Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.
Ibadah kepada Allah adalah tujuan penciptaan seluruh jin dan manusia. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah di dalam al-Qur’an. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)
Karena itulah, Allah mengutus para rasul untuk menerangkan hakikat dan kandungan ibadah kepada segenap umat. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)
Beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya. Inilah seruan segenap rasul kepada umatnya. Mengajak mereka untuk mentauhidkan Allah dan menjauhi segala bentuk kesyirikan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa sesungguhnya tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku -saja-.” (al-Anbiyaa’ : 25)
Oleh sebab itu perintah beribadah kepada Allah selalu disertai larangan beribadah kepada selain-Nya apa pun bentuknya dan siapa pun ia. Allah berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36)
Ibadah dan doa adalah hak Allah. Tidak boleh menujukan ibadah atau doa kepada selain Allah, karena hal itu termasuk perbuatan syirik kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian menyeru/berdoa bersama Allah siapa pun juga.” (al-Jin : 19)
Tidak mau berdoa kepada Allah adalah kesombongan, dan mempersekutukan Allah dalam hal ibadah adalah termasuk kekafiran dan kemusyrikan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabb kalian berfirman : Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku kabulkan permohonan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku maka mereka pasti akan masuk Jahannam dalam keadaan hina.” (Ghafir : 60)
Amal-amal tidak akan bernilai apabila disertai dengan syirik atau kekafiran. Hal ini pun telah diperingatkan oleh Allah kepada setiap nabi. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat syirik pasti lenyap seluruh amalmu, dan kamu benar-benar termasuk golongan orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)
Setiap amalan yang dilandasi dengan kekafiran atau dikerjakan tidak dengan keikhlasan maka hal itu akan sia-sia di hadapan Allah dan justru mendatangkan penyesalan bagi pelakunya kelak pada hari kiamat. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang telah mereka kerjakan, lalu Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)
Dalam hadits qudsi, Allah telah memberikan ancaman bagi para pelaku syirik dan orang-orang yang beramal tanpa disertai dengan keikhlasan. Allah berfirman, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa mengerjakan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya antara Aku dengan selain-Ku maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim)
Oleh sebab itu melakukan amal salih harus dilandasi dengan tauhid dan keikhlasan. Tanpa tauhid, tanpa keikhlasan dan tanpa keimanan maka amal-amal itu tidak akan diterima di sisi Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang menghendaki perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih, dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)
Ibadah kepada Allah adalah ibadah yang dilandasi dengan kecintaan dan pengagungan kepada-Nya. Kecintaan kepada Allah harus berada di atas kecintaan kepada segala sesuatu. Cinta inilah ruh dari ibadah dan ketaatan. Kecintaan yang diiringi dengan takut dan harapan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan kepada Allah, adapun orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” (al-Baqarah : 165)
Kecintaan kepada Allah melahirkan ketaatan kepada-Nya dan kesetiaan kepada tuntunan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena kesetiaan kepada tuntunan rasul adalah bukti kecintaan kepada Allah, dan ketaatan kepada nabi adalah ketaatan kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Jika kalian benar-benar cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imran : 31)
Iman kepada Allah dan iman kepada rasul adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Barangsiapa beriman kepada Allah maka dia wajib taat dan patuh kepada rasul. Karena Allah mengutus rasul untuk membawa petunjuk dan agama yang benar. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menaati rasul itu sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (an-Nisaa’ : 80)
Tidak akan benar keimanan seorang hamba sampai dia menjadikan ketetapan rasul sebagai solusi atas perselisihan yang terjadi diantara mereka. Allah berfirman (yang artinya), “Maka sekali-kali tidak, demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu sebagai hakim/pemutus perkara atas segala yang diperselisihkan diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam hati mereka atas apa yang telah kamu putuskan, dan mereka pun pasrah dengan sepasrah-pasrahnya.” (an-Nisaa’ : 65)
Oleh sebab itu telah menjadi sifat yang melekat pada diri kaum beriman untuk selalu tunduk dan menerima ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman atau perempuan yang beriman apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka pilihan lain bagi urusan mereka itu. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (al-Ahzab : 36)
Beribadah kepada Allah mengandung makna ketaatan kepada-Nya dan ketaatan kepada rasul-Nya. Maka siapa saja yang tidak mau tunduk kepada rasul sesungguhnya dia telah mengikuti hawa nafsunya. Allah berfirman (yang artinya), “Apabila mereka tidak memenuhi seruanmu maka ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka itu hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikutu hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim.” (al-Qashash : 50)
Beribadah kepada Allah mengandung dzikir kepada-Nya dan ketergantungan hati hanya kepada Allah semata. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah maka takutlah hati mereka, apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah imannya, dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (al-Anfaal : 2)
Dzikir kepada Allah adalah sebab hidupnya hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang senantiasa mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya adalah seperti orang yang hidup dengan orang yang mati.” (HR. Bukhari)
Allah tidak akan menerima amal-amal lahiriah apabila tidak bersumber dari ketakwaan di dalam hati. Allah berfirman (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging-dagingnya ataupun darah-darahnya, tetapi yang akan sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian.” (al-Hajj : 37)
Tidak ada artinya melakukan amal-amal secara lahiriah apabila tidak disertai keikhlasan dan ketakwaan dari dalam hati. Allah berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya hal itu berangkat dari ketakwaan hati.” (al-Hajj : 32)
Oleh sebab itu setiap amal harus dilandasi dengan keikhlasan dan niat yang benar dalam beribadah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu akan dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin dia peroleh atau wanita yang ingin dia nikahi maka hijrahnya sebatas kepada apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Orang-orang munafik yang dicela oleh Allah di dalam al-Qur’an merupakan gambaran orang-orang yang tidak ikhlas dalam beribadah dan sangat sedikit dalam mengingat Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan apabila mereka -orang munafik- hendak berdiri untuk sholat maka mereka berdiri dengan penuh kemalasan. Mereka riya’/mencari pujian kepada manusia dan tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (an-Nisaa’ : 142)
Orang-orang yang beramal tanpa keikhlasan dan keimanan adalah termasuk kelompok orang yang paling merugi amalnya. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya, yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia sementara mereka mengira bahwa dirinya telah melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104)