Bismillah.
Kehidupan di alam dunia penuh dengan cobaan. Ada kalanya seorang merasakan kesenangan dan ada kalanya dia harus merasakan kesusahan. Ada kalanya hartanya cukup dan berlimpah, tetapi ada kalanya ia tertimpa kekurangan dan kemiskinan.
Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2)
Allah berfirman (yang artinya), “Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan; ‘Kami telah beriman’ sementara mereka tidak diberikan ujian. Dan sungguh Kami telah memberikan ujian kepada orang-orang sebelum mereka, supaya Allah benar-benar mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dan siapakah orang-orang yang dusta.” (al-’Ankabut : 2-4)
Cobaan dan ujian datang silih berganti. Nikmat yang terlimpah pun pada hakikatnya adalah ujian untuk melihat siapakah hamba yang pandai bersyukur dan siapa yang cenderung mengikuti arus kaum mayoritas yang tidak pandai bersyukur.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua buah nikmat yang kebanyakan manusia terpedaya dan merugi dalam keduanya; yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin; semua urusannya bisa menjadi kebaikan untuknya. Apabila dia mendapatkan kesenangan maka dia bersyukur maka hal itu adalah baik baginya, dan apabila dia mendapatkan kesusahan dia pun bersabar maka hal itu adalah baik baginya.” (HR. Muslim)
Imam Ibnu Abid Dun-ya rahimahullah meriwayatkan dalam kitabnya asy-Syukr dari Abu Hazim rahimahullah beliau mengatakan :
كُلُّ نِعْمَةٍ لَا تُقَرِّبُ مِنَ اللَّهِ فَهِيَ بَلِيَّةٌ
“Setiap nikmat yang tidak semakin membuat bertambah dekat kepada Allah maka itu sebenarnya adalah malapetaka/bencana.”
Banyak orang tidak berhasil melampaui cobaan berupa nikmat dan kelapangan. Sementara ketika Allah beri ujian berupa kesusahan dan kekurangan dia dapat menghadapinya dengan kesabaran. Sebagaimana kisah Qarun yang diuji oleh Allah dengan nikmat kekayaan dan kemewahan sehingga dia pun terjebak dalam sifat ujub dan kesombongan.
Allah berfirman menceritakan perkataan Qarun :
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِندِي
“Dia (Qarun) berkata; Sesungguhnya aku diberikan segala keutamaan ini karena ilmu yang aku miliki.” (al-Qashash : 78)
Pada masa sekarang ini kita dapat melihat bahwa nikmat yang Allah berikan begitu luas dan begitu besar dalam keadaan kita tidak pandai untuk mensyukurinya -dan kepada Allah semata kita mengadu dan memohon pertolongan- kita sering lalai dan lupa untuk mensyukuri nikmat itu. Ibarat tenggelam dalam lautan nikmat dan atmosfer karunia yang tak terhingga. Banyak orang lupa dari siapa nikmat itu datang dan bagaimana semestinya mereka menggunakan nikmat itu dalam kebaikan.
Padahal syukur terhadap nikmat adalah kunci untuk bertahannya nikmat dan bertambahnya nikmat. Para ulama mengatakan bahwa nikmat apabila disyukuri akan bertahan dan menetap, sementara apabila nikmat itu diingkari maka dia akan lenyap.
Sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama bahwa syukur terdiri dari tiga bagian; pertama mengakui bahwa nikmat yang kita peroleh bersumber dari Allah, kedua memuji Allah atas nikmat itu, dan yang ketiga adalah menggunakan nikmat Allah dalam kebaikan dan ketaatan. Maka tidaklah heran jika para ulama menyimpulkan hakikat dan wujud dari syukur adalah ketaatan kepada Allah Sang pemberi kenikmatan. Nabi Nuh ‘alaihis salam adalah salah satu teladan di dalam al-Qur’an yang Allah sifati dengan hamba yang pandai bersyukur.
Allah berfirman :
ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ ۚ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا
“Wahai keturunan dari orang-orang yang Kami selamatkan bersama Nuh; ingatlah bahwa dia/Nuh adalah seorang hamba yang pandai bersyukur.” (al-Israa’ : 3)
Karena pentingnya syukur inilah setiap hari dalam sholat Allah mewajibkan kita untuk memuji-Nya minimal 17 x dalam sehari semalam dalam sholat. Yaitu ketika kita membaca surat al-Fatihah di bagian awal yang mana kita memuji Allah ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’; segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Bukan hanya itu, setiap kali selesai sholat 5 waktu kita pun berdzikir mengucapkan subhanallah 33 x, alhamdulillah 33 x dan Allahu akbar 33 x yang di dalamnya terkandung ajaran untuk selalu bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya.
Sungguh betapa banyak orang yang ‘gagal’ menghadapi ujian berupa kenikmatan. Dan di sisi lain banyak orang yang lebih mudah bersabar ketika harus berhadapan dengan cobaan berupa musibah dan kekurangan baik dalam hal harta, makanan atau kesehatan.
Diantara sebab utama manusia lebih bisa bersabar dalam menghadapi musibah adalah karena musibah itu tidak bisa dia hindari. Mau tidak mau dia harus merasakannya. Maka dia lebih memilih untuk sabar karena hal itu lebih melapangkan hati dan pikirannya. Sebaliknya banyak orang tidak bisa bersyukur kepada Allah atas nikmat yang dia peroleh karena begitu mudahnya dia melupakan dari siapa sebenarnya nikmat itu datang. Sehingga dengan mudahnya dia mengatakan; ini adalah karena keahlian saya, ini karena kedudukan saya, ini karena kehebatan saya, ini karena kemampuan dan kecerdasan yang saya miliki, dsb.
Pelajaran tentang sabar dan keteguhan untuk menghadapi musibah adalah pelajaran penting yang harus diulang-ulang. Begitu pula pelajaran untuk sabar dalam menjalankan ketaatan dan sabar menjauhkan diri dari maksiat dan dosa. Dan tidak boleh kita lupakan juga pelajaran untuk bersyukur dan memuji Allah atas segala keadaan yang ditetapkan menimpa diri kita.
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang telah dinobatkan sebagai khalil/kekasih Allah dan teladan bagi ahli tauhid pun mendapatkan sanjungan dari Allah dengan kesabaran dan syukur yang melekat pada diri dan kepribadiannya. Beliau senantiasa taat kepada Allah, ikhlas menghamba kepada-Nya, dan menjadi orang yang senantiasa bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya.
Allah berfirman :
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
شَاكِرًا لِّأَنْعُمِهِ ۚ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang panutan yang selalu taat kepada Allah, seorang yang hanif/bertauhid dan bukan termasuk dalam kelompok kaum musyrik. Orang yang bersyukur terhadap nikmat-nikmat-Nya, Allah telah memilihnya dan memberikan petunjuk kepadanya untuk bisa berjalan di atas jalan yang lurus.” (an-Nahl : 120-121)
Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com