Bismillah.
Kita mengakui, bahwa manusia memiliki potensi berbuat jahat, sebagaimana manusia juga berpotensi melakukan kebaikan. Allah telah mengilhamkan kepada jiwa jalan kefajiran atau ketakwaannya. Namun, yang beruntung ialah mereka yang menyucikan jiwanya…
Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan pelajaran kepada kita bahwa setiap manusia pasti banyak melakukan kesalahan dan sebaik-baik orang yang bersalah ialah yang selalu bertaubat kepada Rabbnya. Taubat dari dosa membuat pelakunya mendapatkan ampunan sekaligus kecintaan dari Allah. Taubat itulah jalan yang mengantarkan manusia meraih kebahagiaan.
Kita tentu masih teringat kisah kejujuran Ka’ab bin Malik radhiyallahu’anhu dan dua orang temannya yang sama-sama berbuat kesalahan karena tidak ikut terjun dalam medan perang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Taubat mereka telah diabadikan di dalam Kitabullah dan menjadi pelajaran bagi umat akhir zaman. Allah pun menerima taubat mereka dari atas langit sana… Sebuah kebahagiaan tak terkira bagi kaum beriman yang takut akan hukuman Rabbnya…
Kebahagiaan serupa juga dirasakan oleh para salaf ketika mereka telah mengenal islam dan mendapatkan taufik di atas kebenaran setelah sebelumnya bergelimang kejahatan. Hidayah itu sangat mahal dan sangat bernilai bagi mereka, sehingga mereka rela tinggalkan kemewahan dan kekuasaan demi menyelamatkan agama dan kehidupannya. Mereka tidak ingin termasuk golongan orang-orang yang ‘mengenali nikmat-nikmat Allah lalu justru mengingkarinya..’
Taubat itu hanya akan terbit ketika seorang hamba mengenali letak kekurangan, keteledoran, dan kesalahan dirinya. Dia akan berterus-terang di hadapan Rabbnya; bahwa dirinya telah bersalah dan bersimbah dosa. Tidak ada yang diharapkan olehnya selain ampunan dari Rabbnya.
Siapakah anda -wahai saudaraku- yang merasa bersih dari dosa dan kezaliman? Sementara manusia yang paling mulia setelah para nabi -yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq- telah diajari oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berkata di dalam doanya ‘Allahumma inni zhalatmu nafsi zhulman katsiira’ yang artinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku dengan banyak kezaliman…”
Wahai manusia, apa yang membuat kita pongah dan merasa hebat?
Apakah anda merasa hebat dengan tumpukan dosa dan genangan maksiat di dalam relung hati.. Apakah anda merasa tinggi dan mulia dengan kotoran kezaliman dan bercak kedurhakaan di dalam tingkah laku dan ucapan? Siapakah kita ini wahai saudaraku, bukankah kita adalah manusia yang kerapkali terjerumus dalam kesalahan?! Apa yang membuat kita enggan mengakui kesalahan? Apa yang membuat kita bertahan di atas kekeliruan?
Tidaklah mulia kaum yang bertakwa kecuali karena mereka terus menerus beristighfar dan bertaubat kepada Rabbnya. Semakin besar kedudukan Allah di mata seorang hamba semakin besar pula taubat dan istighfar yang dipanjatkannya. Karena dia menyadari bahwa hak-hak Allah jauh lebih besar daripada ketaatan yang dia kerjakan. Maka tidaklah dia memandang Rabbnya kecuali senantiasa mencurahkan kebaikan, dan tidaklah dia menilai dirinya kecuali penuh dengan kekurangan…
Semoga nasihat ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.