Bismillah.
Diantara perkara yang penting untuk diketahui oleh seorang muslim bahwa amal ibadah dibangun di atas iman dan ilmu. Beribadah tanpa iman maka tidak akan diterima, sebagaimana beramal tanpa ilmu akan tersesat.
Termasuk di dalamnya persiapan untuk menghadapi bulan Ramadhan; bulan yang penuh dengan kebaikan. Dibutuhkan pondasi-pondasi iman dan kekuatan tauhid agar amal yang dilakukan bisa terangkat menuju Allah. Diperlukan pengokohan ilmu dan pemahaman mengenai makna dan kandungan ibadah itu sendiri.
Ibadah puasa bukanlah suatu ibadah yang berdiri sendiri. Ia ditopang oleh aqidah sebagaimana termuat dalam dua kalimat syahadat dan rukun-rukun iman. Tidak diragukan bahwa puasa ibadah yang sangat agung diantara rukun Islam. Meskipun demikian orang yang menjalankan puasa dalam keadaan memiliki aqidah yang rusak dan menyimpang sungguh amal yang dia lakukan beresiko besar justru tidak akan diterima di sisi Allah.
Hal ini sebagaimana pernah kita dengar dalam riwayat Muslim ketika Abdullah bin Umar menanggapi ada sebagian penduduk Bashrah yang berkeyakinan bahwa takdir itu tidak ada dan segala sesuatu terjadi secara tiba-tiba; dalam artian Allah tidak mengetahui sesuatu kecuali setelah terjadinya. Ibnu Umar pun dengan tegas mengatakan, “Seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu dia infakkan maka Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada takdir.” (HR. Muslim)
Ucapan beliau ini menunjukkan bahwa orang yang mengingkari takdir -yang masyhur disebut dengan kaum Qadariyah- telah keluar dari Islam akibat menolak salah satu rukun iman yaitu iman kepada takdir. Karena imannya batal maka semua amalnya tidak bernilai. Sungguh mengenaskan!
Oleh sebab itu pula para ulama selalu mengingatkan tentang pentingnya aqidah tauhid karena ia menjadi syarat diterimanya semua amalan dan pondasi amal-amal ketaatan. Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata, “Bahwa ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali bersama dengan tauhid, maka apabila syirik mencampuri suatu ibadah menjadikan ibadah itu rusak; sebagaimana hadats apabila menimpa pada thaharah.”
Adapun persiapan bekal ilmu mengenai aturan ibadah maka itu menjadi perkara yang secara luas telah diketahui oleh umat Islam, meskipun dalam kenyataan tidak sedikit orang yang cenderung meremehkan dan seolah menganggap ibadah puasa sebagai suatu rutinitas tahunan dan kebiasaan semata. Sehingga belajar tentang fikih puasa menjadi kurang urgen bagi mereka. Sungguh menakjubkan perkataan para ulama terdahulu, “Ibadahnya orang yang ghoflah/lalai hanya berubah menjadi tradisi/kebiasaan, sementara adat/kebiasaan orang yang yaqdhah/berilmu dan menyadari hakikat ibadahnya justru bisa berubah bernilai ibadah.”
Semoga sedikit catatan ini berguna bagi kami dan para pembaca.