Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Anda mungkin pernah membaca sebuah buku tulisan Syaikh Abdul Malik Ramadhani yang berjudul Sittu Duror min Ushul Ahli Atsar; enam mutiara pokok ahlus sunnah. Di dalam buku tersebut disebutkan bahwa salah satu pokok dalam beragama ini adalah meraih kemuliaan dengan ilmu.
Anda juga mungkin pernah membaca sebuah bab di dalam Sahih Bukhari yang diberi judul oleh beliau Bab Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan. Anda juga mungkin pernah mendengar sebuah ucapan emas sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, “Kami adalah suatu kaum yang Allah muliakan dengan Islam, maka kapan saja kami mencari kemuliaan dari selainnya kami pasti akan hina atau dihinakan.”
Anda juga mungkin pernah mendengar nasihat Imam al-Auza’i rahimahullah, “Hendaklah kamu mengikuti jalan kaum salaf meskipun orang-orang menolakmu, dan jauhilah olehmu pemikiran-pemikiran manusia, meskipun mereka menghias-hiasinya dengan perkataan yang indah.”
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, ungkapan-ungkapan di atas amat jelas menunjukkan kepada kita bagaimanakah sebenarnya rumus dan kiat yang dipegang oleh pendahulu kita yang salih dalam meniti kemuliaan. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa menundukkan akal dan perasaannya kepada wahyu. Mereka selalu berusaha mengembalikan segala masalah kepada al-Kitab dan as-Sunnah. Dan mereka juga tidak mudah tergoda dan terpedaya oleh ucapan manis manusia.
Setiap pejuang Islam di berbagai belahan bumi ini tentu memendam kerinduan untuk kembalinya panji kemenangan dan kejayaan kepada umat terbaik ini. Akan tetapi sekedar kerinduan dan nostalgia tidaklah bisa memulihkan kondisi umat dari keterpurukan. Jumlah umat Islam yang besar ternyata tidak berkutik dan tidak berwibawa di hadapan musuh-musuh mereka. Lihatlah Palestina, Irak, Suriah, dan negeri-negeri lainnya.
Kehinaan ini harus diobati dengan pemurnian dan pembinaan; tashfiyah dan tarbiyah, sebagaimana yang dahulu selalu diserukan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dan para ulama lainnya. Mengembalikan kaum muslimin kepada orisinalitas ajaran dan pemahaman agama mereka; sebagaimana yang dipahami oleh generasi terbaik umat ini. Dan inilah yang dimaksud dalam firman Allah ‘walladziinat taba’uuhum bi ihsaan’; dan orang-orang yang mengikuti mereka -Muhajirin dan Anshar- dengan kebaikan…
Luka yang dialami oleh umat ini tidak sedikit. Dan luka yang paling parah adalah berbagai penyimpangan akidah dan kerusakan tauhid. Oleh sebab itulah para ulama kita semacam Syaikh Shalih al-Fauzan dan juga yang lainnya senantiasa mewasiatkan kepada para da’i untuk memprioritaskan perbaikan tauhid dan pemurnian akidah. Tanpa akidah dan tauhid yang lurus maka persatuan umat tidak bisa terwujud. Dan tanpa persatuan maka umat Islam akan centang perenang, tak berdaya di hadapan musuh-musuhnya.
Inilah perkara yang banyak dilalaikan. Sekian banyak persoalan diangkat dan disebarluaskan dengan tujuan mengaburkan pandangan para da’i dan pejuang Islam dari menemukan rahasia kemenangan dan kunci kejayaan ini. Sehingga mereka sibuk dengan masalah ini dan itu, dengan perselisihan, permusuhan, fitnah, dsb. Jadilah umat Islam seperti buih banjir. Banyak namun tidak berkekuatan.
Saudaraku semoga Allah merahmatimu, makar-makar setan dan bala tentaranya tidak henti-henti menyesatkan manusia. Oleh sebab itu Allah pun memerintahkan kita agar tidak mengikuti langkah-langkah setan. Karena sesungguhnya setan hanyalah mengajak kelompok dan pengikutnya menuju azab neraka yang menyala-nyala.
Allah perintahkan kita untuk berpegang teguh dengan Kitab-Nya, menaati rasul-Nya, dan memperingatkan kita agar tidak melenceng dari ajaran dan bimbingan beliau. Allah bahkan menjanjikan kepada kita jika kita tulus dan serius membela agama-Nya maka Allah pasti akan menolong kita dan mengokohkan pijakan kaki-kaki kita. Allah pun akan berikan kekuasaan dan kepemimpinan dunia kepada hamba-hamba-Nya yang salih, yang beriman dan beramal salih serta bersih dari segala bentuk kemusyrikan.
Bukankah Syaikh al-Albani rahimahullah sendiri mengatakan -seraya menukil ucapan sebagian pembesar gerakan Islam-, “Tegakkanlah daulah Islam di dalam hati kalian, nicaya ia akan tegak di bumi/negeri kalian.” Menegakkan daulah Islam di dalam hati tidak mungkin tanpa membenahi akidah dan meluruskan tauhid. Sebab tauhid inilah asas perbaikan dan pondasi kejayaan Islam.
Cobalah anda cermati upaya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam menebarkan dakwah tauhid ini di tengah masyarakatnya. Berbagai risalah tentang tauhid beliau tulis dan beliau dakwahkan. Bacalah tsalatsatul ushul, qawa’id arba’, kitab tauhid, kasyfu syubuhat, nawaqidhul islam, masa’il jahiliyah, dsb… niscaya anda akan dapati betapa beliau sangat serius dan tulus dalam mendakwahkan akidah sahihah…
Kemudian, sekarang marilah kita lihat pada diri sebagian dari kita yang notabene mengaku mengikuti jejak dakwah beliau. Apakah perjuangan kita telah meniru keteladanan yang beliau berikan? Ataukah justru sebaliknya; kita disibukkan dengan perselisihan, fitnah, celaan, fanatisme dan permusuhan?
Bukankah Syaikh al-Albani rahimahullah juga sudah mewanti-wanti kepada para da’i, “Tauhid awwalan yaa du’aatal Islam…” hendaklah tauhid yang harus kita prioritaskan wahai para da’i Islam. Bahkan, Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah pun menegaskan bahwa kalau para da’i itu memang benar dalam berdakwah tauhid niscaya mereka bersatu dan tidak berpecah-belah.
Di sinilah kiranya kita perlu mengingat kembali pesan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam masa’il Kitab Tauhid beliau, bahwa terkadang orang yang berdakwah itu bukan mengajak orang kepada tauhidullah, namun sesungguhnya mengajak mereka kepada dirinya sendiri. Di sinilah ikhlas itu akan diuji. Benarkah kita tulus mengajak manusia kepada jalan Allah? Marilah kita ajukan pertanyaan ini kepada hati kita masing-masing dan segeralah anda temukan jawabannya…
Sebagian salaf bahkan pernah berkata, “Tidaklah aku berjuang menundukkan diriku dengan perjuangan yang lebih berat daripada untuk bisa ikhlas.” Sebagian mereka juga mengatakan, “Sesuatu yang paling mahal/sulit di dunia ini adalah ikhlas. Karena tidak ada jatah sama sekali bagi nafsu padanya.”