Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, para ulama adalah pewaris nabi-nabi. Karena sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar atau dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu agama.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Kalaulah bukan karena keberadaan para ulama niscaya manusia tidak ada bedanya dengan binatang.”
Imam Bukhari rahimahullah membuat bab dalam Sahihnya dengan judul ‘Bab Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan’. Dalilnya adalah firman Allah (yang artinya), “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya tiada ilah/sesembahan yang benar selain Allah, dan mintalah ampunan bagi dosa-dosamu…” (Muhammad : 19) maka Allah mengawali dengan ilmu.
Dalam seri artikel ini insya Allah kami akan menyajikan informasi seputar kitab para ulama yang sarat faidah dan penting untuk diketahui oleh kaum muslimin secara umum dan para penimba ilmu secara khusus. Semoga Allah memudahkannya dan menjadikan hal ini bermanfaat bagi kita semua.
Pada bagian pertama ini kami akan mengenalkan sebuah kitab karya Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah yang berjudul Ta’liqat Mukhtasharah ‘ala Matn ‘Aqidah Thahawiyah -komentar ringkas terhadap matan Aqidah Thahawiyah-.
Penulis Kitab :
Kitab ini disusun oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah. Beliau adalah anggota lembaga tetap urusan fatwa di Kerajaan Saudi Arabia. Beliau juga anggota badan ulama besar di sana. Beliau memiliki banyak karya dan ceramah yang sarat akan faidah.
Asal Kitab Ini :
Pada asalnya isi kitab ini adalah hasil transkrip dari kaset-kaset beliau yang mengkaji kandungan faidah dari kitab Aqidah Thahawiyah karya Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah. Sebagaimana beliau terangkan dalam bagian mukadimah kitab ini (lihat di hal. 5)
Kerendahan Hati Penulis :
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah adalah seorang ulama yang tawadhu’. Salah satu buktinya adalah apa yang beliau sampaikan di bagian mukadimah kitab ini. Beliau berkata, “…Barangsiapa menemukan di dalamnya suatu kesalahan dariku, maka aku berharap agar dia memberitahukannya kepadaku mengenai hal itu. Dan aku pun berdoa semoga dia mendapatkan pahala dari Allah.” (lihat di hal. 5 dari kitab beliau tersebut)
Hal yang serupa beliau utarakan di dalam mukadimah karya beliau yang lain yaitu Syarh Aqidah al-Imam Muhammad ibn Abdil Wahhab. Beliau hafizhahullah berkata, “…Mudah-mudahan orang yang membacanya mendapatkan faidah darinya, atau memberitahukan kepadaku jika ada kesalahan di dalamnya…” (lihat Syarh ‘Aqidah al-Imam, hal. 6)
Kandungan Kitab Ini :
Sebagaimana bisa dilihat dari judulnya, kitab ini merupakan penjelasan ringkas terhadap kitab atau risalah dalam masalah aqidah yang disusun oleh Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah. Beliau -Imam ath-Thahawi- adalah seorang ulama yang hidup pada abad ke-3 hijriah dan tinggal di Mesir. Beliau disebut ath-Thahawi karena dinisbatkan kepada nama sebuah daerah di Mesir.
Di dalam ta’liq-nya ini Syaikh Shalih al-Fauzan menjelaskan mengenai tiga macam tauhid; tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat. Beliau juga menjelaskan bahwa diantara ketiga macam tauhid ini maka yang paling dituntut adalah tauhid uluhiyah. Adapun tauhid rububiyah semata maka itu belum bisa memasukkan ke dalam Islam.
Diantara kesimpulan dan faidah yang sangat berharga dari Syaikh al-Fauzan dalam kitab ini, beliau berkata, “… sesungguhnya semua firqah yang sesat yang baru maupun yang lama hanya memusatkan perhatian dalam perkara tauhid rububiyah…” Beliau menegaskan, “… dan hal ini tidaklah mencukupi… ” (lihat Ta’liqat Mukhtasharah, hal. 31)
Di dalam kitab ini, Syaikh al-Fauzan juga meluruskan penggunaan istilah ‘qadiim’ -yang terdahulu- untuk menyebut Allah. Karena sesungguhnya al-Qadiim bukanlah nama Allah. Meskipun demikian, beliau berhusnuzhan kepada Imam Abu Ja’far ath-Thahawi. Dimana ath-Thahawi di dalam risalahnya ini menyebut istilah ‘qadiim’ -mengenai Allah- dengan disertai tambahan ‘dan tanpa permulaan’. Hal ini menunjukkan kehati-hatian Imam at-Thahawi rahimahullah.
Kemudian di dalam kitab ini Syaikh menerangkan pokok-pokok keyakinan Ahlus Sunnah yang berkaitan dengan iman kepada Allah, iman kepada takdir, dan juga iman kepada rasul. Beliau juga menjelaskan sisi penyimpangan berbagai aliran sesat dan kelompok sempalan dalam masalah tauhid dan keimanan. Diantara kelompok sesat itu adalah kaum Mu’aththilah yang menolak menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah. Selain itu, ada juga kelompok Musyabbihah yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk.
Di dalam kitab ini beliau juga menegaskan kekafiran kelompok Ahmadiyah yang meyakini bahwasanya Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani adalah nabi. Karena mengklaim atau mendakwakan masih ada nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pendustaan terhadap Allah dan rasul-Nya. Pengkafiran terhadap kaum Ahmadiyah ini adalah perkara yang telah disepakati oleh kaum muslimin, sebagaimana dipaparkan oleh Syaikh al-Fauzan.
Syaikh al-Fauzan juga mengkritisi penggunaan sebutan ‘habiib’ bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab kata ‘habiib’ bermakna ‘orang yang dicintai’ sedangkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan saja dicintai bahkan lebih tinggi lagi; beliau telah mendapatkan derajat ‘khullah’ -yaitu derajat kecintaan yang tertinggi- sehingga beliau disebut Khalil ar-Rahman atau kekasih Allah.
Beliau juga menjelaskan keyakinan Ahlus Sunnah bahwasanya al-Qur’an adalah kalam/ucapan Allah. Hal ini menjadi bantahan bagi kaum yang menyimpang semacam Jahmiyah dan Mu’tazilah yang mengatakan bahwasanya al-Qur’an bukan kalam Allah.
Di dalam kitab ini, Syaikh juga menjelaskan tiga kelompok manusia dalam masalah syafa’at. Ada yang berlebihan dalam menetapkannya sehingga meminta syafa’at kepada orang yang sudah mati, berhala, pohon, dan batu. Ada yang berlebihan dalam menafikannya semacam Mu’tazilah dan Khawarij yang menolak adanya syafa’at bagi pelaku dosa besar. Adapun Ahlus Sunnah, mereka bersikap pertengahan dalam masalah syafa’at ini. Mereka mengimaninya sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah dan rasul-Nya tanpa berlebihan atau meremehkan.
:: Untuk mengunduh pdf kitab ini silahkan buka di sini [klik]
sungguh banyak ilmu yang terkandung di dalamnya….