Bismillah.
Imam Ibnu Qudamah membawakan hadits dengan sanadnya dari Abdullah bin Amr bin al-’Ash radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang-orang yang penyayang niscaya akan dirahmati oleh ar-Rahman. Rahmatilah para penduduk bumi, niscaya Dzat yang berada di atas langit akan merahmati kalian.” (Itsbat Shifatil ‘Uluww no. 15)
Ilmu laksana samudera yang tak bertepian. Jangan anda mengira anda telah menjadi orang yang paling berilmu. Banyak orang yang lebih berilmu daripada anda. Kita semua masih membutuhkan tambahan ilmu. Seorang sahabat sampai bersafar dari Madinah ke Mesir hanya untuk mendengar riwayat sebuah hadits langsung dari sumbernya. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu hanya bisa diperoleh dengan berusaha dan belajar dengan sungguh-sungguh. Demikian ringkasan cuplikan nasihat Syaikh Shalih al-Fauzan dalam ceramahnya al-Ilmu; ushuluhu wa dhawabith talaqqi.
Salah satu bukti kedalaman ilmu para ulama ialah hadits di atas yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dari guru-gurunya hingga berujung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap periwayat hadits ini mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits pertama yang didengarnya dari gurunya. Hadits ini disebut oleh para ulama hadits dengan istilah hadits musalsal.
Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah menjelaskan bahwa hadits musalsal adalah sebuah hadits yang para periwayatnya bersepakat atau sama dalam hal gaya penyampaian atau keadaan lain yang serupa. Seperti misalnya seorang periwayat berkata, “Si A telah menuturkan hadits kepadaku sembari tersenyum; dia berkata : Si B telah menuturkan hadits kepadaku sembari tersenyum..” (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, Jilid 3 hlm. 287)
Secara lebih khusus lagi hadits ini disebut dengan istilah ‘hadits musalsal bil awwaliyah’ yaitu hadits yang di dalamnya setiap periwayat mengatakan dalam menyebutkan hadits dari gurunya “dan itu adalah hadits pertama yang aku dengar darinya.” Para ulama hadits telah meriwayatkan hadits ini kepada murid-murid mereka dan hadits pertama yang mereka bawakan adalah hadits ini. Oleh sebab itu hadits ini dikenal dengan istilah hadits musalsal bil awwaliyah. Hal ini menyimpan pelajaran penting bahwa sesungguhnya penyampaian ilmu itu dilandasi sifat kasih sayang/rahmat. Buahnya adalah rahmat di dunia dan tujuan akhirnya adalah rahmat di akhirat (lihat keterangan Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah dalam Syarh Tsalatsah al-Ushul, hlm. 12-13)
Dengan bahasa yang lebih sederhana kita bisa memaknai bahwa kebutuhan manusia kepada ilmu agama adalah kebutuhan yang sangat mendesak. Oleh sebab itu ilmu agama yang dibawa oleh para rasul digambarkan oleh Allah di dalam al-Qur’an seperti cahaya, seperti ruh, dan seperti air hujan. Cahaya akan menyinari kegelapan dan menunjukkan jalan. Ruh akan memberikan warna kehidupan dalam tubuh manusia. Dan air hujan akan menghidupkan kembali tanah yang kering kerontang sehingga bisa menumbuhkan tanam-tanaman dan menghasilkan buah-buahan.
Sebagaimana Allah telah menyebut diutusnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan rahmat bagi segenap alam. Dan Allah pun menjelaskan bahwa ketaatan dan ittiba’ kepada Rasul merupakan sebab datangnya rahmat dan hidayah serta ampunan bahkan kecintaan Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imran : 31)
Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut para ulama sebagai pewaris nabi-nabi; disebabkan para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham. Akan tetapi sesungguhnya mereka mewariskan ilmu agama. Hal ini tentu memberikan faidah bahwa kebutuhan manusia kepada ilmu agama jauh lebih besar daripada kebutuhan mereka kepada harta. Bahkan Allah perintahkan nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdoa meminta tambahan ilmu. Ini semua menunjukkan kepada kita bahwa tersebarnya ilmu agama merupakan rahmat dan nikmat bagi manusia.
Apakah kita mensyukuri nikmat itu ataukah justru sebaliknya?