Bismillah.
Segala puji bagi Allah yang telah mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas semua agama. Amma ba’du.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, kita berjumpa kembali untuk bersama-sama memetik faidah dan pelajaran dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah. Pada bagian-bagian sebelumnya kita telah membahas seputar keutamaan dakwah tauhid dan pada kesempatan ini insya Allah kita akan melanjutkan pembahasan tentang bab yang baru, yaitu bab tafsir tauhid dan syahadat laa ilaha illallah.
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, kaitan antara bab ini dengan bab-bab sebelumnya adalah setelah pada bab-bab terdahulu penulis menjelaskan seputar tauhid dan keutamaannya serta rasa takut terhadap lawannya yaitu syirik, maka di dalam bab ini beliau ingin menjelaskan makna dan kandungan dari tauhid itu. Karena sebagian orang salah dalam memahami makna tauhid. Mereka menganggap bahwa makna tauhid itu adalah mengakui tauhid rububiyah saja. Padahal ini bukanlah maksud utama dari tauhid. Akan tetapi yang dimaksud dengan tauhid itu adalah sebagaimana keterangan yang ditunjukkan oleh dalil-dalilnya oleh penulis di dalam bab ini; yaitu bahwa maksud utama tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam beribadah dan membersihkan diri dari syirik. Beliau -Syaikh Muhammad at-Tamimi- juga menggandengkan antara syahadat dengan tauhid dalam rangka menunjukkan bahwa pada hakikatnya maksud dan makna dari kedua ungkapan itu adalah sama, alias tidak berbeda sama sekali (lihat al-Mulakhosh fi Syarh Kitab at-Tauhid, hlm. 61)
Syaikh Shalih al-Fauzan juga menerangkan, bahwa kaitan antara bab ini dengan bab sebelumnya yaitu bab dakwah kepada syahadat laa ilaha illallah atau dakwah tauhid adalah sangat jelas. Karena orang yang mengajak kepada sesuatu tertuntut untuk menjelaskan kepada manusia apa-apa yang dia serukan untuk mereka lakukan. Dia harus menjelaskan kepada mereka dengan penjelasan yang sempurna dan gamblang. Tidak cukup mengatakan kepada manusia; ucapkan laa ilaha illallah atau masuklah ke dalam islam. Akan tetapi seharusnya diterangkan pula kepada mereka apa makna laa ilaha illallah dan makna islam. Bersamaan dengan itu juga harus diterangkan apa-apa yang bertentangan dengan islam atau membatalkannya. Sehingga dakwahnya itu benar-benar akan membuahkan hasil. Sehingga orang-orang pun akan bisa memetik faidah dari dakwahnya. Adapun mengajak mereka untuk melakukan sesuatu yang masih bersifat global saja, maka hal itu tidak mencukupi (lihat I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid, 1/167)
*Nasihat Para Ulama*
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Kebanyakan diantara orang-orang yang menamakan diri sebagai pegiat dakwah di masa-masa sekarang ini baik secara berkelompok maupun individu, mayoritas diantara mereka itu tidak memahami makna laa ilaha illallah dengan sebenarnya. Mereka tidak mengenali hakikat Islam yang sebenarnya. Mereka juga tidak mengerti pembatal-pembatal islam dan hal-hal yang membatalkan dua kalimat syahadat. Mereka itu biasanya hanya menyeru kepada suatu perkara yang bersifat global. Terkadang ada sebagian dari mereka yang sudah memahami makna dan hakikatnya tetapi dia tidak suka untuk menjelaskan perkara-perkara ini kepada manusia. Karena dalam pandangannya orang-orang akan lari/tidak senang kepadanya. Padahal dia ingin untuk mempersatukan manusia. Mengumpulkan manusia di atas apa? Apakah dia ingin menyatukan manusia di atas kebodohan? Atau mempersatukan mereka di atas kesesatan? Oleh sebab itu anda harus jelaskan kepada manusia apa-apa yang anda serukan itu dan anda terangkan kepada mereka hal-hal yang anda dakwahkan…” (lihat I’anatul Mustafid, 1/167)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menasihatkan, “Apabila para da’i pada hari ini hendak menyatukan umat, menjalin persaudaraan dan kerjasama, sudah semestinya mereka melakukan ishlah/perbaikan dalam hal aqidah. Tanpa memperbaiki aqidah tidak mungkin bisa mempersatukan umat. Karena ia akan menggabungkan berbagai hal yang saling bertentangan. Meski bagaimana pun cara orang mengusahakannya; dengan diadakan berbagai mu’tamar/pertemuan atau seminar untuk menyatukan kalimat. Maka itu semuanya tidak akan membuahkan hasil kecuali dengan memperbaiki aqidah, yaitu aqidah tauhid…” (lihat Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah, hlm. 16)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Barangsiapa menghendaki keselamatan bagi dirinya, menginginkan amal-amalnya diterima dan ingin menjadi muslim yang sejati, maka wajib atasnya untuk memperhatikan perkara aqidah. Yaitu dengan cara mengenali aqidah yang benar dan hal-hal yang bertentangan dengannya dan membatalkannya. Sehingga dia akan bisa membangun amal-amalnya di atas aqidah itu. Dan hal itu tidak bisa terwujud kecuali dengan menimba ilmu dari ahli ilmu dan orang yang memiliki pemahaman serta mengambil ilmu itu dari para salaf/pendahulu umat ini.” (lihat al-Ajwibah al-Mufidah ‘ala As’ilatil Manahij al-Jadidah, hlm. 92)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya maka dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan dengan islam. Oleh sebab itulah pokok ajaran islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85). Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hlm. 30)
Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Maka perhatikanlah, syirik adalah perkara yang sangat berbahaya. Jangan kalian kira bahwa ini adalah perkara yang sepele. Sebagian orang ada yang mengatakan, ‘Kaum muslimin pada saat ini mengalami krisis dan tertekan dimana-mana, sedangkan kalian terus membicarakan masalah syirik’. Demi Allah, sumber keterpurukan yang menimpa mereka adalah syirik, bid’ah, khurafat, dan jauhnya mereka dari Allah. Penyebab krisis dan tekanan yang menimpa mereka adalah perbuatan melampaui batas dan menyepelekan yang terjadi diantara mereka…” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ oleh Syaikh as-Suhaimi, hlm. 7)
Syaikh Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “Barangsiapa mentadabburi Kitabullah dan membaca Kitabullah dengan penuh perenungan, niscaya dia akan mendapati bahwasanya seluruh isi al-Qur’an; dari al-Fatihah sampai an-Naas, semuanya berisi dakwah tauhid. Bisa jadi berupa seruan untuk bertauhid atau berupa peringatan dari syirik. Terkadang ia berupa penjelasan tentang keadaan orang-orang yang bertauhid dan orang-orang yang berbuat syirik. Hampir-hampir al-Qur’an tidak pernah keluar dari pembicaraan ini. Ada kalanya ia membahas tentang suatu ibadah yang Allah syari’atkan dan Allah terangkan hukum-hukumnya, maka ini merupakan rincian dari ajaran tauhid…” (lihat transkrip Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hlm. 22)
*Dakwah Tauhid Bukti Kecintaan*
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia mencintai bagi saudaranya apa yang dia cintai bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45)
Imam Ibnu Daqiq al-‘Ied rahimahullah berkata, “Sebagian ulama mengatakan: Di dalam hadits ini terdapat kandungan fikih/ilmu bahwasanya seorang mukmin dengan orang mukmin yang lain laksana satu jiwa, maka semestinya dia mencintai baginya apa yang dicintainya bagi dirinya karena pada dasarnya mereka berdua adalah satu jiwa yang sama. Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain, “Orang-orang yang beriman itu seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh mengeluh kesakitan, maka seluruh anggota tubuh yang lain ikut merasakan sakitnya dengan demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586).” (lihat ad-Durrah as-Salafiyah Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hlm. 119)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hanya saja orang-orang beriman itulah yang bersaudara.” (al-Hujurat: 10). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang beriman lelaki maupun perempuan, sebagian dari mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.” (at-Taubah: 31)
