Mengobati Sifat Rakus

Bismillah.

Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Riyadhush Shalihin membawakan hadits-hadits yang berisi perintah dan nasihat untuk bertaubat. Yaitu di dalam bab taubat.

Salah satu haditsnya adalah hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas, niscaya dia ingin mendapatkan dua lembah emas. Dan tidak akan memenuhi mulutnya selain tanah. Dan Allah akan menerima taubat bagi siapa yang mau bertaubat.” (Muttafaq ‘alaih)

Imam Bukhari rahimahullah dalam kitabnya Shahih Bukhari menyebutkan hadits tersebut di dalam Kitab ar-Riqaq (pelembut hati) di bawah bab berjudul ‘Hal yang perlu diwaspadai sebagai akibat dari fitnah harta..’. Hadits ini mengandung pelajaran bahwa seorang tidak akan habis rasa tamaknya kecuali apabila sudah meninggal. Oleh sebab itu disebutkan di dalamnya ‘dan tidak akan memenuhi mulutnya kecuali tanah’. Hadits ini juga mengandung hikmah bahwa Allah akan menerima taubat bagi orang yang rakus sebagaimana Allah juga menerima taubat bagi pelaku dosa yang lainnya. Dan tidak ada manusia yang bisa terlepas dari sifat rakus mengumpulkan harta ini kecuali orang yang Allah jaga dan Allah beri taufik (lihat Fath al-Bari, 11/308 cet. Dar as-Salam)

Inilah salah satu sifat tercela yang telah diperingatkan oleh Allah dalam al-Qur’an (yang artinya), “Sungguh telah melalaikan kalian berbanyak-banyak -dalam hal dunia- sampai kalian mengunjungi/masuk ke dalam kubur.” (at-Takatsur : 1-2)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud ayat tersebut; Allah menegur hamba-hamba-Nya yang disibukkan oleh kecintaan terhadap dunia dan kenikmatan serta perhiasannya sehingga lalai dari mencari akhirat. Dan hal itu berlarut-larut hingga kematian datang kepada kalian sehingga kalian pun menjadi penghuni kubur (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 8/472) 

Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah menerangkan dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa hendaknya seorang muslim menjadikan harta sebagai sarana bukan sebagai tujuan utama. Yaitu sarana untuk melakukan ketaatan kepada Allah, jangan sampai harta itu melalaikannya dari ketaatan kepada Allah. Oleh sebab itu seorang muslim bersikap hati-hati/wara’ dalam mencari harta dan menunaikan kewajiban atas hartanya (lihat Minhatul Malik al-Jalil, 11/377)

Dengan demikian sesungguhnya kita bisa memahami bahwa hakikat orang yang berkecukupan bukanlah orang yang banyak harta bendanya. Akan tetapi orang yang kaya adalah yang merasa qana’ah dan hatinya merasa cukup dengan pemberian Allah kepadanya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta-benda. Akan tetapi kekayaan itu adalah rasa cukup di dalam hati.” (HR. Bukhari). Orang yang qana’ah akan merasa tenang walaupun hartanya sedikit. Pikirannya akan tentram. Dia bersyukur kepada Allah dan memuji atas nikmat-Nya. Dia merasa ridha/puas dengan apa yang telah Allah bagikan untuknya (lihat Minhatul Malik, 11/392)

Oleh sebab itu pula Allah menyifati orang bertakwa sebagai orang yang gemar berinfak. Allah berfirman di awal-awal surat al-Baqarah (yang artinya), “Dan dari sebagian rezeki yang Kami berikan mereka itu pun berinfak.” (al-Baqarah : 3)

Dalam surat Ali ‘Imran ketika menjelaskan sifat-sifat kaum yang bertakwa, Allah menyebutkan pula bahwa mereka itu ‘berinfak dalam kondisi senang maupun dalam kondisi susah’. Allah berfirman (yang artinya), “Dan bersegeralah kalian menuju ampunan Rabb kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang telah disiapkan untuk orang-orang bertakwa; yaitu orang-orang yang berinfak dalam keadaan senang/lapang maupun dalam keadaan susah/sempit…” (Ali ‘Imran : 133- 134)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menafsirkan maksud dari ‘infak dalam keadaan senang dan susah’ yaitu apabila mereka sedang berkelapangan mereka pun banyak berinfak, dan apabila ketika sedang kekurangan maka mereka tidak meremehkan hal yang ma’ruf/kebaikan atau sedekah walaupun itu hanya sedikit (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 148)

Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut sedekah sebagai bukti yang sangat gamblang/burhan. Dalam hadits Arb’ain Nawawiyah disebutkan oleh Imam Nawawi rahimahullah hadits dari Abu Malik al-Asy’ari radhiyallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…dan sedekah itu merupakan burhan/bukti yang sangat gamblang…” (HR. Muslim)

Dari hadits ini bisa diambil pelajaran bahwa bersedekah dengan harta yang disukai dan bagus -bukan yang jelek- dengan dilandasi keimanan dan mengharap pahala serta kelapangan hati merupakan bukti yang sangat gamblang atas kebenaran iman seorang hamba (lihat al-Fawa’id al-Mustanbathah min al-Arba’in an-Nawawiyah karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak, hlm. 50)

Dari sini kita bisa menarik benang merah bahwa keimanan itu akan mendorong pemiliknya untuk menyisihkan sebagian rezeki yang Allah berikan kepadanya dalam kebaikan; baik yang wajib ataupun yang sunnah. Sehingga dikatakan bahwa sedekah menjadi bukti yang gamblang bagi keimanan seorang hamba. Oleh sebab itu orang beriman disifati dengan perilaku suka berinfak, sementara orang kafir disifati sebagai orang yang pelit/bakhil.

Oleh sebab itu Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan tentang maksud ayat (yang artinya), “Dan tanah yang baik tanam-tanamannya tumbuh subur dengan izin Rabbnya, dan tanah yang buruk tanam-tanamannya tumbuh merana/tidak menumbuhkan kecuali sedikit.” (al-A’raf : 58). Ibnu Taimiyah berkata, “Ini adalah perumpamaan orang yang bakhil dengan orang yang suka berinfak.” (lihat Fashlun fi Tazkiyatin Nafs, hlm. 21) 

Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya juga memberikan tambahan faidah bahwasanya ayat ini merupakan perumpamaan tentang keadaan hati yang baik dengan hati yang buruk. Hati yang baik akan menerima wahyu dan mempelajari serta menumbuhkan kebaikan sesuai dengan kadar kebaikan hatinya. Adapun hati yang buruk tidak mau menerima wahyu, hati itu lalai dan berpaling darinya atau bahkan menentangnya; sehingga wahyu itu tidak memberikan pengaruh apa-apa bagi mereka, nas’alullahat taufiq (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 292)

Mengapa keimanan bisa mendorong seorang hamba untuk bersedekah? Tidak lain karena orang itu menyadari bahwa harta adalah pemberian dari Allah. Allah mencabut keberkahan dari riba dan mengembangkan kebaikan dan pahala dengan sedekah. Dia lebih meyakini apa-apa yang di tangan Allah daripada apa-apa yang ada di tangannya. Allah mampu berikan rezeki kepada siapa pun dari arah yang tidak disangka-sangka, selama hamba itu bertakwa. Allah pula yang menyempitkan rezeki kepada sebagian hamba-Nya; sebagai bentuk ujian atau hukuman atas dosanya. Apabila itu ujian maka Allah ingin melihat sejauh mana kesabarannya dalam menghadapi cobaan; karena Allah ingin meninggikan derajatnya dengan perantara ujian dan cobaan itu. Wallahul musta’aan.

Apabila demikian keadaannya maka tidak ada obat yang lebih manjur untuk bisa mengobati sifat rakus terhadap harta dan jabatan atau kesenangan dunia melainkan dengan keimanan yang tertanam di dalam hati serta sifat qana’ah terhadap pemberian Allah; berusaha untuk bersedekah dengan apa yang dimiliki walaupun sedikit dan tidak memelihara sifat bakhil di dalam dirinya. Karena sesungguhnya segala bentuk infak yang diberikan itu pasti Allah ketahui dan Allah akan balas dengan berlipat ganda apabila dilakukan dengan ikhlas karena-Nya. Akar pengobatan ini adalah pengobatan dari dalam hati; dengan menerima wahyu dan petunjuk Allah serta tunduk kepada ajaran dan hukum-hukum-Nya; inilah jalan yang akan mengikis sifat rakus dan perangai buruk manusia. Tidak ada yang selamat dari keburukan kecuali mereka yang dijaga oleh Allah….

Semoga catatan ringkas ini bermanfaat bagi kami dan segenap pembaca. Walhamdulillahi wahdah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *