Penulis -Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah– memulai risalahnya dengan basmalah. Hal ini dalam rangka mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memulai surat dan perjanjian yang beliau tulis dengan basmalah. Hal ini adalah sunnah dan telah menjadi kebiasaan para ulama dalam menulis risalah dan kitab mereka.
Faidah memulai dengan basmalah diantaranya adalah untuk mendapatkan keberkahan dengan menyebutkan nama-nama Allah. Selain itu juga untuk memohon pertolongan kepada Allah agar memberikan kemudahan dan bantuan terhadap urusan yang dilakukan.
Di dalam basmalah terdapat tiga nama Allah; Allah, ar-Rahman, dan ar-Rahim. Nama Allah bermakna pemilik sifat uluhiyah; yaitu dzat yang berhak disembah atas seluruh makhluk. Nama ar-Rahman dan ar-Rahim berasal dari kata rahmat dan menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat merahmati/kasih sayang. Nama ar-Rahman berkaitan dengan sifat kasih sayang yang selalu melekat pada diri-Nya, sedangkan nama ar-Rahim berkaitan dengan perbuatan kasih sayang yang diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Ada juga yang menafsirkan bahwa ar-Rahman bermakna pemilik kasih sayang yang luas bagi seluruh makhluk, sedangkan ar-Rahim bermakna pemilik kasih sayang yang khusus bagi orang-orang beriman.
Berkaitan dengan nama-nama Allah atau asma’ul husna maka ada hal-hal penting yang harus kita pahami. Diantaranya adalah bahwa Allah memiliki asma’ul husna yang wajib kita imani sebagaimana adanya tanpa menolak/ta’thil dan tanpa menyerupakan/tamtsil. Hal ini berdasarkan firman Allah (yang artinya), “Tiada yang serupa dengan-Nya sesuatu apapun, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura : 11)
Di dalam ungkapan ‘tiada yang serupa dengan-Nya’ terkandung penafian keserupaan antara sifat Allah dengan sifat makhluk. Bisa jadi namanya sama akan tetapi hakikatnya berbeda, sebagaimana berbedanya dzat Allah dengan dzat makhluk. Di dalam ungkapan ‘Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat’ terkandung penetapan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya, tidak boleh ditolak atau diselewengkan maksudnya. Allah mendengar dan melihat tetapi tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan yang ada pada makhluk.
Kemudian juga dalam hal asma’ wa shifat ini perlu kita pahami bahwa setiap nama Allah pasti mengandung sifat dan sifat Allah itu maha sempurna. Misalnya, di dalam nama ‘Allah’ terkandung sifat uluhiyah (yaitu Allah sebagai dzat yang berhak disembah). Di dalam nama ‘ar-Rahman’ dan ‘ar-Rahim’ terdapat sifat rahmat atau kasih sayang. Sehingga setiap nama Allah pasti mengandung sifat. Mengimani nama-nama Allah melazimkan mengimani sifat-sifat Allah.
Masih berkaitan dengan sifat-sifat Allah, para ulama membagi sifat Allah ke dalam dua bagian; ada yang disebut sebagai sifat dzatiyah, dan ada yang disebut sebagai sifat fi’liyah. Sifat dzatiyah adalah sifat-sifat Allah yang selalu melekat pada diri Allah dan tidak pernah berpisah dari-Nya dalam kondisi apapun. Seperti misalnya sifat ‘hidup’ pada diri Allah, ini adalah termasuk sifat dzatiyah. Adapun sifat fi’liyah adalah sifat-sifat Allah yang berkaitan dengan irodah/kehendak Allah; kapan saja Allah mau maka Allah lakukan hal itu. Contoh sifat fi’liyah ini adalah turunnya Allah pada sepertiga malam terakhir ke langit terendah. Semua sifat Allah -dzatiyah dan fi’liyah- harus kita imani sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Contoh kesempurnaan sifat Allah adalah bahwa Allah maha hidup. Maka sifat hidup yang ada pada Allah itu maha sempurna, tidak didahului dengan ketiadaan dan tidak menimpa kepada-Nya kematian. Berbeda dengan sifat hidup yang ada pada makhluk. Makhluk juga hidup akan tetapi hidupnya makhluk diawali dengan ketiadaan dan menimpa kepadanya kematian.
