Partai Iman dan Takwa

Bismillah.

Telah dimaklumi bersama, bahwa kita diperintahkan oleh Allah untuk saling bekerjasama dan bantu-membantu dalam kebaikan dan takwa, sebagaimana kunci keberkahan suatu wilayah adalah iman dan takwa pada diri penduduk negerinya.

Di tengah menghangatnya suhu politik di negeri kita, seolah pembicaraan mengenai partai sudah menjadi sarapan dan menu harian para penggemar berita dan kuli tinta. Akan tetapi partai yang kami maksud dalam tulisan ini bukanlah partai yang mereka bicarakan. Allah menyebut golongan pembela Allah dengan sebutan hizbullah dan golongan pembela setan sebagai hizbusyaithan. Kedua istilah ini bisa kita temukan dengan mudah di dalam al-Qur’an.

Kata hizb terkadang diartikan dengan partai atau golongan. Sehingga hizbullah maknanya adalah partainya Allah atau golongan pembela Allah. Terkadang kata hizb juga digunakan dalam konteks yang tidak baik misalnya ayat yang menceritakan salah satu sifat kaum musyrikin yang gemar berpecah-belah dan setiap hizb berbangga dengan apa yang ada padanya. Padahal di ayat lain Allah memerintahkan untuk bergembira bagi orang yang mendapatkan keutamaan dan rahmat Allah; karena hal itu jauh lebih baik daripada kesenangan dunia yang dikumpulkan manusia. Orang-orang yang disebut sebagai hizbullah tentu tercakup dalam golongan orang yang diberi keutamaan dan rahmat dari Allah. Namun kegembiraan dan kebanggaan yang dimaksud bukanlah perasaan ujub yaitu memandang hebat diri; karena ujub adalah sifat yang tercela.

Hizbullah yang dimaksud di sini tentu golongan yang benar-benar memenuhi kriteria yang Allah tetapkan, bukan sekedar pengakuan sepihak dari sebagian orang. Oleh sebab itu para ulama kita sering menasihatkan, bahwa yang menjadi ibrah/patokan adalah hakikat dari sesuatu, bukan dengan nama atau slogan-slogan yang dimunculkan. Seorang ustaz –hafizhahullah– di saat berbincang dengan sebagian rekan menukil ucapan para ulama ‘orang yang berakal melihat kepada hakikat, bukan kepada apa-apa yang tampak secara lahiriah darinya.’ Semoga Allah merahmati beliau dan memberkahi ilmu dan umurnya…

Apabila iman dan takwa merupakan kunci keberkahan dan kebaikan sebuah negeri, maka tidaklah mengherankan jika sering kita jumpai di sekolah-sekolah -beberapa waktu silam- tulisan di dinding depan ruang kelasnya ‘cerdas’, ‘takwa’, dsb. Ya, mungkin terkandung harapan darinya bahwa para murid akan tumbuh menjadi generasi yang beriman dan bertakwa. Akan tetapi seperti dinasihatkan oleh para ulama kita, bahwa iman -begitu juga takwa- bukan sekedar angan-angan atau memperelok penampilan lahiriah, tetapi iman akan terwujud dengan keyakinan di dalam hati dan bukti nyata dengan amal-amal perbuatan. Oleh sebab itulah di dalam al-Qur’an Allah menyebut dan menegaskan bahwa sesungguhnya kaum munafik adalah kaum pendusta. Sebab mereka mengaku beriman dengan lisannya tetapi hatinya tidak demikian. Wal ‘iyadzu billah.    

Sebuah surat yang sudah dihafal oleh kebanyakan kita dan menunjukkan pentingnya iman yang membuahkan amalan ialah surat al-’Ashr. Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.” (al-’Ashr : 1-3)

Para ulama mengingkari pemahaman Murji’ah yang menganggap bahwa iman cukup dengan keyakinan hati atau ditambah dengan ucapan lisan. Murji’ah menyingkirkan amalan dari hakikat iman. Kaum Jahmiyah bahkan mengangap iman cukup dengan ma’rifah/yaitu pengenalan kepada Allah; siapa yang mengenal Allah sebagai Rabb maka dia beriman, dalam pandangan mereka. Tentu ini adalah kesesatan, karena pengakuan semacam itu pun telah dilakukan oleh Iblis. Padahal Iblis telah dilaknat oleh Allah -karena pembangkangannya- dan termasuk golongan yang kafir; bahkan Iblis itulah gembongnya thaghut. Bagaimana mungkin Iblis dikatakan beriman?!

Semoga Allah lindungi diri kita dari kesesatan dan penyimpangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *