti ridha kepada-Nya, dan Allah telah siapkan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah keberuntungan yang sangat besar.” (at-Taubah : 100). Maka ayat ini berisi pujian bagi jalan para sahabat dan wajibnya menempuh jalan mereka itu (lihat al-Mukhtashar al-Hatsits, hal. 21)
Diantara pokok yang paling utama di dalam dakwah salaf ini adalah memberikan perhatian besar terhadap ilmu agama. Karena ilmu agama adalah pondasi tegaknya kehidupan. Tidak akan baik individu dan masyarakat kecuali dengan ilmu syar’i. Dan tidak akan bisa menempuh jalan/ajaran Nabi kecuali dengan landasan ilmu. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru kepada Allah di atas bashirah/ilmu yang nyata, inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku…” (Yusuf : 108) (lihat Ushul ad-Da’wah as-Salafiyah, hal. 26-27)
Selain itu, manhaj salaf sangat memperhatikan masalah amal. Karena para salaf senantiasa mengiringi ilmu dengan amal. Dengan mengamalkan ilmu maka seorang muslim akan terbebas dari ancaman yang sangat keras dari Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan. Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah ketika kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (ash-Shaff : 2-3) (lihat Ushul ad-Da’wah as-Salafiyah, hal. 33)
Manhaj salaf sangat memperhatikan masalah aqidah tauhid. Karena inilah tujuan agung dari penciptaan jin dan manusia. Bahkan tidaklah Allah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul melainkan untuk mewujudkan tujuan ini dan mengajak manusia untuk merealisasikannya. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56) (lihat Ushul ad-Da’wah as-Salafiyah, hal. 41-42)
Konsekuensi dari dakwah tauhid ini adalah memperingatkan kaum muslimin dari syirik dengan segala bentuknya. Karena syirik adalah dosa besar yang paling besar, sebab terhapusnya amal, dosa yang tidak diampuni oleh Allah, dan sebab kekal di dalam neraka Jahannam. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kamu berbuat syirik maka pasti lenyap amal-amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65) (lihat al-Mukhtashar al-Hatsits, hal. 179-180)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Barangsiapa menghendaki keselamatan bagi dirinya, menginginkan amal-amalnya diterima dan ingin menjadi muslim yang sejati, maka wajib atasnya untuk memperhatikan perkara aqidah. Yaitu dengan cara mengenali aqidah yang benar dan hal-hal yang bertentangan dengannya dan membatalkannya. Sehingga dia akan bisa membangun amal-amalnya di atas aqidah itu. Dan hal itu tidak bisa terwujud kecuali dengan menimba ilmu dari ahli ilmu dan orang yang memiliki pemahaman serta mengambil ilmu itu dari para salaf/pendahulu umat ini.” (lihat al-Ajwibah al-Mufidah ‘ala As’ilatil Manahij al-Jadidah, hal. 92)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Wajib untuk mempelajari tauhid dan mengenalinya sehingga seorang insan bisa berada di atas ilmu yang nyata. Apabila dia mengenali tauhid maka dia juga harus mengenali syirik apakah syirik itu; yaitu dalam rangka menjauhinya. Sebab bagaimana mungkin dia menjauhinya apabila dia tidak mengetahuinya. Karena sesungguhnya jika orang itu tidak mengenalinya -syirik- maka sangat dikhawatirkan dia akan terjerumus di dalamnya dalam keadaan dia tidak menyadari…” (lihat at-Tauhid, ya ‘Ibaadallah, hal. 27)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka tidak akan bisa mengenali nilai kesehatan kecuali orang yang sudah merasakan sakit. Tidak akan bisa mengenali nilai cahaya kecuali orang yang berada dalam kegelapan. Tidak mengenali nilai penting air kecuali orang yang merasakan kehausan. Dan demikianlah adanya. Tidak akan bisa mengenali nilai makanan kecuali orang yang mengalami kelaparan. Tidak bisa mengenali nilai keamanan kecuali orang yang tercekam dalam ketakutan. Apabila demikian maka tidaklah bisa mengenali nilai penting tauhid, keutamaan tauhid dan perealisasian tauhid kecuali orang yang mengenali syirik dan perkara-perkara jahiliyah supaya dia bisa menjauhinya dan menjaga dirinya agar tetap berada di atas tauhid…” (lihat I’anatul Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid, 1/127-128)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka tidaklah cukup seorang insan dengan mengenali kebenaran saja. Akan tetapi dia harus mengenali kebenaran dan juga mengenali kebatilan. Dia kenali kebenaran untuk dia amalkan. Dan dia kenali kebatilan untuk dia jauhi. Karena apabila dia tidak mengenali kebatilan niscaya dia akan terjerumus ke dalamnya dalam keadaan dia tidak mengerti…” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 62)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Bukanlah makna tauhid sebagaimana apa yang dikatakan oleh orang-orang jahil/bodoh dan orang-orang sesat yang mengatakan bahwa tauhid adalah dengan anda mengakui bahwa Allah lah sang pencipta dan pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan, dan yang mengatur segala urusan. Ini tidak cukup. Orang-orang musyrik dahulu telah mengakui perkara-perkara ini namun hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam…” (lihat at-Tauhid, Ya ‘Ibadallah, hal. 22)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia’nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid, 1/17)