Bismillah.
Saudaraku yang dirahmati Allah, tidaklah kita ragu mengenai keutamaan beribadah di bulan Ramadhan; dalam bentuk puasa, sedekah, sholat malam, membaca al-Qur’an, dsb. Akan tetapi kita juga tidak boleh ragu bahwa Rabb yang kita sembah di bulan Syawwal tidak berbeda dengan Rabb yang kita sembah di bulan Ramadhan. Begitu juga di bulan-bulan selainnya.
Apa yang kita saksikan berupa fenomena kembali sepinya masjid dari jama’ah kaum muslimin dan sepinya anak-anak dari aktifitas belajar al-Qur’an dan sepinya majelis ilmu di masjid merupakan beberapa hal yang patut untuk kita cermati, apakah itu di bulan Syawwal maupun di bulan-bulan setelahnya. Kita sepakat bahwa hari raya iedul fitri adalah hari untuk bergembira, menikmati apa yang Allah halalkan kepada kita tanpa melampaui batas. Hal ini tentu memiliki konsekuensi bahwa kegembiraan yang diwujudkan tidak boleh melanggar batas-batas agama.
Sudahkah Ramadhan memberikan bekas dan pengaruh positif dalam hidup kita? Sebuah pertanyaan yang tertuju kepada diri kita masing-masing. Kita tidak sedang berbicara tentang kasus orang per orang; bahkan yang kita renungkan adalah keadaan umat ini yang patut untuk selalu kita perhatikan. Jangan sampai perginya bulan Ramadhan membuat lemah dan luntur semangat kita dalam beribadah dan menjalankan ketaatan kepada Allah. Karena yang Allah perintahkan kepada kita adalah tetap beribadah dan istiqomah hingga kematian itu datang kepada kita.
Islam agama yang kita peluk merupakan syariat yang sempurna dan memberikan petunjuk yang teramat jelas dalam menghadapi berbagai kondisi dan keadaan. Mustahil Allah membiarkan hamba-Nya dalam kebingungan untuk menempuh jalan-jalan kebahagiaan dan terhindar dari kesengsaraan dunia dan akhirat. Dari al-Qur’an kita belajar bahwa apabila Allah menghendaki kebaikan pada seorang insan maka Allah akan lapangkan dadanya untuk menerima Islam. Dari hadits kita pun belajar bahwa dengan menimba ilmu agama maka Allah akan mudahkan jalan hamba-Nya untuk menuju surga; dengan ibadah, iman dan ketakwaan.
Puasa Ramadhan ditetapkan untuk kita dalam rangka membentuk jiwa-jiwa yang tunduk kepada Allah, mengikuti petunjuk dan bimbingan-Nya serta memiliki ruh ketakwaan yang sebenarnya. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian puasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 183)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bepruasa Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharapkan pahala niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sholat lima waktu, ibadah jum’at yang satu menuju jumat berikutnya, dan Ramadhan yang satu menuju Ramadhan berikutnya; menjadi pelebur dosa-dosa yang terjadi diantaranya apabila dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim)
Diantara perkara yang harus kita ingat adalah bahwa amal yang dicintai Allah adalah yang sesuai dengan tuntunan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Amal yang paling dicintai Allah adalah yang paling ajeg/kontinyu meskipun sedikit. Ketika hari raya tiba maka tidak ada istilah libur untuk sholat lima waktu, tidak ada libur untuk berdzikir kepada Allah, tidak ada libur untuk bersyukur kepada Allah, tidak ada libur untuk bertakwa kepada Allah.
Hari raya bukanlah alasan untuk berfoya-foya, mengumbar aurat, mengkonsumsi makanan atau minuman yang diharamkan, mendengarkan lagu-lagu dan musik-musik, atau meninggalkan sholat berjamaah dan membaca al-Qur’an. Hari raya merupakan pengingat kepada kita bahwa ketaatan yang Allah wajibkan kepada kita itu akan diganjar dengan kenikmatan dan kebahagiaan. Menahan diri dari yang haram dan melaksanakan kewajiban itulah yang akan mengantarkan kepada surga. Adapun memuaskan hawa nafsu tanpa kendali iman maka neraka adalah hukumannya.