Bismillah.
Kerendahan hati para ulama adalah suatu hal yang sangat istimewa. Hal itu mencerminkan ilmu mereka yang dalam dan akhlak mereka yang sangat mulia.
Suatu ketika Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah ditanya, “Bagaimana cara untuk bisa mencapai ilmu seperti Syaikh Bin Baz dan seperti anda?” maka beliau menjawab, “Adapun Syaikh Bin Baz -semoga Allah merahmatinya dan mengampuninya- beliau adalah seorang ahli ilmu, sedangkan kami ini adalah orang-orang miskin (tidak berilmu); sama seperti kalian (masih belajar). Hanya saja wajib bagi kita untuk terus menimba ilmu…”
‘Amma nahnu, masaakiin’ artinya, “Adapun kami, kami ini adalah orang-orang miskin (tidak berilmu).” Demikian tegas Syaikh al-Fauzan hafizhahullah. Hal ini pun mengingatkan kita terhadap kerendahan hati Syaikh Bin Baz rahimahullah ketika ditanya suatu perkara dan beliau mengatakan kepada salah seorang muridnya -Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak-, “Wahai Syaikh Abdurrahman, maa ‘indanaa ‘ilmun; tidak ada pada kami ilmu.”
Para ulama tidak malu untuk mengatakan ‘laa adri’ (saya tidak tahu). Ada diantara mereka yang ditanya sekian banyak pertanyaan dan hanya dijawab beberapa saja. Selebihnya mereka mengatakan ‘saya tidak tahu’. Mereka juga mengatakan ‘silahkan tanyakan masalah ini kepada ulama besar’. Hal ini sangat penting untuk kita perhatikan, jangan sampai kita menempatkan diri seolah kita adalah orang yang ahli dalam suatu perkara yang bukan bidang kita. Karena berbicara agama tanpa ilmu termasuk dosa besar dan perkara yang diharamkan dalam syari’at Islam.
Kami pun teringat nasihat seorang ustaz -semoga Allah menjaga beliau dan memberkahi umurnya- kepada seorang pemuda, ‘rahimallahu imra’an ya’rifu qadra nafsihi’ yang artinya, “Semoga Allah merahmati seorang yang mengetahui kadar dirinya sendiri.” Sebuah kalimat yang singkat dan sarat akan makna. Kalimat yang mengingatkan diri kita agar selalu mengerti hakikat dan kedudukan kita; kita ini siapa; kita ini masih pemula, kita tidak punya apa-apa. Orang seperti kita harusnya lebih banyak belajar dan belajar serta mengoreksi segala kesalahan dan kekeliruan.
Ya, seringkali faktor yang menjerumuskan kita ke dalam jurang penyimpangan itu adalah semangat-semangat tak terkendali dan tidak dilandasi ilmu dan pertimbangan yang matang. Seperti yang diungkapkan oleh para ulama terdahulu, “Barangsiapa yang beramal tanpa ilmu niscaya apa-apa yang dia rusak jauh lebih banyak daripada apa-apa yang dia perbaiki.”
Kita harus selalu bercermin dan melihat jati diri kita sendiri. Betapa banyak hal yang tidak kita ketahui dan tidak kita kuasai. Betapa banyak kekurangan dan aib-aib kita di hadapan Allah. Walaupun orang banyak memuji kita setinggi langit, tapi Allah maha tahu seberapa kadar iman dan ketakwaan kita. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah kepada seorang muridnya, “Wahai Abu Bakr, apabila seorang telah mengenal hakikat dirinya niscaya tidak akan bermanfaat/berpengaruh baginya ucapan/pujian orang-orang itu…”
Sebagian ulama bahkan berkata, “Seandainya dosa-dosa itu menimbukan bau busuk, niscaya tidak ada seorang pun yang mau duduk/berteman denganku.” Beberapa waktu lalu -dengan taufik dari Allah- kami bertemu seorang dai sepuh -semoga Allah menjaganya-. Ketika ditanya mengenai berapa banyak masjid yang dibangun olehnya di daerah sekitar situ, beliau menjawab dengan rendah hati yang kurang lebih maknanya, “Yang membangun itu masyarakat, bukan saya…”
—