Syaikh Yahya al-Hajuri hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya tidak sempurna keimanan salah seorang kaum muslimin sampai dia mencintai kebaikan dunia dan akhirat bagi saudaranya sesama muslim sebagaimana halnya dia menyukai hal itu bagi dirinya. Dan kebaikan di sini lebih luas daripada sekedar kebaikan dunia dan akhirat. Sebab orang yang menyimpan perasaan hasad/dengki terhadap orang lain atas kenikmatan yang Allah berikan kepadanya maka itu artinya keimanan orang itu lemah berdasarkan dalil hadits ini, “Tidak beriman salah seorang diantara kalian.” Artinya tidak sempurna keimanannya.” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hlm. 103)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Yang lebih tepat ialah menafsirkan persaudaraan di dalam hadits ini dengan persaudaraan yang bersifat umum, sehingga ia mencakup saudara yang kafir maupun yang muslim. Maka dia mencintai bagi saudaranya yang kafir apa yang dicintainya bagi dirinya sendiri yaitu supaya dia masuk ke dalam Islam. Sebagaimana dia juga mencintai bagi saudaranya yang muslim untuk tetap istiqomah di atas Islam. Oleh sebab itu mendoakan hidayah bagi orang kafir adalah sesuatu yang dianjurkan. Penafian iman di dalam hadits ini maksudnya adalah penafian iman yang sempurna dari orang yang tidak mencintai bagi saudaranya apa yang dia cintai bagi dirinya.” (lihat ad-Durrah as-Salafiyah Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hlm. 118)
Syaikh Yahya al-Hajuri hafizhahullah berkata, “Ini artinya, menyampaikan kebaikan kepada umat manusia adalah termasuk keimanan. Janganlah ada yang mengira bahwasanya apa yang dilakukan oleh seseorang dengan mendakwahi orang menuju Allah atau mengajarkan ilmu -apabila dia jujur dengan amalnya untuk Allah- bahwasanya hal itu akan lenyap begitu saja sia-sia, bahkan meskipun tidak ada seorang pun yang menerima dakwahmu. Sebab kamu tetap akan mendapatkan pahala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apa pun yang kalian kerjakan berupa kebaikan maka Allah mengetahuinya.” (al-Baqarah: 197). Sebagian para nabi ‘alaihimus salam sebagaimana diceritakan di dalam Shahihain dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu; ada diantara mereka yang dakwahnya diterima oleh orang-orang, dan sebagian mereka tidak ada yang menerima dakwahnya kecuali satu orang saja, bahkan sebagian lagi tidak ada seorang pun yang menerima dakwahnya.” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hlm. 105 karya Syaikh Yahya)
*Makna Kalimat Tauhid*
Kalimat tauhid laa ilaha illallah mengandung makna menolak segala sesembahan selain Allah apa pun bentuknya serta menetapkan bahwa segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Barangsiapa menolak peribadatan kepada selain Allah tetapi tidak menujukan ibadah kepada Allah maka dia bukan termasuk ahli tauhid. Demikian pula barangsiapa yang beribadah kepada Allah tetapi tidak mengingkari peribadatan kepada selain Allah maka dia juga bukan ahli tauhid. Tidaklah disebut sebagai ahli tauhid kecuali dengan mengingkari peribadatan kepada selain Allah dan menujukan ibadah itu hanya untuk Allah (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam Syarh ad-Durus al-Muhimmah, hlm. 35-36)
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kaum kafir Quraisy, “Ucapkanlah laa ilaha illallah.” Maka mereka mengatakan (yang artinya), “Apakah dia -Muhammad- hendak menjadikan sesembahan-sesembahan ini menjadi satu sesembahan saja, sesungguhnya hal ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan.” (Shaad : 5) (HR. Ahmad). Berkaitan dengan hadits tersebut, Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Mereka memahami bahwasanya kalimat ini menuntut dihapuskannya peribadatan kepada segala berhala dan membatasi ibadah hanya untuk Allah saja, sedangkan mereka tidak menghendaki hal itu. Maka jelaslah dengan makna ini bahwa makna dan konsekuensi dari laa ilaha illallah adalah mengesakan Allah dalam beribadah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya.” (lihat Ma’na Laa Ilaha Illallah, hal. 31)
Berdasarkan hal itu, para ulama kita menafsirkan bahwa kalimat tauhid mengandung dua rukun; penolakan dan penetapan. Penolakan segala peribadatan kepada selain Allah, dan penetapan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah adalah yang haq sedangkan segala yang mereka seru/sembah selain-Nya adalah batil.” (al-Hajj : 62)
Oleh sebab itu wajib bagi seorang muslim untuk mengingkari penyembahan kepada selain Allah. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sungguh dia telah berpegang teguh dengan buhul tali yang sangat kuat dan tidak akan terputus.” (al-Baqarah : 256).
Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu menafsirkan ‘thaghut’ dengan ‘setan’. Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu menafsirkan ‘thaghut’ dengan ‘para dukun yang setan-setan turun kepada mereka’. Imam Malik rahimahullah menafsirkan ‘thaghut’ dengan ‘segala sesembahan selain Allah’ (lihat dalam Fat-hul Majid Syarh Kitab at-Tauhid, hlm. 32)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah inilah makna dari laa ilaha illallah. Bahwasanya dia kufur kepada thaghut maka ini merupakan maksud dari kalimat laa ilaha, sedangkan beriman kepada Allah ini adalah kandungan dari illallah…” (lihat Syarh Tafsir Kalimat Tauhid, hlm. 6). Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah juga menjelaskan, “Adapun orang yang mengucapkan laa ilaha illallah namun dia tidak mengingkari sesembahan selain Allah dan berdoa kepada para wali dan orang salih, maka yang demikian itu tidaklah bermanfaat baginya kalimat laa ilaha illallah…” (lihat Syarh Tafsir Kalimat Tauhid, hlm. 12)
Apabila kita mencermati keadaan umat manusia di dunia ini akan kita jumpai bahwasanya kebanyakan manusia telah berpaling dari beribadah kepada Allah menuju ibadah kepada thaghut. Mereka berpaling dari ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju ketaatan kepada thaghut dan tunduk mengikutinya (lihat Fat-hul Majid, hlm. 32)
Kaum musyrik masa silam telah memahami makna kalimat tauhid itu sehingga mereka pun menolaknya dengan keras. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu apabila dikatakan kepada mereka laa ilaaha illallah maka mereka pun menyombongkan diri. Mereka berkata: Akankah kami meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair gila.” (ash-Shaffat : 35-36). Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menyimpulkan, “Dengan demikian dapat diketahui kebatilan keyakinan para pemuja kubur di masa kini dan yang serupa dengan mereka yang mengatakan bahwa makna laa ilaha illallah adalah Allah itu ada, atau menafsirkan laa ilaha illallah dengan makna Allah sebagai satu-satunya pencipta yang berkuasa mengadakan dan mewujudkan dan lain sebagainya.” (lihat Ma’na Laa ilaha illallah wa Muqtadhaha, hlm. 31)
Kalimat laa ilaha illallah mengandung konsekuensi tidak mengangkat ilah/sesembahan selain Allah. Sementara ilah adalah Dzat yang ditaati dan tidak didurhakai, yang dilandasi dengan perasaan takut dan pengagungan kepada-Nya. Dzat yang menjadi tumpuan rasa cinta dan takut, tawakal, permohonan, dan doa. Dan ini semuanya tidak pantas dipersembahkan kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla. Barangsiapa mempersekutukan makhluk dengan Allah dalam masalah-masalah ini -yang merupakan kekhususan ilahiyah- maka itu merusak keikhlasan dan kemurnian tauhidnya dan di dalam dirinya terdapat bentuk penghambaan kepada makhluk sesuai dengan kadar ketergantungan hati kepada selain-Nya. Dan ini semuanya termasuk cabang kemusyrikan (lihat Kitab at-Tauhid; Risalah Kalimat al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, hlm. 49-50)
Demikian sekelumit catatan yang bisa disajikan dengan taufik dari Allah semata. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
# Penyusun : www.al-mubarok.com