Ridha Terhadap Syari’at Allah

قرآن

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman, demikian pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Ayat ini bersifat umum mencakup segala permasalahan. Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan hukum atas suatu perkara, maka tidak boleh bagi seorang pun untuk menyelisihinya dan tidak ada lagi alternatif lain bagi siapapun dalam hal ini, tidak ada lagi pendapat atau ucapan -yang benar- selain itu.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [6/423] cet. Dar Thaibah)

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidaklah beriman, sampai mereka menjadikanmu -Muhammad- sebagai hakim/pemutus perkara dalam segala permasalahan yang diperselisihkan diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam diri mereka, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’: 65)

Ridha terhadap hukum Allah merupakan bagian dari sikap ridha terhadap rububiyah Allah dan ridha Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya. Dari al-‘Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan manisnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)

Ridha adalah merasa puas dan cukup dengan sesuatu serta tidak mencari lagi sesuatu yang lain bersamanya. Makna hadits ini adalah; orang tersebut tidak mencari dan berharap kecuali kepada Allah ta’ala semata, tidak mau berusaha kecuali di atas jalan Islam, dan tidak mau menempuh suatu jalan kecuali apabila sesuai dengan syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seseorang yang telah merasa ridha dengan sesuatu maka sesuatu itu akan terasa mudah baginya. Demikian pula seorang mukmin apabila iman telah meresap ke dalam hatinya maka akan terasa mudah segala ketaatan kepada Allah dan dia akan merasakan nikmat dengannya (lihat Syarh Muslim [2/86] cet. Dar Ibnu al-Haitsam)

Oleh sebab itu ahli kitab yang menaati pendeta dan rahib-rahib mereka dalam melanggar hukum-hukum Allah disebut dalam al-Qur’an dengan istilah ‘mengangkat rabb selain Allah’. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Mereka telah menjadikan pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allah, dan al-Masih putra Maryam pun mereka perlakukan demikian. Padahal, mereka tidaklah diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada sesembahan yang satu saja. Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia. Maha suci Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. at-Taubah: 31)

Dari ‘Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu, dia berkata: Dahulu aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara di leherku masih terdapat salib dari emas. Maka beliau bersabda, “Wahai ‘Adi! Buanglah berhala ini.” Dan aku mendengar beliau membaca ayat dalam surat al-Bara’ah (yang artinya), “Mereka telah menjadikan pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allah.” (QS. at-Taubah: 31). Beliau bersabda, “Mereka memang tidak beribadah kepada pendeta dan rahib-rahib itu. Akan tetapi apabila pendeta dan rahib menghalalkan sesuatu lalu mereka pun menghalalkannya. Demikian juga apabila mereka mengharamkan sesuatu, mereka pun ikut mengharamkannya.” (HR. Tirmidzi dihasankan oleh Syaikh al-Albani, lihat juga Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [4/93])

Ahli kitab disebut ‘menjadikan pendeta dan rahib sebagai rabb’ karena mereka mengangkat pendeta dan rahib sebagai pembuat syari’at untuk mereka yang menetapkan halal dan haram, sehingga pengikutnya pun menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya. Oleh sebab itu ahli kitab dinilai telah menjadikan pendeta dan rahib seolah-olah sebagai Rabb/Sang Maha Pengatur. Padahal, penetapan syari’at merupakan bagian dari kekhususan rububiyah yang hanya dimiliki oleh Allah ta’ala (lihat catatan kaki Fath al-Majid, hal. 96).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Maksud dari ‘menjadikan rabb selain Allah’ adalah menjadikan mereka sebagai sekutu bagi Allah ‘azza wa jalla dalam hal pembuatan syari’at; sebab mereka berani menghalalkan apa yang diharamkan Allah sehingga para pengikut itu pun menghalalkannya. Mereka pun berani mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, sehingga membuat para pengikutnya juga ikut mengharamkannya.” (lihat al-Qaul al-Mufid [2/66])

Oleh sebab itu ketaatan kepada ulama atau penguasa yang melampaui batas bisa mengubah mereka menjadi sesembahan tandingan bagi Allah. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah membuat bab di dalam Kitab Tauhid dengan judul “Barangsiapa yang menaati ulama dan umara’ dalam mengharamkan apa yang dihalalkan Allah atau menghalalkan apa yang diharamkan-Nya maka pada hakikatnya dia telah mengangkat mereka pada kedudukan rabb.” (lihat al-Qaul al-Mufid [2/63])

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Aku heran dengan orang-orang yang mengetahui sanad/riwayat hadits dan kesahihannya. Mereka lebih suka condong kepada pendapat Sufyan -yaitu Sufyan ats-Tsauri, wafat 161 H-. Padahal Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyimpang dari perintah/ajarannya karena mereka itu akan tertimpa fitnah.” (QS. An-Nuur: 63). Tahukah kamu apa itu fitnah? Fitnah itu adalah syirik. Karena bisa jadi ketika dia menolak sebagian sabda beliau kemudian muncul dalam hatinya suatu penyimpangan sehingga membuatnya celaka.” (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 297)

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, bahwa perkataan Imam Ahmad ini beserta dalil yang beliau bawakan mengandung pelajaran berupa peringatan keras/tahdzir dari sikap ikut-ikutan atau taklid kepada ulama tanpa landasan dalil. Di dalamnya juga terkandung peringatan keras bagi orang-orang yang meninggalkan beramal dengan al-Kitab dan as-Sunnah. Beliau menegaskan, “Dan sesungguhnya hal itu termasuk bentuk syirik dalam hal ketaatan.” (lihat al-Mulakhash, hal. 298)

Hal ini memberikan faidah hukum yaitu diharamkannya taklid bagi orang yang telah mengetahui dalil dan tata cara mengambil kesimpulan darinya/istidlal. Selain itu, ia juga menunjukkan bolehnya taklid bagi orang yang tidak mengetahui dalil, yaitu dengan dia mengikuti ulama yang terpercaya ilmu dan agamanya (lihat al-Mulakhash, hal. 298)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *