Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Apakah sama antara orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu.” (az-Zumar : 9)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan maka Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan/cara dalam rangka mencari ilmu -agama- maka Allah akan mudahkan untuknya dengan sebab itu jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berangkat di awal siang menuju masjid sementara tidaklah dia berniat kecuali untuk mempelajari suatu kebaikan atau mengajarkannya, maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang menunaikan ibadah haji dengan sempurna hajinya.” (HR. al-Hakim dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, al-Albani menyatakan hadits ini ‘hasan sahih’ dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris nabi-nabi. Dan sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar atau dirham, akan tetapi sesungguhnya mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya maka dia telah mendapatkan jatah/bagian yang sangat banyak.” (HR. Ahmad, dll. Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seorang ‘alim/ahli ilmu akan dimintakan ampun oleh segala makhluk yang di langit dan di bumi, sampai-sampai oleh ikan yang berada di dalam air/laut.” (HR. Ahmad, dll. Disahihkan al-Albani dalam Shahih at-Targhib)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang hamba meninggal maka terputuslah amalannya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak salih yang mendoakan kebaikan bagi orang tuanya.” (HR. Muslim)
Imam Ahmad berkata, “Manusia jauh lebih banyak membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan -untuk dikonsumsi- dalam sehari sekali atau dua kali saja. Adapun ilmu maka ia dibutuhkan -untuk dipahami, pent- sebanyak hembusan nafas.” (lihat Miftah Daris Sa’adah, 1/248-249)
Imam Bukhari membuat sebuah bab dalam kitab Sahih-nya dengan judul ‘Ilmu sebelum berkata dan beramal’. Sebab ucapan dan perbuatan tidaklah menjadi benar kecuali dengan ilmu. Ilmu itulah yang akan meluruskan ucapan dan amalan. Bahkan, tidak ada keimanan yang benar kecuali apabila dilandasi dengan ilmu (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Minhatul Malik al-Jalil, 1/226-227)
Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat daripada ilmu yang bermanfaat. Dan tidak ada sesuatu yang lebih berbahaya daripada ilmu yang tidak bermanfaat.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 213)
al-Khalil bin Ahmad berkata, “Tidaklah aku mendengar sesuatu -ilmu- kecuali aku pasti mencatatnya. Dan tidaklah aku mencatat kecuali aku berusaha menghafalkannya. Dan tidaklah aku menghafalkan kecuali ia pasti membuahkan manfaat untukku.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 194)
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Hendaklah kalian menuntut ilmu sebelum ia dicabut. Dan dicabutnya ilmu itu adalah dengan lenyap/pergi/meninggalnya orang yang membawanya.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 196)
Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas berkata, “Senantiasa ada orang berilmu yang meninggal dan karena itulah bekas-bekas kebenaran semakin luntur dan hilang. Hingga banyaklah orang yang bodoh dan lenyaplah ahli ilmu. Maka mereka pun beramal dengan dasar kebodohan. Mereka beragama tidak dengan ajaran yang benar. Dan mereka pun tersesat dari jalan yang lurus.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 199)
Para ulama mengatakan, “Orang yang bodoh adalah orang yang kecil (shaghiir) meskipun dia sudah tua umurnya. Dan seorang yang berilmu adalah orang yang besar (kabiir) meskipun usianya masih muda.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 204)
Mak-hul berkata, “Barangsiapa menimba ilmu hadits demi mendebat orang-orang bodoh atau berbangga-bangga di hadapan para ulama, atau demi memalingkan wajah-wajah manusia kepadanya maka dia di neraka.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 227)
Sufyan ats-Tsauri berkata, “Dahulu kami menimba ilmu karena dunia maka ia pun menyeret kami untuk mengejar akhirat.“ (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 274)
Berjuang Mengamalkan Ilmu
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kelak pada hari kiamat didatangkan seorang lelaki, lalu dia dilemparkan ke dalam neraka. Usus perutnya pun terburai. Dia berputar-putar seperti seekor keledai mengelilingi alat penggilingan. Para penduduk neraka berkumpul mengerumuninya. Mereka pun bertanya kepadanya, “Wahai fulan, apa yang terjadi padamu. Bukankah dulu kamu memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar?”. Dia menjawab, “Benar. Aku dulu memang memerintahkan yang ma’ruf tapi aku tidak melaksanakannya. Aku juga melarang yang mungkar tetapi aku justru melakukannya.”.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah dengan melakukan amal-amal sebelum datangnya fitnah-fitnah seperti potongan-potongan malam yang gelap. Pada pagi hari seorang masih beriman lalu di sore hari menjadi kafir. Atau di sore hari beriman lalu pagi harinya menjadi kafir. Dia menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan dunia.” (HR. Muslim)
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim yang baik adalah yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan orang yang benar-benar berhijrah adalah yang meninggalkan segala larangan Allah.” (HR. Bukhari)
Dari Abu Musa radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa para Sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah! Islam manakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu ‘Amr asy-Syaibani, dia berkata: Pemilik rumah ini -beliau mengisyaratkan dengan tangan menunjuk rumah Abdullah (Ibnu Mas’ud)- menuturkan kepadaku. Beliau berkata: Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amalan apakah yang lebih dicintai Allah ‘azza wa jalla?”. Beliau menjawab, “Sholat pada waktunya.” Aku bertanya lagi, “Lalu apa?”. Beliau menjawab, “Kemudian berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya lagi, “Lalu apa?”. Beliau menjawab, “Kemudian berjihad di jalan Allah.” Beliau -Ibnu Mas’ud- berkata, “Beliau telah menuturkan kepadaku itu semua. Seandainya aku meminta tambahan lagi niscaya beliau juga akan menambahkannya kepadaku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Suatu ketika ada lelaki yang menemui Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu. Dia berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, amal apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Ilmu”. Kemudian dia bertanya lagi, “Amal apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Ilmu”. Lantas lelaki itu berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amal yang paling utama, lantas kamu menjawab ilmu?!”. Ibnu Mas’ud pun menimpali perkataannya, “Aduhai betapa malangnya dirimu, sesungguhnya ilmu tentang Allah merupakan sebab bermanfaatnya amalmu yang sedikit maupun yang banyak. Dan kebodohan tentang Allah akan menyebabkan amalmu yang sedikit atau yang banyak menjadi tidak bermanfaat bagimu.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/133])
al-Hasan al-Bashri berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujjah/bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 22)
Sufyan pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu dengan dalih untuk beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-‘Ilmi al-‘Amal, hal. 44-45)
Sufyan ats-Tsauri berkata: Dahulu ibuku berpesan kepadaku, “Wahai anakku, janganlah kamu menuntut ilmu kecuali jika kamu berniat mengamalkannya. Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 579)
Malik bin Dinar berkata, “Barangsiapa menimba ilmu untuk beramal maka Allah akan berikan taufik kepadanya. Dan barangsiapa menimba ilmu bukan untuk beramal maka semakin banyak ilmu akan justru membuatnya semakin bertambah congkak.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 575-576)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Orang yang diberikan kenikmatan adalah orang yang mengambil ilmu dan amal. Adapun orang yang dimurkai adalah orang-orang yang mengambil ilmu dan meninggalkan amal. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang mengambil amal namun meninggalkan ilmu.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 25)
Oleh sebab itu setiap hari di dalam sholat kita memohon kepada Allah agar diberikan hidayah menuju jalan yang lurus; yaitu jalan orang yang diberikan nikmat dimana mereka itu adalah orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya. Orang yang berilmu tapi tidak mengamalkannya maka dia termasuk golongan yang dimurkai. Adapun orang yang beramal tanpa ilmu maka dia termasuk golongan orang yang sesat. Hal ini menunjukkan bahwasanya untuk bisa beramal dan beribadah dengan benar dibutuhkan ilmu, sehingga dengan cara itulah seorang insan akan bisa berjalan di atas jalan yang lurus/shirothol mustaqim (lihat Minhatul Malik al-Jalil, 1/227)
Oleh sebab itu kita dapati para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang bersemangat untuk menimba ilmu sekaligus mengamalkannya. Tidaklah mereka melewati sekitar sepuluh ayat melainkan mereka berusaha memahami maknanya dan mengamalkannya. Mereka berkata, “Maka kami mempelajari ilmu dan amal secara bersama-sama.” (lihat al-‘Ilmu, Wasa-iluhu wa Tsimaaruhu oleh Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili, hal. 19)
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” Ibnul Qayyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi mereka justru berpaling darinya.” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)
Abud Darda’ berkata, “Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan adalah apabila ditanyakan kepadaku pada saat aku dihisab nanti, ‘Kamu sudah mengetahui, lantas apa yang sudah kamu amalkan dengan ilmu yang sudah kamu ketahui itu?’.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 240)
Ubai bin Ka’ab berkata, “Pelajarilah ilmu dan beramallah dengannya. Janganlah kalian mencari ilmu untuk hanya berhias diri. Sesungguhnya hampir-hampir saja muncul apabila umur kalian masih panjang ketika ilmu dijadikan sebagai perhiasan seperti halnya seorang yang berhias diri dengan pakaiannya.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 247)
al-Qasim bin Muhammad berkata, “Aku telah bertemu dengan orang-orang yang tidak dibuat kagum dengan ucapan -kebaikan-. Sesungguhnya yang membuat mereka kagum hanyalah beramal -dengan kebaikan-.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 248)
Hasan al-Bashri berkata, “Ahli ilmu itu adalah yang amalnya sesuai dengan ilmunya. Barangsiapa amalnya menyelisihi ilmunya maka itulah periwayat kabar berita dimana dia mendengar sesuatu lalu dia pun mengatakannya.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 248)
Ada seorang perempuan berkata kepada asy-Sya’bi, “Wahai orang yang ‘alim/berilmu, berikanlah fatwa kepadaku.” Maka beliau pun menjawab, “Sesungguhnya orang yang ‘alim adalah yang takut kepada Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 166)
ar-Rabi’ bin Anas mengatakan, “Barangsiapa yang tidak takut kepada Allah ta’ala maka sesungguhnya dia bukanlah seorang yang ‘alim/berilmu.” Mujahid juga mengatakan, “Sesungguhnya orang yang benar-benar ‘alim ialah yang senantiasa merasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 166)
Masruq berkata, “Cukuplah menjadi tanda keilmuan seorang tatkala dia merasa takut kepada Allah. Dan cukuplah menjadi tanda kebodohan seorang apabila dia merasa ujub dengan amalnya.” (lihat Min A’lam as-Salaf [1/23])
Imam al-Barbahari berkata, “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- sesungguhnya ilmu bukanlah dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan Sunnah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu/wawasan dan bukunya banyak.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163)
Sufyan ats-Tsauri berkata, “Adalah para ulama apabila mereka telah mengetahui suatu ilmu maka mereka pun berusaha mengamalkannya. Apabila mereka mengamalkannya maka mereka pun disibukkan dengannya. Apabila mereka telah sibuk dengan amal maka mereka pun hilang. Dan apabila mereka hilang mereka pun dicari. Dan apabila mereka dicari maka mereka pun berusaha untuk lari.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 249)
al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Hendaknya kamu disibukkan dengan memperbaiki dirimu, janganlah kamu sibuk membicarakan orang lain. Barangsiapa yang senantiasa disibukkan dengan membicarakan orang lain maka sungguh dia telah terpedaya.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 38)
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Barangsiapa yang mengetahui bahwa ucapannya adalah bagian dari amalnya, maka akan sedikit ucapannya kecuali dalam apa-apa yang penting dan bermanfaat baginya.” (lihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, 2/72)
Bilal bin Sa’ad mengatakan, “Apabila dikatakan kepada salah seorang dari kita, ‘Apakah kamu ingin mati?’ maka dia akan menjawab, ‘Tidak’. Lalu ditanyakan kepadanya, ‘Mengapa?’. Maka dia menjawab, ‘Sampai saya bertaubat dan beramal salih’. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Kalau begitu segeralah beramal’. Maka dia akan berkata, ‘Kelak saya akan beramal’. Dia tidak ingin mati dan juga tidak mau beramal. Dia menunda amal untuk Allah ta’ala sementara dia tidak mau menunda amal untuk dunia.” (lihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, 2/56-57)
Hasan al-Bashri berkata, “Sebagian orang enggan untuk mudaawamah [kontinyu dalam beramal]. Demi Allah, bukanlah seorang mukmin yang hanya beramal sebulan, dua bulan, setahun atau dua tahun. Tidak, demi Allah! Allah tidak menjadikan batas akhir beramal bagi seorang mukmin kecuali kematian.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1160)
Berjuang Mengikhlaskan Amal
Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu mereka kerjakan, kemudian Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)
Imam Ibnul Jauzi menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan” yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan” maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (lihat Zaadul Masir, hal. 1014)
Fudhail bin Iyadh berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits).
