Apabila kita melihat dalam sejarah para ulama. Hampir tidak pernah kosong lembaran sejarah mereka dari perjalanan menimba ilmu. Dari sejak zaman sahabat nabi hingga zaman para ulama kita di masa kini. Mereka rela untuk meninggalkan tempat tinggalnya dan menempuh perjalanan dekat ataupun jauh untuk mencari ilmu dan mencari guru.
Dalam tulisan ini, kami tidak akan menceritakan kisah seseorang secara khusus. Kami hanya menggambarkan sebatas pengetahuan kami mengenai perjalanan sebagian rekan atau guru-guru kami dalam belajar ilmu agama. Sengaja dalam kumpulan kisah ini tidak kami sebutkan nama-nama mereka demi menjaga keikhlasan dan kelurusan niat kita semuanya.
Berawal dari sebuah majelis pengajian di masjid dekat sekolah. Beberapa pemuda dari kalangan mahasiswa dan pelajar duduk mendengarkan ceramah dan nasihat agama. Pengajian ini tidak sebagaimana pengajian-pengajian lain yang pada umumnya sarat dengan gelak tawa atau iringan musik dan pembawa acara nan cantik jelita. Pengajian ini cukup sederhana. Hanya ada seorang pembicara dan beberapa panitia yang menyiapkan acaranya; mulai dari perijinan tempat, peminjaman sound system, meja, dan minum atau snack ala kadarnya.
Materi kajian yang dibahas pun seolah asing di tengah masyarakat kita. Mulai dari pembahasan tauhid, manhaj, aqidah, dan seputar penyimpangan kelompok-kelompok yang ada. Mungkin terasa berat dan keras bagi sebagian orang. Di dalam pengajian ini dikenalkan kepada kami apa itu tauhid, apa itu aqidah, dan bagaimana beragama dengan manhaj/metode yang benar. Dengan menyandarkan pemahaman kepada dalil al-Qur’an dan as-Sunnah pengajian ini diadakan dan terus dipublikasikan. Memang terkadang pahit ketika harus menerima kenyataan bahwa sebagian keyakinan dan perbuatan kita selama ini bertentangan dengan kebenaran. Namun, hati nurani kita akan menuntut kita untuk pasrah dan tunduk kepada hidayah kebenaran itu.
Sebagian rekan kami, tidak puas hanya dengan duduk di majelis pengajian itu. Mereka pun hadir dalam acara-acara pengajian lain di ma’had atau pondok pesantren yang lokasinya cukup jauh dari sekolah kami. Bahkan sebagian diantara mereka meminta berguru langsung kepada sebagian ustadz untuk belajar bahasa arab dan ilmu-ilmu yang lain. Satu hal yang kami tidak bisa lupakan, bahwa mereka ini bukanlah santri atau mahasiswa jurusan agama Islam. Mereka hanyalah para remaja pelajar sekolah menengah dan segelintir mahasiswa perguruan tinggi di kota kami. Para ustadz telah mengajari mereka untuk punya perhatian kepada ilmu agama, sebab ilmu agama itulah yang akan mengarahkan mereka untuk mudah masuk ke dalam surga.
Guru-guru kami memang bukan orang yang dikenal sebagai kiyai haji, habib, atau bergelar mentereng dengan deretan titel dari kampus tenar di Amerika, Eropa, atau negeri barat lainnya. Kebanyakan mereka adalah murid dari muridnya para ulama dari tanah Arab sana. Tidak sedikit pula yang telah diberi kesempatan oleh Allah untuk belajar dan menimba ilmu di kota Nabi. Memang sebuah anugerah dan karunia yang sangat besar bagi kami untuk bisa mendengar kajian dan nasihat-nasihat mereka. Walaupun apabila kami melihat keadaan mayoritas umat di sekitar kami maka kami pun harus bersabar dan prihatin dengan realita yang ada selama ini.
Sebagian dari rekan-rekan kami pun bangkit dari keadaan ini dan berusaha untuk belajar ilmu agama lebih giat lagi. Mereka belajar bahasa arab dan ikut dalam program tahfizh al-Qur’an serta berusaha untuk ikut seleksi agar bisa masuk belajar di kampus Islam di kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Alhamdulillah sebagian mereka lolos, dan yang lebih banyak lagi tetap berada di tanah air dengan kesibukan dan profesi mereka masing-masing. Namun satu hal yang kami ingat, bahwa mereka adalah orang-orang yang telah diberi anugerah pemahaman tentang ilmu syar’i. Sebuah nikmat yang sangat agung dan tidak bisa dinilai dengan harta benda dan materi.
Tidaklah dipungkiri bahwasanya berbagai bentuk fitnah dunia dan godaan hawa nafsu telah merusak wajah dan perilaku sebagian anak negeri. Para penimba ilmu dan da’i tidak mau berhenti untuk terus mengajak saudara-saudara dan masyarakatnya agar bangkit dari kelalaian dan keterpurukan ini. Mereka terus berjuang dan berjuang. Sebagian mereka pergi ke luar negeri untuk hadir di majelis para ulama dan pada akhirnya kembali ke bumi pertiwi untuk memperbaiki keadaan negeri ini. Inilah cinta tanah air dan bukti kesetiaan mereka kepada bangsa ini. Walaupun tidak bisa disalahkan bagi sebagian mereka yang diberi taufik oleh Allah untuk menetap di tanah suci demi kepentingan umat manusia lebih luas dan menebar manfaat ke berbagai penjuru bumi.