Mengapa kita harus belajar tentang asma’ul husna dan sifat-sifat Allah yang maha mulia? Jawabannya adalah karena beriman kepada nama dan sifat Allah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari rukun iman kepada Allah. Sebagaimana diterangkan oleh para ulama, bahwa iman kepada Allah itu mencakup empat hal; iman terhadap wujud/keberadaan Allah, iman terhadap rububiyah Allah, iman terhadap uluhiyah Allah, dan iman terhadap nama dan sifat Allah. Seorang muslim tidak dikatakan bertauhid dengan benar kecuali apabila mengimani keempat hal ini.
Bahkan semestinya perhatian kita terhadap perkara iman kepada Allah ini -termasuk di dalamnya adalah iman terhadap nama dan sifat Allah- lebih besar daripada perhatian kita terhadap perkara-perkara yang lain. Mengapa demikian? Karena masalah iman kepada Allah atau tauhid ini merupakan pondasi yang paling pokok dalam agama Islam. Inilah pokok paling penting di dalam keimanan seorang hamba. Oleh sebab itu di dalam sholat kita diwajibkan untuk membaca surat al-Fatihah yang di dalamnya terdapat penyebutan pokok-pokok asma’ul husna.
Di dalam al-Fatihah Allah menyebutkan nama ‘Allah, ar-Rabb, dan ar-Rahman’. Ketiga nama ini dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah sebagai pokok asma’ul husna. Karena seluruh kandungan nama dan sifat Allah bermuara kepada ketiganya. Di dalam nama ‘Allah’ terkandung penetapan tauhid uluhiyah. Di dalam nama ‘ar-Rabb’ atau ‘Rabbul ‘alamin’ terkandung tauhid rububiyah. Di dalam nama ‘ar-Rahman’ terkandung tauhid asma’ wa shifat.
Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta. Tauhid semacam ini telah diakui oleh manusia secara umum, bahkan orang musyrik sekali pun. Dan tauhid jenis ini belum bisa memasukkan ke dalam Islam. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah; dalam artian menujukan ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Tauhid inilah yang memasukkan ke dalam Islam dan menjadi kandungan dari kalimat tauhid laa ilaha illallah. Adapun tauhid asma’ wa shifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Surat al-Fatihah adalah surat yang mengandung banyak pelajaran seputar aqidah dan tauhid. Di dalam surat ini terkandung penetapan pilar-pilar ibadah; yaitu cinta, takut, dan harap. Di dalam ‘alhamdulillah’ terkandung kecintaan. Karena pujian kepada Allah disebut sebagai alhamdu karena ia disertai dengan kecintaan dan pengagungan. Di dalam ‘ar-Rahmanir Rahim’ terdapat harapan. Dan di dalam ‘maaliki yaumid diin’ terkandung makna rasa takut kepada Allah. Karena Allah adalah yang menguasai dan memberikan balasan pada hari kiamat nanti atas amal-amal hamba.
Ibadah kepada Allah adalah ibadah yang memadukan ketiga unsur amalan hati ini; yaitu cinta, takut, dan harap. Beribadah kepada Allah hanya dengan cinta adalah penyimpangan kaum Sufi/Zindiq. Beribadah kepada Allah hanya dengan harapan adalah penyimpangan kaum Murji’ah. Beribadah kepada Allah hanya dengan rasa takut adalah penyimpangan kaum Khawarij. Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah maka mereka menggabungkan cinta, takut, dan harap kepada Allah.
Di dalam surat al-Fatihah juga terkandung penetapan perkara yang paling agung di dalam Islam yaitu tauhidullah. Sebagaimana hal itu tersimpan dalam kalimat ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’. Kalimat ‘iyyaka na’budu’ menunjukkan wajibnya mengesakan Allah dalam beribadah dan mengikhlaskan segala ibadah untuk Allah. Adapun ‘iyyaka nasta’in’ menunjukkan wajibnya bertawakal kepada Allah semata dalam segala urusan.
Di dalam surat al-Fatihah juga terkandung penetapan iman kepada hari akhir, sebagaimana terdapat dalam kalimat ‘maaliki yaumid diin’. Para ulama menjelaskan bahwa seluruh nabi dan rasul memiliki tiga pokok dakwah; yaitu tauhid, risalah, dan iman kepada hari pembalasan. Di dalam surat al-Fatihah ini pula terkandung targhib dan tarhib. Targhib adalah dorongan untuk melakukan amal salih dan kebaikan. Adapun tarhib adalah peringatan dari perbuatan dosa dan keburukan.
Selain itu, di dalam al-Fatihah juga terdapat penetapan betapa besarnya kebutuhan hamba kepada hidayah dari Allah. Sebagaimana disebutkan dalam kalimat ‘ihdinash shirathal mustaqim’. Di dalam kalimat ini ada banyak faidah. Diantaranya adalah pentingnya hidayah shirothol mustaqim. Yang dimaksud shirothol mustaqim adalah jalan para nabi, shiddiqin, syuhada’, dan solihin. Shirothol mustaqim memadukan antara ilmu yang bermanfaat dan amal salih. Adapun jalan yang menyimpang terbagi menjadi dua; jalan orang yang dimurkai dan jalan orang yang sesat.
Orang yang dimurkai adalah yang mengetahui kebenaran tapi tidak mau tunduk dan mengikutinya seperti halnya orang-orang Yahudi. Adapun orang yang sesat adalah yang beramal tanpa landasan ilmu yang benar seperti halnya orang-orang Nasrani. Oleh sebab itu para ulama mengatakan, “Barangsiapa yang rusak diantara orang berilmu diantara kita maka pada dirinya ada keserupaan dengan kaum Yahudi. Dan barangsiapa yang rusak diantara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat keserupaan dengan kaum Nasrani.”
Dari situlah maka para ulama menyimpulkan bahwa hakikat jalan yang lurus itu adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya. Inilah jalan nabi dan para sahabat. Oleh sebab itu para ulama ada yang menafsirkan jalan yang lurus itu dengan Abu Bakar dan Umar; karena mereka berdua lah tokoh terdepan dan terbaik dari umat ini yang mengikuti jalan lurus itu sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Dari sinilah kita bisa memetik faidah bahwa kaum Syi’ah Rafidhah tidak berada di atas jalan yang lurus; karena mereka telah mencaci-maki para sahabat bahkan mengkafirkan sebagian besar dari mereka, dan termasuk di dalamnya mereka melaknat Abu Bakar dan Umar radhiyallahu’anhuma.
Surat al-Fatihah juga memberikan pelajaran betapa besar kebutuhan kita kepada hidayah. Hidayah itu mencakup hidayah ‘menuju jalan lurus’ dan hidayah ‘di atas jalan lurus’. Hidayah menuju jalan lurus artinya hidayah untuk berpegang-teguh dengan Islam dan meninggalkan semua agama selain Islam. Adapun hidayah di atas jalan lurus adalah ilmu, amal, dan keyakinan yang berkaitan dengan segala rincian ajaran di dalam agama Islam. Hidayah juga terbagi dua; hidayah berupa bimbingan dan keterangan, serta hidayah berupa taufik dan ilham. Hidayah berupa taufik dan ilham hanya khusus dimiliki oleh Allah subhanahu wa ta’ala semata.
Pada bagian awal risalah Ushul Tsalatsah ini, penulis membawakan keterangan mengenai empat kewajiban; ilmu, amal, dakwah, dan sabar. Keempat hal ini merupakan kandungan dari surat al-‘Ashr. Dimana di dalam surat itu Allah bersumpah bahwa manusia berada dalam kerugian kecuali yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran. Iman tidak bisa benar kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itu kewajiban paling pertama adalah berilmu. Oleh sebab itu penulis juga membawakan perkataan Imam Bukhari dalam Sahihnya yang menunjukkan wajibnya berilmu sebelum berkata dan beramal. Suatu hal yang menjadi bagian dari aqidah Ahlus Sunnah, bahwa iman terdiri dari perkataan dan amalan.
Apa yang disampaikan oleh penulis di sini menunjukkan kepada kita tentang penting dan wajibnya menimba ilmu agama, yaitu ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh sebab itu salah satu pokok dalam dakwah tauhid ini adalah memiliki perhatian besar terhadap ilmu agama. Bahkan inilah jalan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru/mengajak -manusia- kepada Allah dengan landasan bashirah/ilmu yang nyata. Inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku…” (Yusuf : 108)
Ayat tersebut memberikan faidah bahwa pengikut nabi yang sejati adalah yang menggabungkan dua hal; yaitu berdakwah kepada tauhid dan melandasi dakwahnya dengan ilmu. Selain itu, ayat ini juga memberikan faidah wajibnya ikhlas dalam berdakwah, karena seorang yang berdakwah itu mengajak manusia kepada Allah, bukan kepada dirinya atau kelompoknya. Para ulama juga menjelaskan bahwa diantara sebab terbesar rusaknya dakwah itu adalah karena tidak adanya ilmu atau tidak adanya keikhlasan, sebagaimana disampaikan oleh Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah.
Penulis telah menjelaskan pokok-pokok ilmu itu ke dalam tiga bagian; yaitu mengenal Allah, mengenal nabi-Nya, dan mengenal agama Islam dengan dalil-dalil. Ketiga hal inilah yang akan beliau uraikan dalam risalah Ushul Tsalatsah ini. Ketiga perkara ini merupakan materi yang sangat penting dan menjadi kunci untuk bisa menjawab pertanyaan di alam kubur. Yaitu ketika seorang akan ditanya, “Siapa Rabbmu, Apa Agamamu, dan Siapa Nabimu”. Dan yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini hanyalah orang-orang mukmin.
Di dalam surat al-‘Ashr terdapat banyak faidah. Diantaranya adalah pentingnya waktu. Karena Allah bersumpah dengan waktu/masa. Banyak orang yang merugi dan tertipu karena tidak bisa memanfaatkan waktu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua buah nikmat yang kebanyakan orang tertipu karenanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)
Di dalam surat al-Ashr juga terkandung penetapan bahwa jalan keluar dari kerugian itu adalah dengan iman. Tercakup di dalam iman itu adalah dengan beramal salih, berdakwah, dan sabar. Disebutkannya amal salih secara khusus setelah iman menunjukkan betapa pentingnya amal di dalam iman, bahkan amal merupakan salah satu pilar iman. Para ulama menjelaskan bahwa hakikat iman itu adalah pembenaran di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan. Hal ini juga mengisyaratkan tentang pentingnya iman, bahwa amal tidak akan bermanfaat tanpa keimanan. Termasuk dalam makna iman di sini adalah tauhid dan keikhlasan.
Dari surat al-‘Ashr ini pula kita bisa memetik faidah wajibnya mengenali hakikat amal salih. Para ulama menerangkan bahwa amal salih adalah amal-amal yang dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu bukanlah termasuk amal salih apabila hal itu adalah perkara-perkara yang diada-adakan di dalam Islam, atau biasa disebut dengan bid’ah. Amal salih itu pun hanya akan diterima oleh Allah apabila dikerjakan dengan ikhlas dan dilandasi keimanan.
Dari surat al-‘Ashr ini pun kita bisa mengambil pelajaran betapa pentingnya saling menasihati di dalam agama Islam ini. Karena kalimat ‘wa tawaashau bil haqq’ mengandung makna saling menasihati dan berwasiat dalam kebenaran. Artinya semua orang membutuhkan nasihat. Apakah dia adalah pemimpin atau rakyat, pejabat atau ulama, semuanya butuh kepada nasihat. Bahkan disebutkan dalam hadits bahwa intisari agama Islam ini adalah nasihat. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Tamim ad-Dari radhiyallahu’anhu.
Di dalam ‘saling menasihati dalam kebenaran’ terkandung obat dan penangkal bagi fitnah syubhat, sedangkan di dalam ‘saling menasihati dalam menetapi kesabaran’ terkandung obat dan penangkal bagi fitnah syahwat. Demikian faidah dari Imam Ibnul Qayyim rahimahullah.
Di dalam surat al-‘Ashr juga terkandung pelajaran tentang pentingnya sabar. Bahkan sebagian salaf berkata bahwa ‘sabar di dalam iman seperti kepala bagi badan’. Apabila kepala hilang maka tidak ada lagi nyawa pada badan. Maka demikian pula orang yang tidak punya kesabaran maka dia pun akan kehilangan keimanan. Sabar itu terbagi menjadi tiga; sabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar dalam menghadapi musibah. Hakikat sabar itu -sebagaimana dinyatakan oleh sebagian ulama- adalah tegar di atas al-Kitab dan as-Sunnah.
Demikian sekilas faidah yang bisa kami sajikan dalam kesempatan ini. Semoga bermanfaat bagi kita semuanya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.