Mengenal Tauhid [Bagian 41]

Bismillah.

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad, para sahabatnya, dan pengikut mereka yang setia. Amma ba’du.

Alhamdulillah pada kesempatan ini kita bisa berjumpa kembali untuk bersama-sama memetik faidah dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah. Dalam kesempatan ini kita masih membahas bab dakwah kepada syahadat laa ilaha illallah.

Pada bagian-bagian sebelumnya kita telah mengetahui keutamaan dakwah, bahwa dakwah tauhid merupakan jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pengikutnya. Dalam hadits tentang diutusnya Mu’adz juga kita mengambil faidah bahwa dakwah tauhid harus diprioritaskan sebelum dakwah yang lainnya. Berikutnya, penulis Kitab Tauhid membawakan hadits Sahl bin Sa’ad radhiyallahu’anhu yang menunjukkan keutamaan dakwah tauhid.

Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu’anhu, suatu ketika dalam peperangan Khaibar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, aku akan memberikan bendera ini kepada seorang pria yang melalui kedua tangannya Allah akan memberikan kemenangan, dia mencintai Allah dan rasul-Nya, dan Allah dan rasul-Nya pun mencintainya.” Sahl berkata: Maka di malam harinya orang-orang pun membicarakan siapakah kira-kira di antara mereka yang akan diberikan bendera itu. Sahl berkata: Ketika pagi harinya, orang-orang hadir dalam majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masing-masing dari mereka sangat mengharapkan untuk menjadi orang yang diberikan bendera itu. Kemudian, Nabi bersabda, “Dimanakah Ali bin Abi Thalib?”. Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, dia sedang menderita sakit di kedua matanya.” Sahl berkata: Mereka pun diperintahkan untuk menjemputnya. Kemudian, dia pun didatangkan lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meludahi kedua matanya dan mendoakan kesembuhan baginya maka sembuhlah ia. Sampai-sampai seolah-olah tidak menderita sakit sama sekali sebelumnya. Maka beliau pun memberikan bendera itu kepadanya. Ali berkata, “Wahai Rasulullah, apakah saya harus memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita?”. Beliau menjawab, “Berjalanlah dengan tenang, sampai kamu tiba di sekitar wilayah mereka. Lalu serulah mereka untuk masuk Islam dan kabarkan kepada mereka hak Allah yang wajib mereka tunaikan. Demi Allah, apabila Allah menunjuki seorang saja melalui dakwahmu itu lebih baik bagimu daripada kamu memiliki onta-onta merah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di dalam hadits ini terkandung dalil wajibnya berdakwah mengajak manusia kepada Islam. Dan bahwasanya musuh hendaklah didakwahi sebelum diperangi. Tidak boleh dimulai perang apabila dakwah belum disampaikan (lihat I’anatul Mustafid, 1/159)

Hadits ini juga memberikan pelajaran bahwa dakwah haruslah dilakukan secara bertahap. Orang kafir hendaklah diajak masuk Islam dengan mungucapkan dua kalimat syahadat. Kemudian setelah itu baru diperintahkan kepadanya untuk menunaikan kewajiban-kewajiban di dalam Islam. Selain itu hadits ini juga memberikan faidah bahwasanya Islam bukanlah sekedar penisbatan atau nama belaka, sebab di dalamnya harus ada ketundukan kepada konsekuensi dan kewajiban-kewajibannya. Inilah manhaj dalam berdakwah, tidak cukup hanya dengan penyandaran diri tanpa ada penjelasan tentang hakikat dan tuntutan kewajiban yang harus dilaksanakan (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hlm. 60 dan I’anatul Mustafid, 1/159-161 karya Syaikh Shalih al-Fauzan)

Hadits ini juga menunjukkan bahwa dakwah memberikan kebaikan dan keutamaan bagi pelakunya dan bagi orang-orang yang menerima dakwahnya. Orang yang berdakwah bisa mendapatkan pahala yang sangat besar sedangkan yang menerima dakwah bisa mendapatkan hidayah (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hlm. 60)

Dan yang dimaksud dengan dakwah mengajak manusia kepada agama Allah itu mencakup seruan kepada manusia untuk kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, ajakan untuk memurnikan ibadah kepada Allah, menerapkan hukum-hukum yang telah diturunkan Allah, inilah yang disebut dengan dakwah ila Allah. Ia bukan sekedar penyandaran diri atau slogan. Dakwah semacam inilah yang akan menuai keberhasilan walaupun buahnya baru akan tampak dalam waktu yang cukup lama (lihat I’anatul Mustafid, 1/162-163)

Diantara faidah lain yang bisa kita ambil dari hadits ini adalah disyari’atkannya mengutus para da’i. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu dalam rangka berdakwah sebelum ditegakkannya jihad (lihat I’anatul Mustafid, 1/163)

Hadits di atas juga menunjukkan besarnya semangat para sahabat dalam mendapatkan kebaikan. Mereka ingin meraih keutamaan sebagai orang-orang yang dicintai Allah dan rasul-Nya dan mencintai Allah dan rasul-Nya. Oleh sebab itu mereka mendiskusikan kira-kira siapakah orang yang akan mendapatkan bendera perang tersebut (lihat I’anatul Mustafid, 1/164)

Hadits ini juga menunjukkan kepada kita tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib bahwasanya beliau mencintai Allah dan rasul-Nya, bahkan Allah dan rasul-Nya juga mencintai dirinya, dan menunjukkan keimanan beliau secara lahir dan batin (lihat al-Mulakhash, hlm. 59)

Hadits ini juga memberi pelajaran kepada kita bahwa sesungguhnya pahala yang diperoleh seorang yang berdakwah karena menjadi perantara hidayah Allah sampai kepada orang lain itu jauh lebih berharga daripada harta dunia yang paling berharga (lihat al-Mulakhash, hlm. 59)

Hadits ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa sesungguhnya maksud utama dari jihad itu adalah menebarkan hidayah Islam kepada manusia dan mengajak manusia untuk masuk ke dalamnya, inilah tujuan yang harus selalu diperhatikan (lihat keterangan Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah dalam Qurratu ‘Uyun al-Muwahhidin, hlm. 41)

Dengan demikian bukanlah jihad itu untuk tujuan-tujuan dunia seperti memperluas daerah kekuasaan, menumpuk harta kekayaan, atau menunjukkan kehebatan dan kekuatan.

Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia sampai mereka mempersaksikan laa ilaha illallah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah melakukannya maka mereka telah menjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali ada alasan lain yang dibenarkan dalam Islam untuk mengambilnya. Adapun hisab atas mereka itu adalah urusan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu ‘Amr asy-Syaibani, dia berkata: Pemilik rumah ini -beliau mengisyaratkan dengan tangan menunjuk rumah Abdullah (Ibnu Mas’ud)- menuturkan kepadaku. Beliau berkata: Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amalan apakah yang lebih dicintai Allah ‘azza wa jalla?”. Beliau menjawab, “Sholat pada waktunya.” Aku bertanya lagi, “Lalu apa?”. Beliau menjawab, “Kemudian berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya lagi, “Lalu apa?”. Beliau menjawab, “Kemudian berjihad di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits Abu Musa radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berperang untuk meninggikan kalimat Allah maka dia itulah orang yang berjihad di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

*Hidayah Itu Mahal…*

Hidayah adalah kebutuhan hidup manusia yang paling utama. Bagaimana tidak, lha wong setiap hari di setiap kali sholat -bahkan di setiap raka’at- orang-orang yang beriman senantiasa diperintahkan untuk meminta hal itu kepada Rabbnya. Ihdinash shirathal mustaqim

Meskipun demikian, kita dapati sebagian orang -bahkan banyak di antara mereka- yang menyepelekan hidayah yang agung ini atau menyia-nyiakannya. Betapa banyak di antara mereka yang telah diberikan hidayah oleh Allah untuk memeluk agama Islam, mengucapkan dua kalimat syahadat, menjalankan sholat, membayarkan zakat, berpuasa Ramadhan, bahkan bisa menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Namun pada kenyataannya, tidak sedikit di antara mereka yang tidak menyadari betapa besar anugerah yang Allah berikan kepada mereka. Akibatnya mereka pun menyia-nyiakan nikmat yang agung ini. Nikmat hidayah, Subhanallah! 

Saudaraku, kisah berikut ini mungkin akan menyadarkan mereka yang lalai akan nikmat yang agung ini. Bukhari dan Muslim meriwayatkan di dalam Shahih mereka berdua, dari Sa’id bin al-Musayyab dari bapaknya, bahwa pada saat kematian sudah hampir menemui Abu Thalib -paman Nabi- maka datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya. Namun ternyata di sisi pamannya itu telah dijumpainya Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Wahai pamanku, ucapkanlah la ilaha illallah, sebuah kalimat yang aku akan bersaksi dengannya untukmu di sisi Allah.” Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah kamu benci kepada ajaran Abdul Muthallib -ayahmu-?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus menawarkan ajakan itu kepada pamannya dan mengulang-ulang ucapan tadi. Sampai pada akhirnya Abu Thalib mengatakan di akhir pembicaraannya kepada mereka bahwa dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib. Dia enggan mengucapkan la ilaha illallah… (lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [2/60-61])

Dari kisah ini kita dapat mengetahui betapa tinggi dan mahalnya nilai hidayah. Siapakah Nabi Muhammad dan siapakah Abu Thalib? Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang utusan Allah yang malaikat pun bersedia menawarkan bantuan kepadanya atas izin Allah. Adapun Abu Thalib adalah pamannya sendiri yang selama hidup senantiasa membela Nabi dan melindunginya dari tekanan dan ancaman kaum kafir Quraisy. Meskipun demikian, lihatlah… bagaimana kondisinya menjelang ajal. Di saat semua orang membutuhkan keimanan, di saat itu pun ternyata kalimat tauhid pun tidak kunjung dia ucapkan. Dia enggan, padahal dia telah mengetahui bahwa ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kebenaran. Memang taufik di tangan Allah…

Hidayah ini mahal wahai saudaraku…Oleh sebab itu, Allah mengingatkan kita bahwa jalan yang lurus ini adalah jalan orang-orang yang diberi kenikmatan oleh Allah, bukan jalan semua orang yang mencarinya. Ini artinya, orang hanya akan bisa berjalan di atas jalan yang lurus ini jika dia diberikan nikmat taufik dari Allah ta’ala, bukan semata-mata hasil jerih payah dan usaha dirinya sendiri. Hidayah itu adalah nikmat, wahai ikhwah (saudara-saudara) sekalian…

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan Abu Dawud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhuma, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu -karena Allah- janganlah kau lupakan untuk membaca doa di setiap akhir sholat, yaitu: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik ‘Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu’.” (Hadits ini disahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)

*Taufik Dari Allah*

Hidayah atau petunjuk itu -sebagaimana diterangkan para ulama- terbagi dua; hidayah berupa ilmu dan pemahaman dan hidayah berupa kesadaran dan taufik untuk melakukan amalan. Kedua macam hidayah ini selalu kita butuhkan. Hidayah yang pertama bisa kita peroleh melalui perantara siapa saja, baik dari ustadz, kiyai, guru, atau teman dan orang tua kita. Adapun hidayah yang kedua adalah khusus dimiliki dan hanya bisa diberikan oleh Allah semata. Sebagaimana dalam kisah yang masyhur tentang meninggalnya paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Abu Thalib yang tidak mau mengucapkan kalimat syahadat.

Nikmat hidayah ini -baik hidayah ilmu ataupun hidayah amalan- adalah sebesar-besar nikmat, dan yang terbesar diantara keduanya adalah nikmat hidayah berupa amalan alias hidayah taufik dan kesadaran. Sehingga dengan hidayah inilah kita bisa menjalankan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)

Beribadah kepada Allah adalah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sementara seorang hamba tidak akan bisa mewujudkan hal itu kecuali dengan petunjuk dan bantuan dari-Nya. Oleh sebab itu, setiap hari pula kita membaca ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ [hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan]; yang di dalamnya terkandung perintah untuk beribadah dan berdoa kepada Allah serta bertawakal dan memohon pertolongan kepada-Nya semata, laa haula wa laa quwwata illa billaah…

Tanpa bantuan dan pertolongan Allah, kita tidak bisa melakukan apa-apa. Apakah itu sholat, puasa, zakat, haji, sedekah, dakwah, dan lain sebagainya. Semuanya bisa terlaksana dengan rahmat dan taufik dari Allah kepada kita. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits sahih dan populer dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu yang mengisahkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh, Allah lebih penyayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada bayinya.” 

Apabila demikian, maka seharusnya ketaatan dan amalan yang kita lakukan semakin membuat kita merendah dan tunduk kepada Allah serta rendah hati kepada sesama. Demikianlah sifat Ibadurrahman; hamba-hamba pilihan yang diistimewakan Allah. Sebagaimana sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disebutkan dalam riwayat bahwa beliau dalam sehari bisa beristighfar sampai seratus kali. Demikian pula generasi terbaik umat ini -yaitu para sahabat- sebagaimana dikisahkan oleh seorang tabi’in Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah, “Aku telah berjumpa dengan tiga puluh orang Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara mereka semuanya merasa takut dirinya terjangkit kemunafikan.”

Ibrahim at-Taimi rahimahullah -seorang ulama dan ahli ibadah diantara tabi’in- bahkan mengatakan, “Tidaklah aku menghadapkan ucapanku kepada amalanku melainkan aku khawatir menjadi orang yang didustakan.” Maksudnya, karena berlainan antara ucapan dengan perbuatannya, hal itu beliau ucapkan dengan penuh ketawadhu’an. Padahal, siapakah mereka dan siapa pula kita? Tentu kita lebih pantas khawatir daripada mereka…

Karena itulah, semestinya semakin dalam ilmu yang kita peroleh dan semakin luas pengetahuan agama yang kita serap, maka rasa takut kepada Allah di dalam hati kita pun haruslah semakin besar. Bukankah Allah telah berfirman (yang artinya), “Hanya saja yang paling merasa takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya yaitu para ulama.” (Fathir)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi hakikat ilmu itu adalah khosy-yah/rasa takut kepada Allah.” Tidaklah kita ragukan bahwa menimba ilmu harus melalui riwayat -yaitu riwayat hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan juga kitab-kitab ulama. Meskipun demikian, semata-mata banyaknya hafalan dan koleksi buku bukanlah standar dan parameter keilmuan yang sebenarnya.

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah pernah mengatakan, “Seorang yang berilmu tetap dalam keadaan bodoh selama dia belum mengamalkan ilmunya, apabila dia telah mengamalkannya barulah dia menjadi seorang yang benar-benar ‘alim.” Inilah yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka niscaya Allah pahamkan kepadanya urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu).

Yang dimaksud dengan ‘fikih’ atau kepahaman agama yang menjadi ciri kebaikan seorang bukanlah semata-mata keluasan ilmu dan pengetahuan, akan tetapi ilmu yang membuahkan amalan, ketakwaan, dan rasa takut kepada Allah. Oleh sebab itu, ketika salah seorang salaf yang bernama Sa’ad bin Ibrahim rahimahullah ditanya, “Siapakah orang yang paling fakih diantara ulama di Madinah?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling bertakwa diantara mereka.”

Demikian sedikit catatan yang bisa disajikan, semoga bermanfaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

# Penyusun : www.al-mubarok.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *