Bismillah.
Salah satu pelajaran berharga yang disampaikan oleh Imam Bukhari rahimahullah di dalam Sahih-nya adalah profil pendidik yang didambakan.
Imam Bukhari rahimahullah berkata :
وَيُقَالُ الرَّبَّانِيُّ الَّذِي يُرَبِّي النَّاسَ بِصِغَارِ الْعِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ
“Dikatakan -oleh sebagian ulama- bahwa orang yang rabbani adalah yang mendidik manusia dengan ilmu-ilmu yang kecil/dasar sebelum ilmu-ilmu yang besar/lanjutan.” (lihat Kitabul Ilmi dalam Sahih al-Bukhari)
Seorang murabbi/pendidik dituntut untuk memahami ilmu-ilmu yang dasar. Selain itu ia harus memahami mana saja perkara-perkara yang bersifat mendasar dan perkara yang bisa disampaikan kemudian. Karena ilmu ini sangatlah luas; ibarat lautan yang tak bertepi.
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma dan para ahli tafsir yang lain menjelaskan bahwa orang-orang yang rabbani adalah yang memiliki hikmah, ilmu dan kesantunan/tidak mudah marah. Hasan al-Bashri rahimahullah menambahkan bahwa mereka yang disebut rabbani adalah orang-orang yang memiliki fikih/pemahaman dalam agama. Beliau juga menyebutkan bahwa diantara kriteria sosok yang rabbani adalah ahli ibadah dan pribadi yang bertakwa (diringkas dari keterangan Syaikh Abdul Karim al-Khudhair hafizhahullah dalam rubrik fatwa beliau, sumber : https://shkhudheir.com/fatwa/24477)
Dari sini kita juga bisa mengambil faidah bahwa ilmu agama ini harus dipelajari mengikuti jalannya para ulama dan metode para nabi. Diantara metode Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengajarkan Islam adalah menggabungkan antara membacakan ayat-ayat Allah dan menyucikan jiwa-jiwa mereka serta mengajarkan al-Kitab dan hikmah/as-Sunnah. Inilah yang dikenal di kalangan para ulama dengan istilah tashfiyah dan tarbiyah. Tashfiyah atau pemurnian agama dan tarbiyah adalah pembinaan umat di atas ajaran yang telah dimurnikan tersebut. Selain itu di sana digabungkan antara ta’lim/pengajaran ilmu dengan tazkiyatun nafs/penyucian jiwa.
Para ulama pun telah menjelaskan bahwa pokok utama dan landasan terpenting untuk membersihkan jiwa adalah keimanan kepada Allah dan tauhid kepada-Nya. Oleh sebab itulah dakwah para nabi dan rasul senantiasa memberikan perhatian utama pada masalah tauhid dan aqidah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)
Termasuk perkara paling mendasar yang selalu ditekankan dalam dakwah Islam adalah keimanan terhadap hari akhir dan pembalasan atas amal. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)
Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang memperbanyak mengingat saat-saat datangnya maut kecuali pasti akan tampak pengaruhnya di dalam amalnya.” Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu adalah kumpulan hari demi hari. Setiap berlalu satu hari maka lenyaplah bagian dari dirimu.”
Ilmu agama ini ibarat tetesan air hujan yang membasahi bumi. Sejauh mana pengaruh air ini juga dipengaruhi oleh jenis tanah yang disirami. Begitulah keadaan hati manusia. Keadaan hati mereka berbeda-beda, sebagaimana keadaan tanah di permukaan bumi. Ada tanah yang keras dan tidak menyerap air, begitu pula hati ada yang keras dan belum bisa menyerap ilmu dengan baik. Di sana lah dibutuhkan sentuhan dzikir.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang senantiasa mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya seperti perumpamaan orang hidup dengan orang yang mati.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dzikir menjadi sebab hidupnya hati dan melembutkan nurani. Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan.
Para ulama juga menjelaskan bahwa seorang alim yang rabbani harus memiliki 3 sifat; berilmu, beramal dan berdakwah. Dengan ilmu dia akan menghilangkan kebodohan dari dirinya. Dengan amal dia akan menunaikan kewajibannya. Dan dengan berdakwah maka dia telah berupaya menebarkan kebaikan untuk sesama. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa pendidik yang rabbani bukan hanya memperbaiki keadaan dirinya, tetapi ia juga berjuang untuk memperbaiki keadaan masyarakatnya.
Semoga catatan singkat ini bermanfaat bagi kita semuanya.
Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com