Bismillah.
Memahami hakikat kehidupan dunia adalah penting bagi kita. Sebab banyak orang terpedaya. Satu demi satu petunjuk agama dia tinggalkan karena memburu kesenangan dunia yang semu. Dia hanyut dalam genangan dosa seolah tak mau lepas darinya. Allahul musta’an…
Adalah sebuah keniscayaan bagi seorang hamba untuk meniti jalan kebenaran bersama rombongan para pejuang keimanan dan penegak ketauhidan. Imam an-Nawawi rahimahullah dalam mukadimah kitabnya Riyadhus Shalihin membawakan sebuah sya’ir mulia :
Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba cendekia
mereka ceraikan dunia takut fitnahnya
Mereka lihat apa yang ada, sadarlah mereka
dunia bukan tempat tinggal tuk selamanya
Mereka jadikan dunia sebagai lautan, dan mereka pakai
amal salih sebagai bahtera
Apa yang diungkapkan dalam sya’ir ini merupakan gambaran mengenai sikap seorang muslim dalam menjalani hidupnya di alam dunia. Dunia ini sementara. Segala bentuk kekayaan dan perbendaharaan dunia di sisi Allah tidak lebih berharga dari sehelai sayap seekor nyamuk. Seorang muslim sejati akan mengerti bahwa hidup bukan untuk berhura-hura dan mengumbar keinginan sebebas-bebasnya. Ada di sana aturan dan kaidah agama. Ada di sana rambu-rambu dan pedoman.
Apabila kita memperhatikan al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tampak bagi kita bahwa dunia dengan segala perhiasannya adalah ujian dan cobaan bagi umat manusia. Ada sebagian orang yang memilih jalan kekafiran sehingga bebas merusak dunia dengan gaya hidup dan pikiran sesat. Dan ada sebagian orang yang memilih jalan keimanan sehingga tunduk kepada perintah dan larangan Allah. Allah -yang memberikan petunjuk kepada manusia dengan diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab- sangat mengetahui siapa orang yang lebih layak diberi taufik dan siapa yang memang sudah sepantasnya dibiarkan sesat mengikuti kemauannya dan sifat keras kepala yang telah mendarah-daging dalam dirinya.
Dengan begitu kita akan bisa memahami mengapa setiap hari dalam sholat, kita diperintahkan untuk terus-menerus meminta hidayah. Hidayah untuk bisa berjalan di atas shirothol mustaqim/jalan yang lurus. Bukan hanya sekali atau dua kali dalam sehari, bahkan belasan kali. Sebab dalam setiap raka’at sholat kita membaca doa itu di dalam surat al-Fatihah. Yaitu doa yang berbunyi ‘ihdinash shirothol mustaqim’, yang artinya, “Ya Allah, tunjukilah kamu jalan yang lurus.”
Doa itu sendiri sejatinya adalah pokok dan intisari dari ibadah dan penghambaan kepada Allah. Sebab Allah tidak menyukai orang yang tidak mau berdoa kepada-Nya. Allah pun menggelari mereka sebagai kaum yang sombong. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabb kalian mengatakan; Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku itu akan masuk ke dalam Jahannam dalam keadaan hina.” (Ghafir : 60)
Sebagaimana doa menjadi simbol ketauhidan dan keikhlasan. Tidakkah kita ingat firman Allah (yang artinya), “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian menyeru/berdoa bersama dengan Allah siapa pun juga.” (al-Jin : 18). Yaitu ketika doa itu ditujukan kepada Allah semata dan tidak menyeru kepada sesembahan selain-Nya. Ketika seorang muslim menggantungkan hati dan harapannya kepada Allah semata. Bahkan kaum musyrik sekalipun tatkala dalam kondisi terjepit memurnikan doanya kepada Allah dan rela membuang berhala-berhala mereka ke lautan. Sungguh sebuah kesadaran yang tidak bisa diingkari oleh sejarah dan kenyataan!
Akan tetapi sayang ketika Allah kabulkan doa mereka dan mereka diselamatkan ke daratan mereka pun kembali bergelimang dengan kemusyrikan. Ini menjadi bukti bagaimana doa kepada Allah bukanlah hal yang asing bahkan bagi kaum musyrikin. Sayangnya kaum musyrik juga mengangkat sesembahan selain Allah; apakah itu malaikat, nabi, wali, atau orang salih. Saking gandrungnya mereka kepada sesembahan selain Allah maka mereka mengangkatnya dalam tingkatan cinta yang sejajar dengan kecintaan penghambaan yang seharusnya dimurnikan untuk Allah saja.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan sebagian manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan/sesembahan; mereka mencintainya sebagaimana cintanya kepada Allah, sedangkan orang-orang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” (al-Baqarah : 165). Ayat ini dijadikan salah satu dalil oleh para ulama dalam menafsirkan hakikat tauhid. Sehingga hakikat tauhid itu adalah tidak boleh mengangkat sesembahan tandingan bagi Allah. Wajib beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya (lihat Syarh Kitab at-Tauhid oleh Ibnu Baz, hlm. 84-85)
Apabila doa merupakan perkara yang dicintai Allah ketika ia dimurnikan untuk-Nya. Maka seorang muslim akan berusaha terus berdoa dan berdoa kepada Allah di sepanjang perjalanan hidupnya. Doa yang disertai dengan perjuangan untuk mencapai cinta dan ridha-Nya. Sebab segala sesuatu di langit dan di bumi ada di bawah kekuasaan dan pengaturan Allah. Hati-hati manusia pun berada diantara jari-jemari ar-Rahman; yang Dia bolak-balikkan sebagaimana yang dikehendaki oleh-Nya. Adalah aib bagi seorang hamba yang mengenali bahwa Allah semata Rabb penguasa langit dan bumi, kemudian dia justru bersungkur sujud dan mengabdi kepada sesembahan lain. Betapa buruk prasangkanya kepada Allah! Betapa jelek muamalahnya kepada Rabbnya! Apa yang bisa diharapkan dari makhluk yang penuh kelemahan dan kekurangan? Lantas dia gantungkan hatinya dengan penuh harapan kepada berhala, kuburan, keris, jimat, jin, manusia, apalagi batu dan pohon?!
Permintaan seorang muslim kepada Allah untuk diberi hidayah adalah perkara yang sangat agung. Kebutuhan dirinya kepada hidayah lebih besar daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman, bahkan lebih besar daripada kebutuhannya kepada air dan udara! Sebab hidayah itulah yang akan menerangi perjalanan hidupnya. Sehingga seorang hamba berjalan di atas cahaya iman dan ilmu. Sehingga dia terlepas dari kegelapan demi kegelapan yang menjerat kehidupan insan. Lepas dari gelapnya kekafiran menuju terangnya iman. Lepas dari gelapnya syirik menuju cahaya tauhid. Lepas dari gelapnya maksiat menuju cahaya taat. Dan lepas dari gelapnya bid’ah menuju terangnya sunnah. Lepas dari gelapnya riya’ dan sum’ah menuju cahaya ikhlas.
Aduhai, siapakah kita sehingga kita merasa tidak membutuhkan hidayah dan taufik dari Allah? Aduhai, siapakah kita sehingga kita merasa tidak butuh kepada bimbingan dan pertolongan Allah untuk menjalani hidup dan kehidupan ini? Apakah kita merasa tidak butuh kepada petunjuk Allah sehingga kita enggan untuk membaca doa permintaan hidayah ini dalam hari demi hari yang kita lalui? Bukankah orang yang tidak pernah menjalankan sholat 5 waktu adalah orang yang berpaling dari doa yang agung ini dan menempatkan dirinya dalam jajaran orang yang sombong?! Betapa sombongnya kita apabila kita mencampakkan doa yang agung ini hanya demi mencari-cari sandaran dan tempat berteduh yang lambat laun akan hancur dan sirna…
Saudaraku yang dirahmati Allah, kasih sayang Allah begitu luas kepada hamba-hamba-Nya seluas ilmu dan pengetahuan-Nya. Adalah sikap yang arogan tentu saja apabila kita meragukan petunjuk dan pertolongan Allah. Adalah kesombongan yang besar apabila kita meragukan kekuasaan Allah dan kebijaksanaan-Nya dalam mengatur alam semesta. Kita terbuai oleh nikmat-nikmat dari Allah lantas kita lupakan Allah begitu saja? Kita sibuk dengan fatamorgana dan terlena sehingga meninggalkan jalan ketaatan sejengkal demi sejengkal… Untuk apa?!
Abu Hazim rahimahullah mengingatkan, “Setiap nikmat yang tidak semakin membuatmu dekat dengan Allah adalah malapetaka.” Padahal tidak ada jalan untuk dekat dengan Allah selain iman dan ketaatan kepada-Nya. Adapun syirik, bid’ah dan maksiat adalah hal-hal yang menjauhkan hamba dari pertolongan Rabbnya dan melemparkannya ke jurang petaka… Kita memohon kepada Allah agar memberikan kepada hati kita ini ketakwaan yang sesungguhnya…