Bismillah.
Salah satu komentar yang terkadang muncul ketika ada ajakan untuk rajin ngaji alias belajar agama adalah; bahwa aktif ngaji itu tidak bisa membuat kaya, bahasa jawanya ‘Ora marai sugih’.
Saudaraku yang dirahmati Allah, perlu kita pahami bersama bahwa hakikat nikmat yang mendatangkan kebahagiaan adalah nikmat yang membuahkan amal salih. Oleh sebab itu sebagian ulama kita terdahulu mengatakan, “Setiap nikmat yang tidak semakin membuat dekat kepada Allah maka pada hakikatnya itu adalah malapetaka/musibah.”
Apabila kebahagiaan hanya diukur dengan limpahan harta atau jabatan yang tinggi, maka tentulah orang seperti Fir’aun dan Namrud adalah teladan utama dalam peraih kebahagiaan. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Justru kekuasaan dan harta yang mereka miliki tidak mengantarkan menuju kemuliaan dan kebahagiaan. Mereka sengsara dengan dosa dan hukumannya.
Di dalam Islam, kebahagiaan dan kebaikan itu berkaitan erat dengan kualitas iman. Iman yang tertancap di dalam hati, diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal-amal perbuatan. Semakin bagus iman seorang hamba maka semakin besar kebahagiaan yang dia rasakan; bahagia di dunia dengan sabar dan syukur serta bahagia di akhirat dengan surga dan ampunan Allah.
Belajar agama adalah kebutuhan. Ia bukan hobi atau kegiatan sampingan. Ia menjadi kebutuhan setiap manusia yang ingin mencapai tujuan dan target hidupnya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia lebih banyak membutuhkan ilmu daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari sekali atau dua kali. Adapun ilmu dibutuhkan sebanyak jumlah hembusan nafas.”
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang menuntut ilmu (agama) dalam rangka menghidupkan ajaran agama Islam maka dia tergolong jajaran shiddiqin dan derajatnya adalah setelah derajat kenabian.”
Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com