Perjalanan menimba ilmu adalah sebuah perjalanan ruhiyah yang melibatkan segala pengorbanan dan perjuangan fisik dan materi. Mendatangi guru dan belajar kepadanya. Belajar tentang islam dan ajaran-ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana mengenal Allah, mengenal nabi-Nya dan mengenal agama Islam dengan dalil-dalilnya. Mengenal kaidah-kaidah untuk memahami tauhid dan syirik. Mengenal jalan golongan yang selamat dan menjauhi pemahaman aliran-aliran sesat dan menyimpang. Mengenal tata-cara beribadah kepada Allah dan etika bermuamalah dengan sesama. Sempurnanya Islam telah membuat mereka puas untuk tidak perlu lagi menoleh kepada pemikiran dan ideologi-ideologi barat ataupun tradisi-tradisi jahiliyah.
Seorang ustadz menasihatkan, “Apakah kita belajar Islam untuk mengeraskan hati?”. Ya, sebuah nasihat yang sangat menyentuh hati. Para guru kami adalah orang-orang yang sabar dalam menghadapi tekanan dan ujian di medan dakwah ini. Apa pun siap mereka korbankan demi tegaknya dakwah tauhid yang mulia ini. Membawa bantuan untuk korban bencana alam atau korban perang. Mendatangi warga masyarakat dan pengungsi untuk menyampaikan sepatah dua patah kata penyejuk hati. Perjalanan menimba ilmu telah membuat mereka merasakan pahit getirnya pertarungan antara kebenaran dengan kebatilan. Seolah mereka ingin meniru perkataan kaum salih yang dikisahkan di dalam al-Qur’an, “Sesungguhnya kami ini memberikan makanan untuk kalian untuk mencari wajah Allah. Kami tidak menginginkan dari kalian imbalan atau ucapan terima kasih.” Ikhlas, itulah ilmu yang mereka ajarkan kepada kami selama ini.
Perjalanan menimba ilmu telah mempertemukan sebagian rekan kami dengan para ulama besar di muka bumi ini. Para ulama yang menjadi lentera sejarah dan bulan purnama di tengah gelapnya fitnah akhir zaman. Para ulama yang dengan sabar dan bijak menasihati putra-putranya agar bersatu dan tidak berpecah-belah. Untuk saling tolong-menolong dan memperbaiki keadaan saudaranya. Karena tidaklah sempurna iman seorang sampai dia mencintai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana dia mencintai hal itu bagi dirinya sendiri.
Perjalanan menimba ilmu telah melahirkan juru dakwah dan pengibar sunnah nabi dari berbagai pelosok negeri. Mereka telah menghabiskan waktu dan biaya untuk berguru kepada para ulama. Mereka telah berjuang dengan keras untuk memahami agama ini dan menyebarkannya sedikit demi sedikit demi mencerahkan masa depan bangsa ini. Mereka tidak peduli; apakah mereka disebut-sebut, disanjung atau tidak. Sebab bukan itu yang mereka cari.
Rekan-rekan kami para mahasiswa pun tidak mau ketinggalan. Mereka yang sibuk dengan agenda perkuliahan dan praktikum atau laporan serta tugas dari dosennya. Mereka ingin belajar ilmu agama dengan mengikuti manhaj yang haq ini. Mereka juga belajar bahasa arab. Mereka belajar bagaimana membaca al-Qur’an dengan benar. Mereka belajar bagaimana mengurus dakwah dengan baik dan bergaul dengan masyarakat dengan sopan. Mereka juga belajar untuk menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda. Mereka bertemu dengan sesamanya para kaum muda pecinta ilmu agama dari berbagai penjuru Nusantara. Mereka berkumpul dalam wisma-wisma muslim di sekitar kampus dan berusaha untuk menata waktu sebaik-baiknya. Mereka tidak ingin menjadi orang yang memperburuk wajah bangsa ini dengan dosa dan kesesatan.
Perjalanan menimba ilmu agama memang tidak seindah atau semanis yang digambarkan. Ada banyak rintangan dan hambatan yang harus mereka hadapi. Sebagian mereka harus meninggalkan hobinya di masa lalu berupa kegemaran mendengar musik. Sebagian mereka harus meninggalkan kesukaannya bermain biola atau memetik gitar. Sebagian mereka harus meninggalkan profesinya sebagai pegawai bank konvesional. Sebagian mereka harus meninggalkan hingar-bingar dunia artis dan panggung hiburan. Mereka tidak sedang mencari ketenaran atau berburu sensasi.
Mereka hanya ingin menemukan jalan kembali menuju Rabb yang Maha Suci. Mereka ingin termasuk orang-orang yang dipanggil oleh Allah dengan panggilan yang lembut, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dengan penuh keridhaan dan diridhai. Masuklah kamu diantara hamba-hamba-ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
Perjalanan menimba ilmu adalah perjalanan menuju kemuliaan. Para penimba ilmu menyadari bahwa kemuliaan ini hanya bisa diraih dengan keikhlasan, kesabaran, keistiqomahan, dan kesungguh-sungguhan. Bukan dengan bermodalkan kemalasan. Bukan dengan bergelimang maksiat dan kedurhakaan. Penuntut ilmu adalah harapan masa depan bangsa ini. Mereka meninggalkan rumahnya bukan karena benci kepadanya. Akan tetapi kecintaannya kepada rumah dan tempat kelahirannya menuntut mereka untuk menjemput cahaya ilmu dan mereguk siraman hidayah guna mereka serap dan kemudian disebarkan kembali ke berbagai penjuru negeri.