Allah berfirman dalam hadits qudsi, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amal seraya mempersekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang dibalas sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barangsiapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya kepada dunia yang ingin dia peroleh atau kepada wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan untuk berhijrah itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang benar-benar melakukan amalan penduduk surga dalam pandangan manusia, namun sebenarnya dia adalah penduduk neraka. Dan sesungguhnya seseorang benar-benar melakukan amalan penduduk neraka dalam pandangan manusia, namun sebenarnya dia adalah penduduk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnul Mubarak berkata, “Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil karena niat.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Sufyan ats-Tsauri mengatakan, “Tidaklah aku mengobati suatu penyakit yang lebih sulit daripada masalah niatku. Karena ia sering berbolak-balik.” (lihat Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)
Mutharrif bin Abdillah berkata, “Baiknya hati dengan baiknya amalan. Adapun baiknya amalan adalah dengan baiknya niat.” (lihat Iqazh al-Himam, hal. 35)
Imam Ibnul Qoyyim berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34).
Imam Nawawi berkata, “Ketahuilah, bahwasanya keikhlasan seringkali terserang oleh penyakit ujub. Barangsiapa ujub dengan amalnya maka amalnya terhapus. Begitu pula orang yang menyombongkan diri dengan amalnya maka amalnya terhapus.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 584)
Ibrahim at-Taimi berkata, “Orang yang ikhlas adalah yang berusaha menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana dia suka menyembunyikan kejelekan-kejelekannya.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 252)
Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Ikhlas itu adalah seorang insan berniat dengan amalnya untuk mencari wajah Allah. Dan dia tidak bermaksud untuk mencari kepentingan dunia apapun atau mencari pujian dan sanjungan dari manusia. Dia tidak mendengarkan celaan mereka ketika mencelanya. Seperti perkataan mereka, ‘Si fulan mutasyaddid/keras’ atau ‘si fulan itu begini dan begitu’ selama dia berada di atas jalan yang benar dan di atas Sunnah maka tidak membahayakan dirinya apa yang diucapkan oleh orang-orang. Dan tidak menggoyahkannya dari jalan Allah celaan dari siapa pun juga.” (lihat I’anatul Mustafid, 1/104)
Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Maka bukanlah perkara yang terpenting adalah bagaimana orang itu melakukan puasa atau sholat, atau memperbanyak ibadah-ibadah. Sebab yang terpenting adalah ikhlas. Oleh sebab itu sedikit namun dibarengi dengan keikhlasan itu lebih baik daripada banyak tanpa disertai keikhlasan. Seandainya ada seorang insan yang melakukan sholat di malam hari dan di siang hari, bersedekah dengan harta-hartanya, dan melakukan berbagai macam amalan akan tetapi tanpa keikhlasan maka tidak ada faidah pada amalnya itu; karena itulah dibutuhkan keikhlasan…” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 17-18)