Malu Kepada Allah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya salah satu diantara ajaran kenabian yang paling pertama dimengerti oleh manusia ialah; Apabila kamu tidak malu maka berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari)

Hadits yang agung ini berisi penjelasan tentang pentingnya rasa malu kepada Allah. Dan rasa malu kepada Allah itu terwujud dengan tidak melawan-Nya dalam bentuk maksiat-maksiat dan tidak meremehkan ketaatan (lihat al-Haya’ minallah oleh Syaikh as-Suhaimi, hal. 2)

Inilah hakikat rasa malu kepada Allah. Rasa malu yang sebenarnya dan paling utama ialah anda malu kepada Allah; dan hal itu dibuktikan dengan cara melaksanakan kewajiban yang Allah tetapkan dan menjauhi segala hal yang Allah larang. Anda senantiasa merasa diawasi oleh Allah baik pada saat senang maupun susah. Pada saat bersemangat maupun ketika lemah semangat. Ketika anda mengalami kesulitan maupun ketika anda mendapatkan kemudahan. Inilah hakikat rasa malu kepada Allah (lihat al-Haya’ minallah, hal. 2)

Oleh sebab itu orang yang tidak punya rasa malu kepada Allah; niscaya dia akan melakukan segala sesuatu yang terbetik dalam pikirannya atau yang dibisikkan oleh hawa nafsunya, atau yang disukai oleh qarin dan setan yang menyertainya. Apabila dia tidak punya rasa malu kepada Allah maka dia tidak akan peduli apa pun yang dia kerjakan, tidak peduli apa pun yang telah dia tinggalkan, sehingga dia terus saja bergelimang dengan maksiat, teledor dalam hal ketaatan, dan setan pun mempermainkannya dengan mudah. Setan membujuk dan merayunya untuk menunda-nunda taubat. Sampai akhirnya dia berpisah dengan dunia ini dalam keadaan tidak berjalan di atas petunjuk, kita berlindung kepada Allah dari hal itu (lihat al-Haya’ minallah, hal. 2)

Seorang muslim yang sejati dan memiliki sifat ihsan, maka dia akan selalu merasa diawasi oleh Allah. Sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa ihsan itu adalah, “Anda beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya. Dan jika anda tidak bisa -beribadah- seolah-olah melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat anda.” (HR. Muslim)

Hakikat ihsan itu adalah dengan selalu merasa diawasi oleh Allah, baik pada saat sembunyi -tidak dilihat orang- maupun ketika terang-terangan -bersama orang lain-. Perasaan diawasi oleh Allah atau muraqabah ini tentu saja menuntut kita untuk terus mengevaluasi apa saja yang telah kita ucapkan, apa yang kita pikirkan, apa yang kita yakini, apa yang kita kerjakan sehari-hari, dan segala urusan kita. Kita harus ber-muhasabah dan mengevaluasi diri mumpung kita masih hidup di alam dunia ini. Sebagaimana nasihat Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, “Hisablah diri-diri kalian, sebelum kalian kelak akan dihisab…” (lihat al-Haya’ minallah, hal. 3-4)

Saudaraku yang dirahmati Allah, apakah kita tidak merasa malu; apabila seorang yang buta matanya saja bersemangat untuk hadir di majelis ilmu di pagi hari -ketika sebagian orang terlelap tidur sehabis subuh; padahal waktu pagi adalah waktu yang sarat dengan barokah- sementara sebagian dari kita yang Allah berikan anugerah mata yang bisa melihat justru bermalas-malasan…

Ya Allah, berikanlah taufik kepada saudara-saudara kami untuk bersegera menyambut seruan-Mu dan melangkahkan kaki mereka untuk menimba ilmu… Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu (agama) maka Allah mudahkan untuk mereka dengan sebab itu jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

—–

12959419_1126149990738724_1443654006_o

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *