Bismillah.
Firman Allah (yang artinya), “Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36). Setiap rasul yang diutus oleh Allah sejak rasul yang pertama hingga yang terakhir semuanya mendakwahkan tauhid. Semuanya mengajak kepada kalimat tauhid.
Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (al-Anbiya’ : 25)
Ibadah kepada Allah tidak bisa terwujud kecuali dengan mengingkari thaghut yaitu sesembahan selain Allah. Imam Malik rahimahullah menjelaskan bahwa thaghut adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah. Gembong utama dari thaghut itu adalah setan atau Iblis; karena dia lah yang mengajak dan menyeru manusia untuk beribadah kepada selain Allah. Sebagaimana ucapan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam ketika mendakwahi ayahnya. Beliau berkata (yang artinya), “Wahai ayahanda, janganlah engkau beribadah kepada setan…” (Maryam : 44)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan, “Karena sesungguhnya orang yang beribadah kepada selain Allah sesungguhnya dia telah beribadah kepada setan…” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 494)
Allah berfirman dalam surat Yasin (yang artinya), “Bukankah Aku telah berpesan kepada kalian wahai anak Adam; Janganlah kalian beribadah kepada setan.” (Yasin : 60). Sa’id bin Jubair rahimahullah mengatakan, “Ibadah itu adalah ketaatan. Yang demikian itu karena barangsiapa yang menaati apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan mematuhi apa-apa yang dilarang Allah maka sesungguhnya dia telah menyempurnakan ibadah kepada Allah. Dan barangsiapa yang menaati setan dalam hal agama dan amalnya maka sesungguhnya dia telah beribadah kepada setan.” (lihat al-Jami’ fi ‘Aqa’id wa Rasa’il Ahlis Sunnah wal Atsar, hlm. 33)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Semua bentuk syirik pada hakikatnya adalah peribadatan kepada thaghut. Maka hal itu menunjukkan bahwa semua rasul ‘alaihimus salam datang dengan membawa perintah untuk beribadah kepada Allah ta’ala dan melarang perbuatan syirik. Inilah makna laa ilaha illallah. Karena ia menggabungkan antara penolakan/nafi dengan penetapan/itsbat. Menolak syirik dan menetapkan tauhid.” (lihat at-Ta’liq al-Mukhtashar al-Mubin ‘ala Qurrati ‘Uyun al-Muwahhidin, hlm. 17)
Karena itulah orang-orang musyrikin Quraisy menolak dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak ingin sesembahan itu hanya satu. Yang mereka inginkan sesembahan itu banyak. Sehingga mereka menganggap ajakan tauhid adalah perkara yang mengherankan.
Allah berfirman menceritakan perkataan mereka (yang artinya), “Apakah dia itu menjadikan sesembahan-sesembahan ini menjadi satu sesembahan saja, sesungguhnya ini adalah perkara yang benar-benar mengherankan.” (Shad : 5). Sebagaimana kaum Tsamud berkata kepada Nabi Shalih ‘alaihis salam (yang artinya), “Apakah engkau hendak melarang kami menyembah apa-apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami.” (Hud : 62)
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa dakwah para rasul ialah mengajak kepada tauhid dan meninggalkan syirik. Setiap rasul berkata kepada kaumnya (yang artinya), “Wahai kaumku, sembahlah Allah (semata), tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (Huud : 50). Inilah kalimat yang diucapkan oleh Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, Ibrahim, Musa, ‘Isa, Muhammad, dan segenap rasul ‘alaihimush sholatu was salam (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 19)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka wajib atas orang-orang yang mengajak/berdakwah kepada Islam untuk memulai dengan tauhid, sebagaimana hal itu menjadi permulaan dakwah para rasul ‘alaihmus sholatu was salam. Semua rasul dari yang pertama hingga yang terakhir memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Karena tauhid adalah asas/pondasi yang di atasnya ditegakkan agama ini. Apabila tauhid itu terwujud maka bangunan [agama] akan bisa tegak berdiri di atasnya…” (lihat at-Tauhid Ya ‘Ibaadallah, hal. 9)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia’nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/17])
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah memaparkan, “Pada masa kita sekarang ini, apabila seorang muslim mengajak saudaranya kepada akhlak, kejujuran dan amanah niscaya dia tidak akan menjumpai orang yang memprotesnya. Namun, apabila dia bangkit mengajak kepada tauhid yang didakwahkan oleh para rasul yaitu untuk berdoa kepada Allah semata dan tidak boleh meminta kepada selain-Nya apakah itu para nabi maupun para wali yang notabene adalah hamba-hamba Allah [bukan sesembahan, pent] maka orang-orang pun bangkit menentangnya dan menuduh dirinya dengan berbagai tuduhan dusta. Mereka pun menjulukinya dengan sebutan ‘Wahabi’! agar orang-orang berpaling dari dakwahnya. Apabila mereka mendatangkan kepada kaum itu ayat yang mengandung [ajaran] tauhid muncullah komentar, ‘Ini adalah ayat Wahabi’!! Kemudian apabila mereka membawakan hadits, ‘..Apabila kamu minta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah.’ sebagian orang itu pun mengatakan, ‘Ini adalah haditsnya Wahabi’!…” (lihat Da’watu asy-Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab, hal. 12-13)