Pokok-Pokok Kebahagiaan

Bahagia. Setiap insan tentu mendambakannya. Tidak ada orang yang ingin hidup sengsara dan larut dalam kesedihan serta kegalauan yang tak berkesudahan. Namun, bahagia itu sendiri telah menjadi perkara yang samar bagi banyak manusia.

Sebagian menyangka kebahagiaan ada pada jabatan dan ketinggian kedudukan. Sebagian mengira bahwa bahagia ada pada tumpukan harta dan gemerlapnya materi dan perhiasan. Sebagian melihat bahwa kebahagiaan ada pada popularitas dan ketenaran di tengah para pemuja dan pengikutnya. Setiap orang memiliki persepsi yang berbeda tentang bahagia. Oleh sebab itu cara yang ditempuh mereka pun berbeda-beda, sesuai gambaran kebahagiaan yang ingin diperolehnya.

Apabila seorang itu adalah pejabat maka dia akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa menempati jabatan-jabatan strategis dan kedudukan-kedudukan tinggi agar bisa meraih kebahagiaan yang dia sangka. Apabila seorang itu adalah pengusaha maka dia akan berupaya semaksimal mungkin untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dan membuka lahan-lahan bisnis yang mendatangkan laba berlipatganda guna menggapai kebahagiaan yang dia sangka. Demikian pula jika orang itu adalah seorang artis atau selebritis maka segala cara dan gaya akan dia tempuh demi memuaskan selera pemirsa dan mengundang decak kagum pengikutnya.

Meskipun begitu, Islam tidak membiarkan umat manusia terombang-ambing dalam kebingungan dan kesamaran dalam masalah ini. Islam telah menggariskan perkara-perkara mendasar yang dengannya orang akan mengerti sejauh mana kebahagiaan bisa diraihnya, perkara-perkara penting yang dengan hal itu akan membawanya menuju kebahagiaan yang sesungguhnya.

Diantara pokok dan sumber kebahagiaan itu adalah iman dan amal salih. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (Al-‘Ashr : 1-3)

Ya, iman adalah kunci dan jembatan untuk menggapai bahagia. Dengan iman itulah seorang insan akan menemukan jati diri dan kepribadiannya yang sebenarnya. Tanpa keimanan maka seorang manusia akan hidup dalam serba ketidakjelasan. Tanpa keimanan maka tiada ketentraman, tiada petunjuk dan keselamatan yang bisa dia dapatkan. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri iman mereka dengan kezaliman/syirik, maka mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (Al-An’aam : 82)

Lihatlah para sahabat Nabi… mereka adalah orang-orang yang hidupnya telah tercelup dalam nilai-nilai keimanan. Mereka telah merasakan lezatnya iman dan mendapati keindahan hidup bersama iman. Orang-orang yang jasadnya berjalan di bumi namun hatinya bergelayutan di akhirat. Orang-orang yang jiwanya merasakan kerinduan untuk berjumpa dengan Allah dan negeri kebahagiaan. Orang-orang yang rela mengorbankan hartanya, jiwanya, kedudukan dan jabatannya demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Lihatlah mereka… para pejuang Islam dan generasi terbaik umat ini… Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Mas’ud, Bilal bin Rabah, Salman Al-Farisi, Shuhaib Ar-Rumi, Abu Hurairah, dan lain sebagainya dari para sahabat nabi-Nya, radhiyallahu’anhum.

Keimanan adalah kekayaan paling berharga bagi mereka. Keimanan adalah harta paling mahal yang mereka miliki. Sehingga tidak akan mereka tukar dengan segala kesenangan dunia yang fana. Bahkan jika nyawa mereka harus membayarnya demi mempertahankan iman dan tauhid, maka mereka pun tidak segan untuk melakukannya. Mereka lebih mempercayai apa-apa yang ada di tangan Allah daripada apa-apa yang ada di tangan mereka. Mereka lebih mencintai akhirat dan memandang dunia tidak lebih berharga daripada sehelai sayap nyamuk.

Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah memberikan karunia yang sangat besar kepada orang-orang yang beriman, ketika Allah mengutus di tengah-tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri. Dia membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah/As-Sunnah. Padahal sebelumnya mereka benar-benar berada di dalam kesesatan yang nyata.” (Ali ‘Imran : 164)

Keimanan yang sesungguhnya adalah keimanan yang berakar dari dalam dada. Apabila anda bertanya kepada manusia, maka akan anda jumpai sekian banyak ‘jawaban’ dan gambaran mengenai apa yang bersemayam di dalam dada dan lubuk hatinya. Ada yang hatinya terpenuhi oleh kecintaan kepada dunia. Ada yang hatinya disibukkan oleh kesenangan-kesenangan yang semu dan melalaikan. Ada yang hatinya penuh dengan dosa dan kemaksiatan. Ada yang hatinya penuh dengan kotoran pemikiran dan busuknya hawa nafsu. Padahal hati adalah raja dan panglima bagi seluruh anggota badan yang ada di dalam tubuhnya.

1363426202

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dengan sekedar bermodalkan angan-angan atau menghias-hias penampilan. Akan tetapi iman yang sejati adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan.”

Keimanan yang sejati adalah keimanan yang berakar dari dalam hati. Sehingga keimanan itu membuahkan rasa takut kepada Allah, berharap kepada-Nya, dan takut akan azab-Nya. Keimanan yang menumbuhkan keikhlasan dalam menjalankan ketaatan dan amal salih. Keimanan yang tulus sehingga menyingkirkan segala sesembahan dan pujaan selain-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (Al-Kahfi : 110)

Keimanan yang melembutkan hatinya dengan zikir dan mengokohkan keyakinannya dengan kandungan ayat-ayat-Nya. Keimanan yang membuat dirinya bergantung kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah gemetarlah hatinya, apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat-Nya maka bertambahlah imannya, dan mereka itu hanya bertawakal kepada Rabbnya. Orang-orang yang mendirikan sholat dan menginfakkan sebagiah rizki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang mukmin yang sejati.” (Al-Anfal : 2-4)

Keimanan yang membuahkan amal salih. Keimanan yang melahirkan ketundukan kepada perintah dan larangan Allah. Keimanan yang memunculkan kesabaran di saat musibah melanda. Keimanan yang melahirkan syukur dan ketaatan di saat nikmat menyirami. Keimanan yang bersih dari syirik dan kekafiran. Keimanan seperti inilah yang akan membuahkan kebahagiaan abadi di akhirat nanti.

Dengan keimanan seperti inilah generasi terbaik menggapai kejayaan. Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu berkata, “Kami adalah suatu kaum yang telah dimuliakan oleh Allah dengan Islam, maka kapan saja kami mencari kemuliaan dari selain Islam niscaya kami akan dihinakan kembali oleh Allah.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak)

Imam Malik rahimahullah berkata, “Tidak akan baik keadaan generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang telah memperbaki keadaan generasi awalnya.”

Keimanan seperti apakah yang ada pada diri kita sekarang ini? Apakah keimanan model Abu Bakar dan Umar? Ataukah keimanan gaya Abu Lahab, Abu Jahal, dan Abdullah bin Ubai bin Salul?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *