Bismillah.
Di dalam kitabnya Sahih Bukhari, Imam Bukhari membuat kitab pertama dengan judul ‘Permulaan Wahyu’ lalu beliau membawakan hadits dari Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu yang berisi penjelasan tentang pentingnya niat.
Imam Bukhari mengambil riwayat hadits ini dari gurunya Abdullah bin Zubair al-Humaidi. Imam al-Humaidi adalah seorang ulama besar penyusun kitab hadits. Imam al-Humaidi merupakan teman Imam Syafi’i dalam menimba ilmu kepada Sufyan bin Uyainah dan ulama yang selevel dengannya, al-Humaidi juga mengambil fikih dari Imam Syafi’i. Imam al-Humaidi ikut bersama Imam Syafi’i ke Mesir dan setelah wafatnya Imam Syafi’i beliau kembali ke Mekah dan menetap di sana hingga wafat yaitu pada tahun 219 H. Demikian sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar.
Imam al-Humaidi mengambil riwayat hadits niat ini dari gurunya yaitu Sufyan bin Uyainah; Abu Muhammad al-Makki. Beliau berasal dan dilahirkan di Kufah. Sufyan bin Uyainah memiliki banyak guru yang sama dengan gurunya Imam Malik. Sufyan bin Uyainah masih hidup setelah wafatnya Imam Malik selama dua puluh tahun. Disebutkan bahwasanya Sufyan bin Uyainah itu telah mendengar hadits dari tujuh puluh orang tabi’in. Demikian keterangan Ibnu Hajar.
Sufyan bin Uyainah mengambil riwayat hadits ini dari gurunya yaitu Yahya bin Sa’id al-Anshari salah seorang tabi’in kecil. Kakek Yahya adalah seorang sahabat nabi yang bernama Qais bin Amr. Kemudian Yahya mengambil riwayat hadits ini dari gurunya yang bernama Muhammad bin Ibrahim at-Taimi salah seorang tabi’in menengah. Kemudian Muhammad bin Ibrahim mengambil riwayat ini dari gurunya yang bernama Alqamah bin Waqqash al-Laitsi seorang tabi’in besar. Demikian intisari penjelasan Ibnu Hajar di kitabnya Fath al-Bari (Jilid 1/hlm. 11-12 cet. Dar al-Hadits Kairo)
Hadits ini termasuk hadits yang paling sahih walaupun dia tergolong hadits gharib/hadits ahad; karena tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Nabi kecuali Umar, lalu tidak ada yang meriwayatkan dari Umar selain Alqomah, lalu tidak ada yang meriwayatkan dari Alqomah selain Muhammad bin Ibrahim, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim selain Yahya bin Sa’id al-Anshari. Kemudian barulah banyak orang meriwayatkan hadits ini dari Yahya. Dengan demikian hadits yang gharib/ahad tidak mesti tidak sahih, bahkan ada diantara hadits ahad itu yang sahih. Contohnya adalah hadits ini (lihat Minhah al-Malik oleh Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi, Jilid 1/hlm. 26-27)
Ibnu Rajab al-Hanbali menegaskan bahwa para ulama telah sepakat akan kesahihan hadits ini dan menerimanya dengan sepenuhnya. Beliau juga menyebut hadits ini sebagai salah satu hadits yang menjadi poros ajaran agama Islam. Hadits ini sebagaimana mengandung pokok dalam perkara hukum dan fikih maka ia juga menjadi pokok dalam perkara tauhid dan ibadah. Hadits ini mengandung faidah bahwa setiap amal yang tidak ikhlas demi mencari wajah Allah maka ia sia-sia dan tidak bermanfaat di dunia dan di akhirat (lihat Jami’ al-’Ulum wal Hikam, hlm. 13-16 cet. Dar al-Hadits Kairo)
Imam Bukhari kembali menyebutkan hadits niat di dalam Kitab al-Iman dengan jalur riwayat dan redaksi kalimat yang sedikit berbeda. Beliau mengambil riwayat hadits ini dari gurunya Abdullah bin Maslamah yang mengambil riwayat dari Imam Malik, kemudian Imam Malik mengambil riwayat dari Yahya bin Sa’id al-Anshari (lihat Fath al-Bari, Jilid I/hlm. 167)
Imam Muslim di dalam Sahihnya juga meriwayatkan hadits ini dengan jalur serupa; dari Abdullah bin Maslamah dari Imam Malik dari Yahya bin Sa’id al-Anshari. Imam Muslim juga menyebutkan jalur-jalur lain riwayat hadits ini dari guru-gurunya; semuanya bersumber dari Imam Malik dari Yahya bin Sa’id al-Anshari (lihat Sahih Muslim bersama Syarh an-Nawawi, Jilid VI, hlm. 534-535)
Hadits yang agung ini berisi pelajaran penting dalam hal akidah; bahwa amal hanya akan diterima apabila disertai niat yang lurus. Oleh sebab itu Imam Bukhari menempatkan hadits ini dalam Kitab al-Iman; karena amal adalah bagian dari iman, dan amal itu ditentukan balasannya sesuai dengan niat orang yang melakukannya. Semua amalan itu tercakup dalam sebutan iman (lihat Minhah al-Malik al-Jalil oleh Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi, Jilid I, hlm. 192)
Imam Ibnu Baththal menjelaskan mengapa Imam Bukhari meletakkan hadits niat ini di dalam Kitab al-Iman; yaitu disebabkan Bukhari ingin memberikan bantahan kepada Murji’ah yang menganggap bahwa iman itu cukup dengan ucapan lisan tanpa dilandasi keyakinan hati (lihat Lubb al-Lubab fi at-Tarajim wal Abwab, Jilid I hlm. 123 karya al-’Allamah Abdul Haq al-Hasyimi)
Dengan demikian, hadits ini juga menjadi bukti bahwa pembedaan antara masalah akidah dan hukum dalam hal pengambilan dalil dengan hadits ahad merupakan pendapat yang aneh dan diada-adakan. Pendapat semacam ini tidak berlandaskan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah. Bahkan keyakinan semacam itu bertentangan dengan jalan para salafus shalih. Karena dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya mengambil hadits ahad dalam hal hukum tidak berbeda dengan dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya mengambil hadits ahad dalam hal akidah. Barangsiapa yang menganggap bahwa dalil-dalil itu hanya khusus untuk perkara hukum maka dia harus membawakan dalilnya, dan itu tidak ada (lihat Syarh al-Waraqat oleh Syaikh Abdullah al-Fauzan, hlm. 74, lihat juga Tas-hil al-Wushul ila ar-Risalah al-Mukhtasharah fil Ushul oleh beliau juga, hlm. 97-98)
Hadits ahad menjadi hujjah dalam hal akidah dan hukum tanpa pembedaan antara keduanya merupakan perkara yang disepakati oleh ulama salaf. Pemisahan antara masalah akidah dan hukum dalam hal berhujjah dengan hadits ahad merupakan pemikiran yang menyimpang dari petunjuk salafus shalih. Karena tidak ada seorang pun sahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in yang memiliki pandangan dan sikap semacam itu, bahkan tidak juga para ulama besar Islam/para imam madzhab di masanya. Pembedaan ini hanya dikenal muncul dari kalangan pembesar ahli bid’ah dan para pengikut mereka (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah, hlm. 143-145)
Demikian sedikit catatan faidah, semoga bermanfaat bagi kita semuanya. Wallahu a’lam.
—-