dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan cahaya dan kegelapan, yang mengeluarkan kaum beriman dari kegelapan menuju cahaya. Salawat dan salam semoga tercurah kepada penutup nabi dan rasul, pembawa petunjuk Islam kepada segenap insan akhir zaman.
Amma ba’du.
Nasehat/berwasiat dalam kebaikan adalah bagian tidak terpisahkan dari agama Islam. Nasehat ini bahkan menjadi salah satu ciri dan karakter para peraih kebahagiaan. Allah berfirman (yang artinya), “.. dan mereka saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam menetapi kesabaran.” (Al-‘Ashr : 3).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa ‘saling menasehati dalam kebenaran’ adalah terapi bagi fitnah syubhat, sedangkan ‘saling menasehati dalam kesabaran’ adalah terapi bagi fitnah syahwat. Hancurnya hidup manusia adalah karena kedua fitnah itu. Maka, meraih kebahagiaan dan keselamatan adalah dengan melakukan kedua terapi ini sekaligus.
Fitnah syubhat akan merusak pemahaman dan persepsi manusia tentang kebenaran dan kebatilan. Syubhat akan menghiasi kebatilan dengan aneka ragam polesan dan iming-iming, sehingga orang yang tidak berbekal ilmu yang benar pun akan bingung dan larut dalam kesesatan. Sementara fitnah syahwat akan merusak ketakwaan dan kesucian hati, mengikis keikhlasan dan membiakkan kemunafikan. Hal-hal yang haram menjadi menggiurkan dan tampak menyenangkan.
Mengobati kedua penyakit ini tidak akan bisa kecuali dengan menyerap bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh sebab itu menimba ilmu dan mengamalkannya merupakan senjata paling manjur untuk membentengi diri darinya. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan maka Allah pahamkan dalam agama.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kepahaman dalam agama mencakup dua sisi sekaligus, yaitu sisi ilmu dan sisi amalan. Demikianlah yang dipahami oleh para ulama salaf. Sehingga dikatakan oleh Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, “Seorang alim/ahli ilmu tetap dinilai jahil/bodoh selama ia belum mengamalkan ilmunya. Apabila ia telah mengamalkannya jadilah dia orang berilmu yang sejati.”
Oleh karena itu keilmuan diukur dengan rasa takut kepada Allah dan ketakwaan. Allah berfirman (yang artinya), “Hanya saja yang merasa takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (Fathir : 28). Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Maka setiap orang yang takut kepada Allah adalah orang yang ‘alim/berilmu.” Suatu ketika dikatakan kepada Asy-Sya’bi rahimahullah, “Wahai ahli ilmu.” Maka beliau menjawab, “Saya bukan ahli ilmu/’alim. Sesungguhnya orang yang ‘alim adalah yang takut kepada Allah.”
Mereka yang selamat dari kedua fitnah di atas, layak untuk masuk dalam golongan orang-orang yang diberi nikmat ‘alladzina an’amta ‘alaihim’. Orang-orang yang berhasil meniti jalan para nabi, shiddiqin, syuhada’, dan sholihin. Mereka membekali diri dengan ilmu dan mengamalkan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian ulama salaf berkata, “Barangsiapa yang rusak diantara ulama kita maka pada dirinya terdapat keserupaan dengan Yahudi, dan barangsiapa yang rusak diantara ahli ibadah kita maka padanya terdapat keserupaan dengan Nasrani.”
Apabila Yahudi dimurkai karena tidak mengamalkan ilmunya, maka Nasrani tersesat karena beramal tanpa ilmu. Apabila Yahudi dimurkai akibat memperturutkan syahwat dan keangkuhan mereka sedangkan Nasrani tersesat akibat syubhat dan kebodohan mereka. Adapun orang-orang yang berjalan di atas jalan yang lurus senantiasa berjuang menundukkan hawa nafsunya, merendah diri di hadapan Allah dan lebih mencintai-Nya, di samping itu mereka juga terus memohon tambahan ilmu dan petunjuk agar bisa selamat dari hembusan syubhat dan kebatilan.
Menggabungkan ilmu dan amal, inilah yang disebut dalam bahasa Al-Qur’an dengan mengikuti hidayah dan petunjuk-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan sesat dan tidak celaka.” (Thaha : 123). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Allah memberikan jaminan kepada siapa saja yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang ada di dalamnya; bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.”
Yang dimaksud ‘membaca Al-Qur’an’ adalah menimba ilmunya dan memahaminya dengan benar, sebagaimana yang dipahami oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Yang dimaksud ‘mengamalkan ajaran yang ada di dalamnya’ yaitu menerapkan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari, berupa ucapan, amalan, dan keyakinan, yang tampak dan yang tersembunyi. Sehingga, keimanan hanya akan lurus jika ilmu dan amal senantiasa berdampingan.
Oleh sebab itulah para ulama salaf senantiasa menyandingkan antara keyakinan hati dengan amal anggota badan. Berbeda dengan kaum Murji’ah yang memisahkan amal dari pemaknaan dan substansi keimanan. Para ulama mengatakan, “Iman adalah pembenaran dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan. Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.”
Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu hanya dengan angan-angan ataupun menghias-hiasi penampilan. Akan tetapi iman yang hakiki adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.” Ucapan beliau ‘apa-apa yang bersemayam di dalam hati’ mengisyaratkan kepada ilmu dan keyakinan, sedangkan ‘dibuktikan dengan amalan’ menunjuk kepada amal-amal anggota badan dan tentu saja amal-amal hati.
Ibadah kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya hanya akan terwujud apabila seorang hamba melandasi iman dan amalannya dengan ilmu, sebagaimana ia bisa terwujud apabila seorang hamba tunduk kepada hukum dan aturan-Nya. Imam Bukhari rahimahullah telah membuat bab di dalam Shahihnya ‘Bab Ilmu Sebelum Ucapan dan Amalan’. Allah bahkan telah berfirman (yang artinya), “Sekali-kali tidak, demi Rabbmu, mereka itu tidaklah beriman kecuali apabila mereka telah menjadikan kamu -Muhammad- sebagai hakim/pemutus perkara atas apa-apa yang diperselisihkan diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati dalam hatinya rasa sempit atas apa yang telah Kamu putuskan, dan mereka pasrah dengan sepenuhnya.” (An-Nisaa’ : 65)
Di dalam ayat ini, Allah memadukan antara ‘menjadikan rasul sebagai hakim’ dengan ‘kepasrahan hati kepada hukum beliau’. Hal ini menunjukkan bahwa semata-mata tunduk secara fisik kepada hukum rasul tidaklah cukup jika dibarengi dengan kebencian dan ketidakpuasan terhadap hukum Islam. Sementara tunduk kepada hukum rasul itu sendiri tidak akan terwujud apabila seorang hamba tidak memahami hakikat hukum-hukum rasul itu sebagaimana mestinya. Dengan demikian, kesesuaian antara ilmu dan amalan inilah yang menjadi kunci kebaikan iman.
Orang-orang munafik yang Allah gambarkan bahwa mereka itu menyimpan penyakit di dalam hatinya dan kelak di akhirat berada di kerak terbawah dari neraka, apabila kita cermati sifat-sifat mereka -semoga Allah menjauhkan kita darinya- merupakan potret manusia yang tidak mau menyelaraskan antara ilmu dan amalannya. Mereka menampakkan keimanan namun sejatinya mereka memendam kekafiran. Mereka mengucapkan dengan lisan mereka apa-apa yang tidak ada di alam hatinya. Mereka sekedar mencari simpati manusia dan pada hakikatnya mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali. Mereka suka dipuji pada hal-hal yang sebenarnya bukan amal perbuatan mereka. Mereka merusak agama namun mereka ingin dianggap sebagai punggawa perbaikan dan kemajuan. Mereka tampakkan kepada publik bahwa mereka adalah orang-orang yang menghendaki kebaikan dan kompromi bagi umat manusia.
Adapun para Sahabat, generasi terbaik umat ini, kaum salaf yang salih; maka mereka adalah cerminan kepribadian insan beriman yang patut dijadikan teladan. Mereka menyerap ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah serta menerapkannya dalam segala sisi kehidupan. Mereka mulia dengan Al-Qur’an dan mereka pun berjaya dengan As-Sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengangkat sebagian kaum dengan Kitab ini dan merendahkan sebagian yang lain juga dengan sebab Kitab ini.” (HR. Muslim)
Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu berkata, “Kami adalah suatu kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam maka kapan saja kami mencari kemuliaan dari selain Islam, niscaya Allah menimpakan kehinaan kepada kami.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak). Imam Malik rahimahullah berkata, “Tidak akan memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini kecuali apa-apa yang telah memperbaiki keadaan generasi awalnya.”
Para Sahabat bukan saja menimba ilmu dan beramal salih, bahkan mereka pun merasa takut apabila amal-amalnya lenyap tanpa sadar. Imam Bukhari rahimahullah membuat bab di dalam Shahihnya dengan judul ‘Rasa Takut Seorang Mukmin Akan Hapusnya Amalnya Dalam Keadaan Dia Tidak Sadar’. Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah mengatakan, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan mereka semuanya takut dirinya tertimpa kemunafikan.” Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Seorang mukmin memadukan antara berbuat ihsan/kebaikan dengan rasa takut, sedangkan orang kafir memadukan antara berbuat buruk dengan merasa aman.”
Ibrahim ‘alaihis salam sang imam bagi kaum hunafa’/ahli tauhid dan pelopor dalam kebaikan dan pengorbanan, sang pejuang akidah dan pemberantas kemusyrikan, beliau saja merasa takut akan bahaya pemujaan berhala, bahkan juga takut kalau amalnya tidak diterima; padahal beliau tengah membangun/meninggikan pondasi rumah Allah -Ka’bah- bersama putranya. Maka, bagaimanakah lagi semestinya keadaan kita. Ibrahim At-Taimi rahimahullah berkata, “Lantas siapakah yang bisa merasa aman dari bencana -syirik- setelah Ibrahim?”
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti sedang duduk di bawah gunung dan dia khawatir gunung itu akan runtuh menimpanya. Adapun orang fajir melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di atas hidungnya kemudian dia usir cukup dengan begini -lalu beliau menghalau dengan jari di depan hidungnya-.”
Orang-orang yang salih bukanlah orang yang tidak berbuat dosa sama sekali. Orang yang salih adalah yang menunaikan hak Allah dan hak sesama dengan sebaik-baiknya, dan apabila mereka melakukan suatu perbuatan keji atau menzalimi dirinya sendiri -dengan maksiat- maka mereka segera mengingat Allah dan memohon ampunan atas dosa-dosanya. Sebagian salaf berkata, “Tidak ada dosa kecil jika dilakukan secara terus-menerus -tanpa taubat- dan tidak ada dosa besar jika selalu disertai dengan istighfar/taubat yang hakiki.”
Oleh sebab itu pula, diantara ciri kebahagiaan insan yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam mukadimah risalah Al-Qawa’id Al-Arba’ adalah, “Dan apabila berbuat dosa maka ia beristighfar.” Sebagaimana hal itu juga telah disebutkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam mukadimah kitabnya Al-Wabil Ash-Shayyib.
Karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan teladan kepada kita untuk banyak-banyak beristighfar dan bertaubat kepada Allah setiap harinya. Karena betapa besar kebutuhan kita kepadanya. Oleh sebab itu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada sahabat terbaiknya Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu dengan doa istighfar yang dibaca di dalam sholat. ‘Allahumma inni zholamtu nafsi zhulman katsiiraa, wa laa yaghfirudz dzunuuba illa anta, faghfir lii maghfiratan min ‘indik warhamnii. Innaka antal ghafuurur rahiim.‘ artinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri dengan banyak kezaliman, dan tiada yang mengampuni dosa selain Engkau, maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu, dan sayangilah aku. Sesungguhnya Engkau lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitab Ad-Da’awaat)
Berjalan menuju keridhaan Allah dan surga-Nya hanya akan lurus apabila dilandasi dengan kesadaran penuh akan kesalahan dan aib-aib diri dan amalan kita. Karena dengan menyadari letak kekeliruan akan mendorong dirinya untuk bertaubat dan memperbaiki kesalahan. Adapun memandang baik amal buruk adalah sebab kebinasaan. Hal-hal yang membuat kesalahan dipertahankan dan eksis akan jauh lebih disukai setan, sebagaimana hal-hal yang membuat kesalahan itu dihapus dan dilebur lebih dicintai Allah dan diperintahkan.
Oleh sebab itu sebagian salaf berkata, “Bid’ah lebih dicintai Iblis daripada maksiat karena maksiat masih bisa diharapkan taubat darinya sementara bid’ah sulit diharapkan taubat darinya.”
Bagaimana mungkin seorang pelaku bid’ah diharapkan kembali ke jalan Allah sedangkan dirinya telah merasa bahwa apa yang dia lakukan dan dia tempuh itulah jalan Allah?! Ia hanya akan bisa kembali ke jalan Allah tatkala dia telah menyadari bahwa dirinya telah melenceng dari jalan Allah, dan itu tidak bisa apabila dirinya tetap memandang baik kesalahannya. Sebagian salaf berkata, “Semua bid’ah itu sesat, walaupun orang-orang memandangnya sebagai kebaikan.”
Banyak orang merasa dan mengaku dirinya berada di atas jalan Allah, akan tetapi pada hakikatnya dia sedang berdiri dan berjalan di atas jalan Iblis dan hawa nafsu. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dalam kehidupan dunia sementara mereka mengira bahwa dirinya telah melakukan yang sebaik-baiknya.” (Al-Kahfi : 103-104)
Bukankah kaum Khawarij -yang membunuhi kaum beriman dan membiarkan bebas para pemuja berhala- adalah orang-orang yang merasa dirinya tegak di atas kebenaran? Mereka merasa menegakkan hukum Allah dan menumpas kezaliman di muka bumi ini; padahal sejatinya mereka lah sang pembuat onar dan perusak-perusak agama. Seperti yang dikatakan oleh penyair, “Semua mengaku punya hubungan dengan Laila, tetapi Laila tidak merestui pengakuan mereka.”
Serupa dengan hal itu, keadaan orang-orang yang mengaku bahwa dirinya meniti jalan salafus shalih di masa kita sekarang ini. Pengakuan semata tanpa bukti adalah omong kosong belaka. Bukanlah yang menjadi sumber masalah adalah perkara penyandaran/intisab -sebagaimana nasehat Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah– akan tetapi yang menjadi intinya adalah pembuktian; yaitu bagaimana seorang muslim benar-benar meniti jalan yang haq ini dengan ilmu dan amal, dan dakwah serta bersabar di atasnya. Bukan semata-mata pengakuan dan pemanis muka.
Allah telah menegaskan keadaan orang-orang yang diridhai oleh-Nya setelah para Sahabat, “Dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan/kebaikan.” (At-Taubah : 100). Allah tidak mengatakan ‘mengaku mengikuti mereka dengan baik’, tetapi Allah mengatakan ‘mengikuti mereka dengan baik’; tentu tidak sama antara sekedar pengakuan dengan bukti dan kenyataan. Sementara mengikuti para Sahabat dengan baik tidak mungkin kecuali dengan menimba ilmu mereka, mengamalkannya dan bersabar serta mendakwahkannya.