Sekelumit Catatan Faidah Syarh Mukhtashor at-Tahrir

Mukhtashor at-Tahrir adalah sebuah kitab ushul fiqih yang ditulis oleh seorang ulama bermazhab Hanbali yang bernama Muhammad bin Ahmad al-Futuhi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu an-Najjar -semoga Allah merahmatinya-. Beliau -al-Futuhi- adalah seorang ulama pakar fikih Hanbali dan ushul-nya. Diantara karya beliau adalah Muntahal Iradat. Beliau lahir di Mesir pada tahun 898 H dan wafat tahun 972 H (lihat Syarh Mukhtashor, hal. 5)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah memuji kitab Mukhtashor ini dan menyebutnya sebagai salah satu kitab terbagus dalam bidang ushul fiqih dan terlengkap. Kitab ini memuat ringkasan apa-apa yang dipaparkan oleh para ulama ushul dalam bidang ushul fiqih. Beliau menganjurkan untuk mempelajari buku ini (lihat Syarh Mukhtashor, hal. 6)

Berikut ini beberapa catatan atau rangkuman faidah dari syarah/penjelasan Syaikh al-Utsaimin rahimahullah di dalam kitabnya Syarh Mukhtashor at-Tahrir. Semoga bermanfaat

Tema Suatu Ilmu

Tema dari suatu ilmu itu adalah materi yang dibahas di dalamnya, materi yang dibahas itulah yang disebut sebagai maudhu’/tema dari suatu ilmu. Contoh ilmu fikih, temanya adalah materi seputar perkara ibadah dan muamalah (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 21-22)

Materi Ilmu Ushul Fiqih

Tema pembahasan ilmu ushul fiqih adalah dalil-dalil yang mengantarkan menuju fikih. Oleh sebab itu di dalam ushul fiqih dibahas tentang dalil al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, dan qiyas dan hal-hal yang bercabang darinya. Oleh sebab itu -misalnya- di dalam ushul fiqih tidak dibahas mengenai hukum orang yang sholat tidak menghadap kiblat (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 22)

Mengenal Gambaran dan Faidah Ilmu

Hendaknya setiap orang yang ingin mempelajari suatu ilmu untuk mengenali sekilas tentang gambaran ilmu yang akan dipelajarinya. Karena gambaran secara utuh tentang suatu ilmu baru bisa diperoleh setelah ia menguasai atau selesai darinya. Misalnya, kalau anda ingin belajar nahwu maka anda harus mengerti apa itu nahwu dan apa tujuan belajar nahwu, dst. Selain itu orang yang mempelajari suatu ilmu hendaknya mengetahui apa buah dan faidah dari ilmu itu. Kalau tidak demikian maka usahanya dalam belajar hanya menjadi suatu perkara yang sia-sia belaka. Tujuan dari ilmu ushul fiqih adalah untuk mengetahui cara-cara yang benar dalam mengambil kesimpulan hukum fikih dari dalil-dalilnya (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 23)

Makna Ushul Secara Bahasa

Kata ushul secara bahasa adalah bentuk jamak dari kata ‘ashlun’ (pokok). Sehingga secara bahasa ashl atau ushul itu adalah segala sesuatu yang menjadi dasar bangunan. Adapun secara istilah, yang dimaksud ashl atau ushul itu adalah segala hal yang bercabang darinya perkara-perkara yang lain. Dari sini kita bisa mengetahui perbedaan makna ashl secara bahasa dan istilah. Secara bahasa yang disebut ashl itu harus disertai dengan bangunan di atasnya, sedangkan secara istilah ashl tidak mesti memiliki cabang (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 23-24)

Makna Ushul Secara Istilah

Dalam istilah para ulama kata ashl atau ushul bisa memiliki empat kemungkinan makna; Pertama, bermakna dalil. Seperti dalam ungkapan ‘ushul fiqih’, yang dimaksud di sini adalah dalil-dalil fikih. Kedua, bermakna hukum asal atau yang lebih kuat/rajih. Ketiga, bermakna kaidah baku yaitu aturan atau pedoman yang biasa dijumpai di dalam fikih. Keempat, bermakna maqis ‘alaih yaitu perkara yang menjadi sumber analogi/qiyas (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 24-25)

Makna Istilah Fikih

Secara bahasa, fikih bermakna pemahaman yaitu mengerti maksud pembicaraan. Seperti disebutkan dalam ayat (yang artinya), “Supaya mereka memiliki fikih terhadap ucapanku.” (Thaha : 28) yang dimaksud di sini adalah memahami maksud ucapan. Adapun istilah fikih yang biasa dipakai para ulama fikih adalah mengetahui hukum syari’at yang bersifat cabang -bukan dalam perkara pokok/ushul agama-. Sebenarnya ilmu aqidah atau ushulud din termasuk fikih secara syari’at bahkan ia merupakan landasan ilmu fikih dan bagian fikih yang paling mulia. Oleh sebab itu ilmu aqidah disebut juga dengan fiqih akbar (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 25-26)

Pengertian Ilmu Ushul Fiqih

Pengertian ilmu ushul fiqih adalah ilmu yang berisi kaidah-kaidah untuk mengambil kesimpulan hukum syari’at dalam perkara-perkara cabang. Misalnya disebutkan di dalam ushul fiqih kaidah yang berbunyi ‘perintah menunjukkan wajib’, ‘larangan menunjukkan haram’, dsb. Dengan mengetahui ushul fiqih seorang akan memiliki kemampuan memetik kesimpulan hukum dari dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 27)

Tujuan dan Buah Belajar Ushul Fiqih

Target belajar ushul fiqih adalah untuk mengetahui hukum-hukum Allah dari dalil-dalilnya dengan menggunakan alat berupa ilmu ushul fiqih. Adapun buah dari mengetahui itu semua adalah dalam rangka mengamalkannya (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 28)

Hukum Belajar Ushul Fiqih

Hukum mengetahui ilmu ushul fiqih adalah termasuk fardhu kifayah. Oleh sebab itu semestinya orang yang mempelajarinya menumbuhkan perasaan di dalam dirinya bahwa dia sedang menunaikan sebuah kewajiban guna mendapatkan pahala dari Allah. Janganlah dia berniat hanya untuk mendapatkan ilmu -walaupun ini adalan niat yang baik; yaitu niat untuk menimba ilmu- tetapi hendaknya dia niatkan bahwa dia sedang melakukan sebuah kewajiban dalam rangka mencari pahala dari sisi Allah sehingga dia akan selalu mengharap pahala dari Allah dengan setiap kalimat yang diucapkan, ditulis atau dibaca olehnya (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 28)

Hukum Belajar Ilmu Fikih

Adapun belajar fikih ada yang bersifat fardhu ‘ain dan ada pula yang fardhu kifayah. Misalnya, apabila seorang hendak mengerjakan sholat maka wajib ‘ain baginya mengetahui bagaimana tata-cara sholat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula apabila dia hendak bersuci, berzakat, dsb. Adapun fikih yang fardhu kifayah misalnya hukum seputar jual-beli. Apabila di suatu negeri/daerah telah ada orang yang memahami dan bisa memberikan fatwa hukum-hukum jual-beli tidak wajib bagi yang lain mempelajarinya (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 29)

Mana Yang Lebih Didahulukan?

Sebagian ulama berpandangan bahwa hendaknya ilmu ushul fiqih dipelajari sebelum belajar fikih. Dengan tinjauan bahwa ushul fiqih adalah landasan bagi fikih itu sendiri, sehingga semestinya landasan didahulukan sebelum cabangnya. Akan tetapi ulama yang lain justru menegaskan bahwa semestinya ilmu fikih yang lebih didahulukan. Karena setiap kita dituntut untuk memahami hukum-hukum seputar sholat, zakat, puasa, dsb semenjak dia masuk dalam usia taklif/terbebani syari’at. Oleh sebab itu yang lebih tepat adalah mendahulukan belajar fikih sebelum ushul fiqih apabila harus memilih salah satunya. Akan tetapi apabila seorang insan bisa mempelajari keduanya secara bersamaan tentu itu lebih utama (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 29-30)

Pijakan Dasar Ilmu Ushul Fiqih

Ushul fiqih berpijak pada tiga landasan atau sumber penggalian. Pertama; dari ushulud din atau aqidah. Karena orang yang tidak memiliki aqidah tidak akan mau tunduk kepada perintah dan larangan Allah. Kedua; dari ilmu bahasa arab, karena dengan ilmu inilah kita bisa membedakan antara lafal yang umum dengan yang khusus, muthlaq dengan muqayyad, dsb. Ketiga; dari gambaran mengenai maksud dari hukum-hukum fikih, seperti misalnya apa yang dimaksud dengan istilah wajib, haram, dsb. (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 30)

Pengertian Istilah Dalil

Segala sesuatu yang -menurut syari’at- menjadi sandaran untuk menetapkan suatu hukum syari’at maka itu adalah dalil syari’at. Dan sudah seharusnya dalil syari’at itu dikaji atau dipandang dengan cara pandang atau metode yang benar. Dalil-dalil syari’at itu mencakup al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’/kesepakatan ulama, dan qiyas/analogi yang sahih. Inilah dalil-dalil yang telah disepakati oleh jumhur/mayoritas ulama (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 32-33)

Beberapa Istilah dalam Hal Pendalilan

Pihak yang menetapkan dalil itu adalah Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun yang menjadi dalil pokok itu adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Orang yang mengambil atau menggunakan dalil disebut sebagai mustadil sementara perkara hukum yang dibahas dalilnya disebut dengan istilah mustadal ‘alaih. Misalnya apakah hal ini hukumnya wajib, haram, atau makruh, dsb; ini disebut sebagai mustadal ‘alaih. Adapun dalil yang dipakai dalam penetapan hukum disebut juga dengan mustadal bihi; bisa berupa ayat al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, atau qiyas yang sahih. Lawan bicara (orang lain) yang diberikan jawaban atau bantahan dengan dalil itu disebut dengan mustadal lahu (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 35)

Enam Tingkatan Pengetahuan

Tingkatan pengetahuan terhadap segala sesuatu bisa dibagi menjadi enam. Pertama; ilmu, yaitu mengetahui sesuatu dengan pasti dan sesuai kenyataan. Kedua; tidak mengetahui sama sekali, ini disebut jahl basith. Ketiga; pengetahuan yang menyelisihi kenyataan, ini dinamakan jahl murokkab. Keempat; dugaan/dhann, yaitu pendapat yang rajih/lebih kuat diantara dua kemungkinan. Kelima; wahm atau pendapat yang lemah, yaitu pendapat yang marjuh/lemah diantara dua kemungkinan. Keenam; syakk/ragu-ragu atau tidak bisa menguatkan salah satu diantara pendapat-pendapat yang ada. Tingkatan tertinggi adalah ilmu sedangkan yang paling buruk adalah jahl murokkab. Karena orang yang jahil murokkab ini sebenarnya tidak tahu, dan di saat yang sama dia sendiri juga tidak tahu kalau dia tidak tahu!! (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 41)

Contoh Jahil Murokkab

Contoh kasus jahl murokkab ini adalah apabila anda tanyakan kepada seseorang, “Kapankah terjadinya perang Hunain?” lalu dia menjawab dengan mantap, “Pada tahun 6 H.” Ini adalah contoh jahl murokkab, karena sesungguhnya perang Hunain itu terjadi pada tahun 8 H. Orang yang seperti itu kita sebut dengan jahil murokkab (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 41)

Makna Istilah Ma’rifat

Istilah ma’rifat yang dimaksud oleh para ulama fikih mencakup ilmu -pengetahuan yang pasti- dan dhann -dugaan kuat- terhadap sesuatu. Dengan demikian fikih itu adalah ma’rifat atau pengetahuan terhadap hukum-hukum syari’at. Karena fikih terkadang diperoleh dengan ilmu dan terkadang juga dengan dhann (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 43)

Ma’rifat Bukan Termasuk Sifat Allah

Allah tidak disifati dengan ma’rifat -Allah tidak dikatakan ‘aarif/mengenal- sebab istilah ma’rifat itu mencakup pengetahuan yang pasti (ilmu) dan dugaan kuat (dhann). Selain itu, ma’rifat itu sendiri mengandung makna tersingkapnya sesuatu setelah tertutupi dan suatu pengetahuan yang baru muncul. Sehingga hadits yang berbunyi, “Perkenalkanlah dirimu kepada Allah di masa lapang niscaya Allah mengenali/ma’rifat kepadamu di masa sempit.” maksudnya adalah Allah senantiasa mengawasi dan memperhatikanmu (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 44)

Dua Macam Ilmu Makhluk

Ilmu yang dimiliki makhluk terbagi dua; dharuri dan nazhari. Ilmu yang bisa diperoleh tanpa melalui proses pengkajian disebut sebagai ilmu dharuri, misalnya pengetahuan bahwa api itu membakar, ilmu seperti ini tidak butuh pemikiran secara mendalam. Adapun ilmu yang hanya bisa diperoleh dengan pemikiran secara mendalam atau penelitian maka inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah ilmu nazhari (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 45)

Bodoh dan Lupa

Bodoh atau jahl basith berbeda dengan lupa (nis-yaan). Adapun bodoh atau jahl ialah tidak mengetahui terhadap sesuatu, sedangkan lupa adalah lenyapnya ingatan terhadap sesuatu padahal sebelumnya dia telah mengetahuinya. Keadaan orang yang lupa atau lalai -bukan melalaikan- dihukumi serupa dengan jahl basith. Contohnya orang yang lupa di dalam sholatnya, maka bisa jadi dia mengerjakan sholat lima raka’at (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 65)

Makna Akal

Akal adalah segala sesuatu yang menjadi sebab untuk membedakan antara perkara yang bermanfaat dengan perkara yang berbahaya. Semata-mata kemampuan atau insting untuk membedakan antara suatu benda dengan benda lainnya tidaklah disebut sebagai akal. Sebab kemampuan untuk membedakan antara satu benda atau jenis makanan dengan benda atau jenis makanan lainnya juga dimiliki oleh binatang (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 66)

Dua Macam Akal

Akal ada yang diperoleh secara naluri bawaan yang telah diciptakan oleh Allah dalam diri setiap manusia. Meskipun demikian apabila dilihat dari sisi pertumbuhannya akal itu bisa berkembang karena ada usaha berpikir atau belajar. Betapa banyak orang yang mengalami tahap perkembangan akal yang sedemikian tinggi sehingga jauh melampaui rekan-rekannya yang lain. Hal itu disebabkan dia berusaha untuk melatih dan mengembangkan akal pikirannya. Di sisi lain ada orang-orang yang akalnya tidak berkembang pesat disebabkan pengaruh lingkungan sekitarnya atau tidak pernah dilatih dan dikembangkan (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 67)

Ilmu dan Akal

Akal bukanlah ilmu. Akal sekedar alat atau sarana untuk mencapai ilmu. Ilmu yang didapatkan bisa diperoleh dengan cara dilatih atau mengkaji segala sesuatu. Sehingga akal merupakan alat untuk mengetahui, dan ia bukanlah pengetahuan itu sendiri (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 68)

Antara Otak dengan Qolbu

Fungsi otak dalam kaitannya dengan qolbu seperti peran sekertaris. Ia bertugas untuk merangkum dan menata segala sesuatu untuknya. Kemudian si sekertaris ini melaporkan kepada ‘sang raja’ untuk mengetahui apa pendapatnya tentang suatu masalah. Otak adalah sarana untuk menyusun gambaran dan imajinasi sementara qolbu alat untuk mengatur; dia lah yang memerintahkan ‘laksanakan’ atau ‘jangan laksanakan’. Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwasanya tempat akal itu adalah di dalam qolbu. Inilah pendapat yang mengkompromikan antara ilmu kedokteran dengan dalil-dalil agama (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 68-69)

Akal Manusia

Akal manusia itu berbeda-beda. Ada orang yang akalnya besar/cemerlang dan ada orang yang akalnya kecil/sempit. Hal ini adalah perkara yang bisa disaksikan dengan jelas sehingga tidak butuh kepada penegakan dalil (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 71)

Batasan atau Definisi

Sesuatu yang membatasi/memisahkan antara dua perkara disebut sebagai hadd/batasan. Adapun menurut istilah, hadd/batasan atau definisi itu adalah karakter yang meliputi sesuatu dan memisahkan ia dengan hal-hal selainnya. Oleh sebab itu suatu definisi atau batasan haruslah jami’/merangkum semua cakupan maknanya dan mani’/menghalangi hal-hal lain di luar untuk masuk ke dalam pengertiannya (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 74-75)

Faidah Definisi

Definisi berfaidah untuk mengetahui gambaran tentang suatu hal dengan jelas sehingga dengan dasar hal itu bisa memberikan keputusan hukum terhadapnya. Suatu definisi bisa saja dibantah disebabkan kelemahan definisi itu sendiri (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 86)

Definisi dan Hukum

Seringkali para ulama menyebutkan definisi terhadap suatu perkara dengan hukum atau dampak yang ditimbulkan olehnya. Bahkan hal ini pun berlaku dalam ushul fiqih. Misalnya mereka menjelaskan definisi perkara wajib sebagai ‘suatu perkara yang pelakunya diberi pahala dan yang meninggalkannya mendapatkan hukuman’. Ini adalah contoh pendefinisian dengan menyebutkan hukum/dampak yang timbul karenanya (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 86-87)

Makna Iman

Secara bahasa iman bermakna pengakuan, bukan sekedar pembenaran. Adapun menurut syari’at iman itu mencakup keyakinan hati, ucapan dengan lisan, dan amal perbuatan dengan anggota badan. Oleh sebab itu semua bentuk ketaatan tercakup dalam istilah iman, baik ia berupa amalan hati, ucapan lisan atau perbuatan (lihat Syarh Mukhtashor Tahrir, hal. 136)

:: Untuk mengunduh kitab Syarh Mukhtashor at-Tahrir silahkan buka di sini [klik]

Sumber Kitab : http://www.moswarat.com/books_view_1156.html

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *