Mungkin Kita Sendiri Penjahat Itu

Bismillah.

Sebagian ulama salaf berkata, “Apabila seorang telah mengenali kadar dirinya sendiri niscaya dirinya itu dalam pandangannya sendiri bisa jadi lebih rendah daripada anjing.”

Sebagian mereka ada yang mengatakan, “Orang yang paling berakal adalah orang yang mengetahui hakikat dirinya sendiri dan tidak terpedaya oleh sanjungan orang lain yang tidak mengerti seluk-beluk tentang jati dirinya.”

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pun pernah berkata kepada salah seorang muridnya, “Apabila seorang telah mengenal hakikat dirinya sendiri maka tidaklah bermanfaat/berpengaruh baginya ucapan (sanjungan/celaan) orang lain.”

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan di dalam kitabnya al-Fawa’id, bahwa orang yang paling arif itu adalah yang menjadikan keluhannya tertuju kepada Allah dari kekurangan/kesalahan yang ada pada dirinya, bukan dengan senantiasa mengambinghitamkan orang lain.

Sebagaimana diterangkan oleh para ulama bahwa taubat hanya akan bisa dilakukan oleh seorang hamba apabila dia telah menyadari dan mengakui akan dosa-dosanya. Padahal dosa adalah sesuatu yang melekat pada diri dan hawa nafsu anak manusia. Hari demi hari kotoran dosa kerapkali menghampiri dan menodai hatinya. Itulah tabiat nafsu yang menyeret kepada hal-hal yang buruk dan jahat. Sehingga wajar apabila jalan ke surga diliputi hal-hal yang kurang disukai oleh hawa nafsu manusia. Di situlah letak perjuangan dan kejujuran penghambaan itu diuji.

Di sisi lain hawa nafsu memiliki tabiat untuk menonjolkan diri dan mengesampingkan keunggulan orang lain. Oleh sebab itulah karakter keimanan menuntut seorang muslim untuk mengubur sifat hasad dan sombong dari perilaku dan tingkah-lakunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita untuk mengikis dua sifat yang tercela ini; yaitu hasad dan sombong. Apabila ditelusuri kedua sifat ini muncul dari lemahnya perendahan diri kepada Allah. Kecilnya pemahaman di dalam dirinya tentang besarnya bantuan dan peran Allah bagi kebaikan dan kesuksesan yang bisa ia dapatkan. Ia menutup mata dari curahan nikmat dan taufik Allah seraya membusungkan dada dengan secuil kelebihan yang Allah berikan kepadanya.

Padahal jika kita ingin sedikit menoleh kepada sejarah perjalanan kaum salaf, niscaya akan kita jumpai profil yang luar biasa besar jasanya kepada agama tetapi di saat yang sama mereka mengubur dalam-dalam sifat hasad dan sombong itu. Mereka telah menyadari betapa miskin dan fakirnya mereka di hadapan Rabbnya. Mereka tidak sanggup untuk mengatakan ‘inilah karyaku’, ‘inilah hasil perjuanganku’, atau ‘inilah bukti kecerdasan dan kemampuanku’. Mereka hanya akan memuji Allah dan menyanjung-Nya atas semua nikmat dan anugerah itu. Bahkan mereka terus diliputi dengan kekhawatiran apabila amalnya tidak diterima oleh Allah. Mereka pun khawatir bagaimana nasibnya kelak di akhirat ketika berjumpa dengan-Nya. Sehingga taubat dan istighfar itulah yang mewarnai lidah dan gerak-gerik hatinya di sepanjang waktu.

14718686_1803714443177090_1758038350701659065_n

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *