Penciptaan Alam Semesta

Bismillah…

Secara logika, ada tiga kemungkinan teori terjadinya alam semesta:

  1. Ia terjadi begitu saja secara tiba-tiba, tanpa ada pencipta
  2. Ia menciptakan dirinya sendiri
  3. Ia ada karena diciptakan

Kemungkinan pertama dan kedua jelas tertolak. Karena sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba tidak bisa tertata rapi dan teratur pada asal pembentukannya, maka lebih tidak mungkin lagi ia tertata dengan baik dalam perkembangannya. Dan mustahil ia menciptakan dirinya sendiri. Karena sebelum ada, alam semesta ini tidak ada. Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak ada bisa mencipta? Ada saja tidak! Oleh sebab itu hanya kemungkinan ketiga yang tersisa, yaitu alam ini ada karena diciptakan. Adapun penciptanya tidak lain adalah Allah ta’ala. Allah ta’ala telah mengisyaratkan tiga kemungkinan ini dalam firman-Nya (yang artinya), “Apakah mereka itu tercipta tanpa ada sesuatu apapun sebelumnya, ataukah mereka sendiri yang menciptakan?” (QS. ath-Thur: 35). Maka sangatlah wajar jika seorang arab yang mau menggunakan akalnya seperti Jubair bin Muth’im pun seketika tertarik kepada Islam setelah mendengar dibacakannya ayat ini (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal. 17-18 cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, lihat juga Fath al-Bari karya al-Hafizh Ibnu Hajar [8/708] cet. Dar al-Hadits)

Dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya -semoga Allah meridhainya-, dia berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat ath-Thur pada saat sholat Maghrib. Tatkala beliau sampai pada ayat ini (yang artinya), “Apakah mereka itu diciptakan tanpa ada sesuatu sebelumnya, ataukah mereka sendiri yang menciptakan? Apakah mereka yang menciptakan langit dan bumi? Bahkan, mereka pun tidak meyakininya. Apakah di sisi mereka ada perbendaharaan Rabb-mu, ataukah mereka yang menguasainya?” (QS. ath-Thur: 35-37). Maka Jubair bin Muth’im pun berkata, “Hampir-hampir saja hatiku melayang.” (HR. Bukhari)

Dikisahkan, suatu ketika Imam Abu Hanifah rahimahullah ditanya oleh sejumlah orang zindiq/atheis mengenai keberadaan pencipta alam ini. Beliau pun berkata kepada mereka, “Tunggu sebentar, biarkan aku berpikir mengenai suatu berita yang disampaikan kepadaku. Mereka pernah menceritakan kepadaku bahwa ada sebuah kapal yang berlayar di tengah lautan berisi muatan berbagai barang dagangan. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang menjaga dan mengemudikannya. Meskipun begitu, kapal itu datang dan pergi dengan sendirinya. Ia menembus gelombang lautan yang ganas dan meloloskan diri darinya. Ia berlayar ke mana pun ia mau tanpa ada seorang pun yang mengendalikannya.” Orang-orang zindiq itu pun berkata, “Ini adalah sebuah perkara yang tidak diucapkan oleh orang yang berakal.” Lantas Abu Hanifah mengatakan, “Sungguh celaka kalian! Kalau begitu bagaimana mungkin alam semesta ini, langit dan buminya, beserta segala isinya yang begitu teratur, ternyata ia tidak memiliki pencipta?!”. Orang-orang itu pun terdiam seribu bahasa. Akhirnya mereka kembali kepada kebenaran dan masuk Islam di tangan Imam Abu Hanifah rahimahullah (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 14 oleh Syaikh Abdullah al-Qar’awi, lihat pula Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 84-85)

Kaum Musyrik Pun Meyakininya

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sungguh, jika engkau (Muhammad) tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Tentu mereka akan menjawab, ‘Yang menciptakannya adalah Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui’.”(QS. az-Zukhruf: 9)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan diri mereka, niscaya mereka menjawab: Allah. Lalu dari mana mereka bisa dipalingkan (dari menyembah Allah).” (QS. az-Zukhruf: 87).

Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang-orang musyrik arab dahulu telah mengakui tauhid rububiyah. Mereka pun mengakui bahwa pencipta langit dan bumi ini hanya satu.” (lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 81, lihat juga Fath al-Majid, hal. 16, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [6/201] [7/167])

Adapun yang terjadi kepada Fir’aun adalah sebuah kesombongan dan kecongkakan belaka. Allah ta’ala menceritakan (yang artinya), “Maka dia (Fir’aun) berkata: Aku adalah Rabb kalian yang tertinggi.” (QS. an-Nazi’at: 24). Fir’aun juga yang berkata (yang artinya), “Aku tidak mengetahui bagi kalian ada ilah/sesembahan selain diri-Ku.” (QS. al-Qoshosh: 38).

Padahal, dalam lubuk hatinya Fir’aun sebenarnya mengakui Allah sebagai Rabbnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Mereka menentang hal itu, padahal sesungguhnya mereka telah meyakininya di dalam hatinya, itu semua karena sifat zalim dan karena mereka merasa lebih tinggi -di hadapan manusia-.” (QS. an-Naml: 14).

Nabi Musa ‘alaihis salam pun telah menetapkan pengakuan Fir’aun atas hal itu, ketika beliau berbicara di hadapannya. Sebagaimana diceritakan Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Sungguh kamu telah mengetahui bahwasanya tidaklah yang menurunkan itu semua melainkan Rabb yang menguasai langit dan bumi.” (QS. al-Israa’: 102) (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/6])

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *