Melepas Kepergianmu

Bismillah.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, tidak terasa bulan Ramadhan sudah mendekati penghujung waktu. Saat-saat perpisahan dengan bulan penuh berkah akan menggelayuti jiwa umat beriman. Tidak terbayang suasana hati yang menjalar ke dalam segenap anggota badannya.

Bulan Ramadhan saat-saat begitu berharga dalam hidup manusia. Saat-saat kebaikan terbuka lebar dan keburukan dibendung serta ampunan dilimpahkan kepada hamba-hamba Allah. Pada setiap malam Ramadhan ada orang-orang yang Allah bebaskan dari api neraka. Sungguh saat-saat paling indah dan paling mulia yang dijumpai oleh insan beriman dalam hidupnya.

Saat dimana pelajaran dari ayat-ayat al-Qur’an mewarnai relung-relung hati dan membasahi bibir para pembacanya. Nasihat demi nasihat mengalir dan menyiram hati umat beriman. Hati yang hidup dengan dzikir dan ketaatan. Sebab hakikat kehidupan adalah hidupnya hati, bukan kehidupan jasad dan pemuasan hawa nafsu kebinatangan tanpa kendali. Orang beriman disebut oleh Allah sebagai orang yang hidup sedangkan orang kafir digelari sebagai orang-orang yang mati.

Ramadhan memberikan semangat bagi kita untuk terus berupaya memperbaiki diri dengan iman dan amal salih. Menempa kesabaran dan mengasah keikhlasan. Ramadhan menjadi madrasah untuk menyuburkan nilai-nilai ketakwaan. Sehingga akan melahirkan pribadi-pribadi mulia; yang menjadikan akhirat sebagai puncak cita-citanya dan dunia sebagai ladang amal baginya. Sebagaimana dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, “Jadilah kalian anak-anak pengejar akhirat, dan janganlah kalian menjadi anak-anak pemuja dunia…”

Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Orang-orang yang malang dari penduduk dunia; mereka keluar darinya dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.” Orang-orang bertanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu yang paling nikmat di dunia?” beliau menjawab, “Yaitu mengenal Allah ‘azza wa jalla.” Hal ini memberikan faidah bagi kita bahwa kenikmatan iman dan amal salih sebagai perwujudan pengenalan hamba kepada Allah merupakan kebahagiaan tertinggi bagi umat manusia; sebuah kenikmatan ruhiyah di dunia yang mereka dapati sebelum kenikmatan surga di akhirat kelak bagi kaum beriman.

Inilah yang dimaksud oleh sebagian ulama, “Sesungguhnya di dunia ini ada sebuah surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya maka dia tidak akan memasuki surga di akhirat.” Ridha kepada ketetapan dan aturan Allah, beribadah kepada-Nya dengan ikhlas; inilah surga dunia yang hanya bisa dirasakan oleh ahli tauhid dan kaum beriman. Sebagaimana diungkapkan oleh sebagian ulama terdahulu, “Seandainya para raja dan putra-putra mahkota mengetahui kenikmatan yang kami rasakan niscaya mereka akan berupaya merebutnya -kalau pun bisa- dari kami bahkan kalau perlu dengan cara ‘mencambuki’ tubuh kami dengan pedang-pedangnya.” 

Inilah yang disebut dengan istilah lezatnya iman atau manisnya iman. Sebuah kenikmatan dan kelezatan ruhiyah yang dirasakan oleh kaum mukminin dalam melakukan ketaatan kepada Allah dan menjauhi kedurhakaan kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pasti merasakan lezatnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)

Akan tetapi Allah lah yang menghiasi iman di dalam hati mereka dan membuat mereka cinta kepada iman serta membenci kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan. Allah pula yang menganugerahkan kepada mereka itu hidayah dan keimanan; karena Allah mahamengetahui keadaan hati hamba-hamba-Nya; siapakah diantara mereka yang pantas diberi tambahan hidayah dan siapa yang lebih layak dibiarkan terombang-ambing dalam kesesatan dengan keadilan dari-Nya.

Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia justru mengikuti selain jalan kaum beriman, maka akan Kami biarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan masukan dia ke dalam Jahannam; dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’ : 115)

Nikmatnya beribadah di bulan Ramadhan tidak bisa digambarkan dengan seutuhnya hanya dengan kata-kata atau video dokumentasi dan rekaman wawancara. Nikmatnya beribadah di bulan Ramadhan hanya bisa dirasakan oleh kaum beriman. Nikmatnya menahan diri dari apa-apa yang Allah larang pada siang hari semata-mata karena Allah dan menjalankan perintah-Nya. Sebagaimana dijelaskan para ulama bahwa hikmahnya adalah agar kita menahan diri dari segala hal yang diharamkan sepanjang umur kita. Karena itulah puasa menjadi medan penggemblengan sifat sabar. Sebagaimana dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu -dalam sebuah riwayat- bahwa sabar dalam iman seperti kepala pada tubuh manusia; apabila kepala itu putus maka tubuhnya pun akan binasa alias mati. Sehingga, tidak ada iman pada diri orang yang tidak punya kesabaran.

Bulan Ramadhan adalah saat-saat paling berharga dalam umur manusia. Karena pada bulan itulah terjadi lailatul qadar; sebuah malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk mencari-cari malam itu dengan cara bersungguh-sungguh dalam beribadah terutama pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Sungguh kesempatan yang sangat berharga! Pada waktu-waktu inilah akan kita lihat sejauh mana kesungguhan hamba dalam mendekatkan diri kepada Rabbnya.

Apabila Allah berikan taufik kepada kita untuk beramal salih pada bulan ini maka sungguh itu merupakan kenikmatan dan anugerah dari Allah. Dan apabila sebaliknya bulan Ramadhan ini hanya menjadi ajang untuk bermalas-malasan dan berbuat kesia-siaan maka merugilah mereka yang tidak mendapatkan ampunan Allah pada bulan penuh kebaikan ini… Meskipun demikian, kita tidak boleh ujub dengan amal kita -seandainya kita dimudahkan beramal di bulan ini- sebagaimana kita juga tidak boleh putus asa atau membuat orang putus asa akibat dosanya; sebab pintu taubat itu tetap terbuka selama matahari belum terbit dari barat dan taubat masih diterima selama nyawa belum berada di tenggorokan. Demikianlah sifat orang mukmin; beribadah kepada Allah dengan sayap roja’/harapan dan sayap khouf/rasa takut kepada Allah.

Apabila bulan Ramadhan ini kita isi dengan dzikir, kebaikan, dan ketakwaan maka niscaya keimanan kita akan semakin kuat dan bertambah kokoh. Karena iman tidak cukup bermodal pengakuan lisan dan slogan-slogan atau angan-angan belaka. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang tertancap di dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal perbuatan. Oleh sebab itu orang beriman tidak meremehkan dosanya. Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Seorang mukmin melihat dosanya seperti dia sedang duduk di bawah sebuah gunung; dia khawatir dunung itu akan runtuh menimpa dirinya.” (HR. Bukhari). Karena dosa dan maksiat akan melemahkan iman dan menjadi sebab kemurkaan Allah. Oleh sebab itu Ramadhan mewariskan kesadaran untuk bertaubat atas segala dosa bagi mereka yang menyerap nilai-nilai ketakwaan dan penghambaan.

Yang menjadi inti adalah kita harus berusaha menyesuaikan diri dengan kehendak Allah kepada kita, bukan kita hanya mau patuh kepada Allah kalau dalam hal-hal yang sesuai dengan keinginan kita. Inilah yang diungkapkan oleh sebagian ulama ‘kun ma’a muradihi minka wa laa takun ma’a muradika minhu’ artinya, “Jadilah anda mengikuti kehendak-Nya (Allah) atas diri anda, dan jangan anda menjadi orang yang patuh kepada kehendak diri anda terhadap-Nya.” 

Banyak orang memberikan ekspresi kepuasan ketika ibadah kepada Allah itu sesuai dengan keinginan atau tradisi dan pemikirannya. Akan tetapi pada saat ibadah kepada Allah berseberangan dengan hawa nafsu, tradisi dan pemikirannya mereka pun terdiam membisu seolah tidak diberi nikmat apa-apa. Sebagaimana Allah berhak diberi penghambaan pada kondisi senang maka demikian pula Allah berhak mendapat penghambaan pada kondisi susah dan sempit. Banyak orang bisa kembali ke jalan tauhid ketika diberi musibah, dan sebaliknya tidak sedikit orang yang justru arogan dan bergelimang dosa ketika diberi nikmat kelapangan harta dan ketinggian jabatan. Di sinilah karakter penghambaan itu diuji pada diri manusia.

Allah berfirman (yang artinya), “Apakah manusia itu mengira mereka dibiarkan begitu saja mengatakan ‘kami beriman’ kemudian mereka tidak diuji? Sungguh Kami telah memberikan cobaan kepada orang-orang sebelum mereka agar Allah benar-benar mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dan siapakah orang-orang yang dusta.” (al-’Ankabut : 2-3)

Karena itulah seorang ulama terdahulu bernama Abu Hazim rahimahullah berkata, “Setiap nikmat yang tidak semakin membuatmu dekat kepada Allah maka itu adalah malapetaka.” Artinya jika anda diberi harta dan semakin banyak berbuat dosa itu artinya harta itu telah menjadi malapetaka bagi keimanan dan kehidupan hati anda. Begitu pula apabila Allah berikan nikmat kesehatan dan waktu luang tetapi ternyata anda semakin larut dalam kenistaan maka sesungguhnya nikmat-nikmat itu telah berubah menjadi malapetaka akibat ‘kesalahan diri anda sendiri’. Sebabnya adalah karena manusia tidak bersyukur kepada Allah; tidak menggunakan nikmat dalam hal yang dicintai-Nya. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah bahwa nikmat itu apabila disyukuri akan tetap bertahan, tetapi apabila dikufuri maka ia akan lenyap.

Apabila kita telah mengetahui betapa besar keutamaan dan hikmah yang tersimpan dari bulan Ramadhan -dengan segala ibadah yang disyari’atkan di dalamnya- maka tentu anda akan bisa merasakan betapa besar kesedihan yang menggelayuti jiwa insan beriman dengan kepergian bulan penuh berkah ini… Mereka berdoa kepada Allah agar ibadah mereka diterima. Mereka pun berharap kepada Allah agar dosa-dosanya diampuni. Mereka tidak bisa memastikan amalnya telah diterima oleh Allah. Sebab orang yang diterima amalnya adalah mereka yang telah mencapai derajat takwa. Sehingga seorang ulama mengatakan, “Seandainya aku mengetahui Allah telah menerima dariku sebuah sujud saja niscaya aku berangan-angan untuk mati saat ini juga.”

Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa amal-amal itu ditentukan pada akhir penutupnya. Apa yang terjadi pada akhir umur kita itulah yang menentukan keadaan kita di akhirat kelak. Dan barangsiapa yang hidup dan cinta di atas suatu perkara maka dia akan meninggal di atas keadaan itu pula, karena Allah tidak pernah menzalimi hamba-hamba-Nya. Marilah kita periksa keadaan iman kita masing-masing; sudahkan Ramadhan ini menjadi gerbang kebaikan dan pahala bagi kita, ataukah Ramadhan ini hanya menjadi musim kuliner dan ketawa-ketiwi sembari menelantarkan sholat dan menyia-nyiakan waktu malam-malam Ramadhan dalam kelalaian?!

Wahai saudaraku! Apakah kematian bisa membuatmu nyaman dalam maksiat dan kedurhakaan? Apakah waktu yang berlalu ini kau biarkan pergi begitu saja tanpa ada pahala dan ampunan yang kamu kejar? Apakah Ramadhan telah lenyap dari ingatanmu sehingga bulan dibelenggunya setan justru membuatmu semakin merajalela dengan hawa nafsu dan penyimpangan?

Wahai saudaraku… adakah Ramadhan masih tersimpan dalam memorimu? Tidakah engkau malu menghadap Allah dalam keadaan meninggalkan perintah-Nya dan menerjang larangan-larangan-Nya? Siapakah aku dan siapakah kamu sehingga kita begitu lancang mengabaikan kemuliaan Ramadhan dan menganggapnya seperti angin lalu. Seolah-olah kita sedang berkata kepada semarak ibadah Ramadhan itu dengan kalimat, “Biarlah Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.” Subhanallah! Apakah Ramadhan sudah benar-benar tidak lagi bernilai bagimu, wahai saudaraku?!

Semoga nasihat Nabi-mu shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa mengetuk kesadaranmu, “Ramadhan yang satu menuju Ramadhan berikutnya akan menjadi sebab penghapus dosa-dosa (kecil) apabila dosa-dosa besar itu dijauhi.” (HR. Muslim). Dari sinilah kita menyadari bahwa puasa Ramadhan bukan sekedar menahan haus dan lapar. Puasa Ramadhan yang sejati adalah yang membangkitkan kita dari kelalaian dan mendorong kita untuk terus berjalan di atas kebaikan dan keimanan. Oleh sebab itulah para ulama kita mengatakan, “Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal Allah kecuali hanya pada saat bulan Ramadhan.”

Orang-orang semacam itu ketika Ramadhan pergi dia akan kembali kepada kejahatan dan kekejian. Bagaimana mungkin kita taat kepada Allah selama bulan Ramadhan kemudian di 11 bulan berikutnya kita dengan leluasa durhaka kepada Allah tanpa menyimpan sedikit pun rasa malu dan takut kepada-Nya?! Inikah yang disebut-sebut bahwa idul fitri sebagai hari kemenangan? Siapakah yang menang kalau begitu? Anda, ataukah Iblis?

# Penyusun : Redaksi al-mubarok.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *