Bismillah.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menjelaskan bahwa iman itu meliputi ucapan dengan lisan, diamalkan dengan anggota badan, dan diyakini dengan hati. Iman bertambah dengan ketaatan dan menjadi berkurang karena kemaksiatan (lihat Irsyadul ‘Ibad ila Ma’ani Lum’atil I’tiqad oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak, hlm. 80-81)
Imam Ibnu Abi Zamanin al-Andalusi rahimahullah (wafat 399 H) mengatakan bahwa para ulama ahlus sunnah menyatakan bahwa iman mencakup keikhlasan kepada Allah dari dalam hati, mengucapkan syahadat dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan disertai niat yang baik dan sesuai dengan sunnah/tuntunan (lihat Ushul as-Sunnah, hlm. 143)
Imam Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah (wafat 386 H) dalam Muqaddimah Risalah-nya mengatakan bahwa iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan diamalkan dengan anggota badan. Iman bertambah dengan bertambahnya amal dan berkurang dengan berkurangnya amal (lihat ‘Aqidatu as-Salaf Muqaddimah Ibni Abi Zaid, hlm. 60)
Imam Isma’il bin Yahya al-Muzanni rahimahullah (wafat 264 H) dalam risalahnya Syarhus Sunnah menyatakan bahwa iman adalah ucapan dan amalan disertai keyakinan di dalam hati, ucapan dengan lisan dibarengi amalan dengan anggota badan. Kedua hal ini -iman dan amal- adalah dua hal yang berdampingan. Tidak ada iman tanpa amal dan tidak ada amal tanpa iman (lihat Isma’il ibn Yahya al-Muzanni wa Risalatuhu Syarhus Sunnah, hlm. 77-78)
Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah menjelaskan bahwa iman dalam pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mencakup keyakinan hati, ucapan lisan, dan amalan dengan anggota badan. Ketiga hal ini tercakup dalam sebutan iman (lihat Kutub wa Rasa’il, 4/140)
Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah menyimpulkan bahwa iman dalam pandangan ulama Ahlus Sunnah mencakup empat hal; pembenaran hati, ucapan lisan, amalan hati, dan amal anggota badan (lihat As’ilah wa Ajwibah fil Iman wal Kufr, hlm. 12-13)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat 728 H) menerangkan bahwasanya salah satu pokok aqidah Ahlus Sunnah bahwa agama dan iman ini mencakup ucapan dan amalan; ucapan hati dan lisan serta amalan hati, amal lisan, dan amalan anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan (lihat Syarh Syaikh Ibn Baz ‘alal Wasithiyah, hlm. 106)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa hakikat iman dalam pandangan Ahlus Sunnah adalah ucapan dengan lisan, keyakinan di dalam hati, dan diamalkan dengan anggota badan. Oleh sebab itu amal tercakup dalam hakikat iman. Amal bukan bagian terpisah di luar iman. Barangsiapa mencukupkan diri dengan ucapan lisan dan pembenaran hati tanpa melakukan amalan maka dia bukan pemilik iman yang benar (lihat at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘ala Matn al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hlm. 145-146)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah juga menjelaskan sebab kesesatan Murji’ah adalah karena mereka melakukan irja’/menunda; yaitu mengeluarkan amal dari hakikat iman. Mereka menganggap amal bukan bagian dari iman. Sehingga dalam pandangan mereka orang itu tetap mukmin walaupun dia tidak melakukan amal sama sekali, walaupun dia tidak sholat, tidak puasa, dan tidak berhaji. Dia tidak mengamalkan apapun. Walaupun dia melakukan maksiat apapun maka dia tetap mukmin, menurut Murji’ah. Dan menurut mereka pelaku maksiat itu tetap sempurna imannya meskipun dia berzina dan mencuri (lihat Syarh ‘Aqidah al-Imam, hlm. 37)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah juga menerangkan kesalahan sebagian ulama pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) yang berpendapat bahwa iman itu pembenaran hati dan diucapkan dengan lisan. Mereka mengeluarkan amal dari hakikat iman. Oleh sebab itu mereka disebut dengan istilah Murji’ah-nya Fuqaha’ atau Murji’ah-nya Ahlus Sunnah. Mereka menganggap amal bukan bagian dari hakikat iman. Akan tetapi menurut mereka amal adalah syarat atau penyempurna bagi iman. Apa yang mereka sampaikan itu jelas sebuah kesalahan. Meskipun demikian, dibandingkan kelompok Murji’ah yang lain mereka adalah kelompok yang paling ringan kesalahannya (lihat Silsilah Syarh Rasa’il al-Imam Muhammad ibn Abdil Wahhab, hlm. 202)
Syaikh al-Albani rahimahullah (wafat 1420 H) termasuk ulama yang menegaskan bahwa iman meliputi ucapan dan amalan, sementara amal salih merupakan bagian dari hakikat iman. Beliau juga berpandangan bahwasanya amal merupakan rukun/pilar yang mendasar di dalam iman (lihat Juhud al-Imam al-Albani Nashir as-Sunnah wa ad-Din fi Bayani ‘Aqidati as-Salaf, hlm. 81)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah (wafat 1421 H) menanggapi sebagian orang yang menuduh Syaikh al-Albani berpaham Murji’ah. Beliau mengatakan, “Orang yang menuduh al-Albani berpaham Murji’ah sungguh dia telah keliru. Bisa jadi dia tidak mengenal al-Albani, atau justru dia yang tidak mengenal hakikat paham Murji’ah.” (lihat ad-Durar adz-Dzahabiyah, hlm. 151)
Kelompok yang menganggap iman cukup dengan ucapan lisan adalah Karramiyah. Kelompok yang beranggapan bahwa iman cukup dengan keyakinan hati adalah Asy’ariyah. Kelompok yang menganggap bahwa iman cukup dengan keyakinan hati dan ucapan lisan adalah Hanafiyah. Pemahaman yang benar adalah pemahaman para ulama Ahlus Sunnah yang menegaskan bahwa iman itu harus mencakup keyakinan hati, ucapan lisan dan amal anggota badan (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan dalam Syarh Ushul al-Iman, hlm. 44-45)
Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah (wafat 161 H) berkata, “Iman itu adalah ucapan, amalan, dan niat. Ia bertambah dan berkurang. Bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. Tidak boleh berucap kecuali harus disertai amal. Tidak boleh berucap dan beramal kecuali harus dilandasi niat. Dan tidak boleh berucap, beramal, dan berniat kecuali apabila sesuai dengan sunnah/tuntunan.” (lihat al-Jami’ fi ‘Aqa’id wa Rasa’il, hlm. 113)
Imam al-Humaidi rahimahullah (wafat 219 H) mengatakan, “Dan sesungguhnya iman itu berupa ucapan dan amalan. Ia bertambah dan berkurang. Tidak bermanfaat ucapan tanpa amalan. Dan tidak bermanfaat amalan dan ucapan kecuali apabila disertai dengan niat. Dan tidak bermanfaat ucapan, amalan, maupun niat kecuali apabila sesuai dengan sunnah/tuntunan.” (lihat sumber nukilan dari kitab al-Jami’ fi ‘Aqa’id wa Rasa’il Ahlis Sunnah, hlm. 269)
Imam Syafi’i rahimahullah (wafat 204 H) berkata, “Telah menjadi kesepakatan diantara para sahabat dan tabi’in beserta para ulama sesudah mereka yang kami jumpai, bahwa iman itu ucapan, amalan, dan niat. Salah satunya saja tidak cukup apabila tidak disertai bagian yang lainnya.” (lihat nukilan di kitab at-Takfir wa Dhawabithuhu, hlm. 22 karya Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili)
Oleh sebab itu seorang yang meninggalkan semua amal lahiriah padahal dia telah bersyahadat dan juga mengakui kewajiban-kewajiban agama hanya saja dia tidak melakukan amal lahiriah sama sekali, maka orang semacam ini bukanlah mukmin (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam As’ilah wa Ajwibah fil Iman wal Kufr, hlm. 27)
Adapun anggapan bahwa amalan anggota badan itu cukup dengan ucapan lisan (syahadat) adalah pendapat yang keliru. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengingkari seorang bernama Syababah yang menganggap ketika orang berucap -dengan kalimat syahadat- maka dia telah beramal dengan anggota badannya. Imam Ahmad berkomentar, “Ini pendapat yang sangat buruk/keji. Aku tidak pernah mendengar seorang pun mengatakannya dan tidak pula sampai kepadaku yang semacam itu.” (lihat sumber nukilan dalam Aqwal Dzawil ‘Irfan, hlm. 98)
Diantara ulama terdahulu yang menegaskan bahwa iman mencakup pembenaran hati, ucapan lisan, dan amal dengan anggota badan adalah Imam al-Aajurri rahimahullah (wafat 360 H) sebagaimana tercantum dalam kitabnya asy-Syari’ah, dan beliau menyatakan bahwa orang dikatakan beriman apabila terkumpul padanya ketiga unsur ini (lihat Aqwal Dzawil ‘Irfan, hlm. 103)
Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah (wafat 1392 H) menjelaskan bahwa iman dalam pandangan ulama salaf mencakup ucapan dengan lisan, keyakinan dalam hati, dan amalan dengan anggota badan. Apabila orang itu tidak mengikrarkan syahadat dengan lisannya padahal dia mampu maka dia bukan mukmin. Barangsiapa yang mengucapkan syahadat dengan lisan tetapi tidak meyakininya dalam hati maka dia adalah munafik. Barangsiapa yang tidak beramal dengan hati dan anggota badannya maka dia juga bukan mukmin (lihat Hasyiyah Durrah Mudhiyyah, hlm. 71)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa iman mencakup perkataan hati, perkataan lisan, amalan hati dan amalan anggota badan. Perkataan hati adalah pembenaran dan pengakuannya. Sedangkan amalan hati maksudnya adalah kehendaknya, tawakalnya dan semacamnya dari gerak-gerik hati. Perkataan lisan yaitu ucapannya. Adapun amalan anggota badan maksudnya adalah melakukan -perintah- dan meninggalkan -larangan- (lihat Mudzakkirah ‘alal Aqidah al-Wasithiyah, hlm. 72)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan bahwa yang dimaksud amal anggota badan -dalam cakupan pengertian iman- adalah; bergeraknya anggota badan untuk melakukan ibadah dan ketaatan, meninggalkan maksiat serta menahan diri dari berbagai perbuatan maksiat (lihat Syarh Lum’atil I’tiqad, hlm. 175)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud amal-amal anggota badan adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Dan amal anggota badan yang dimaksud di sini menurut Ahlus Sunnah adalah jenis amalan (lahiriah) bukan semua amalan (lahiriah), artinya orang yang beriman harus ada padanya amalan hati, amalan lisan, dan amal anggota badan (lihat al-La’aali al-Bahiyyah fi Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyah, 2/376)
Meskipun demikian, para ulama Ahlus Sunnah berbeda pendapat mengenai orang yang meninggalkan empat rukun Islam setelah dua kalimat syahadat; apakah dia berstatus kafir ataukah tidak, dengan catatan dia masih mengakui kewajibannya. Adapun orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat sementara dia mampu maka dia kafir secara lahir dan batin dengan kesepakatan para ulama. Pendapat yang masyhur diantara para fuqoha’/ahli fikih adalah tidak kafirnya orang yang meninggalkan salah satu atau keempat rukun Islam setelah syahadat itu selama dia masih mengakui kewajibannya. Adapun pendapat yang lebih kuat –wallahu a’lam– bahwa diantara keempat rukun Islam itu apabila ditinggalkan maka tidaklah menjadikannya kafir selain sholat (maksudnya orang itu tidak sholat sama sekali, pen). Dan pendapat yang menyatakan kafirnya orang yang meninggalkan sholat ini merupakan pendapat mayoritas para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abdullah bin Syaqiq rahimahullah berkata, “Para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melihat sesuatu amalan yang apabila ditinggalkan menjadi kafir selain daripada sholat.” (lihat keterangan Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah dalam kitabnya Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Bida’ wal Ahwa’, 1/172-177)
Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah menjelaskan bahwa diantara ulama yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan sholat karena malas adalah banyak ulama fikih belakangan dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah dan Hanabilah. Mereka berpendapat bahwa orang yang meninggalkan sholat karena malas tidak keluar dari Islam. Meskipun demikian Syaikh lebih memilih pendapat Imam Ahmad dan bahkan dinyatakan sebagai ijma’ para sahabat yang menyatakan kafirnya, berdasarkan dalil-dalil yang ada (lihat Syarh Ushul as-Sunnah, hlm. 143)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah pun telah menjelaskan adanya perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai hukum orang yang meninggalkan sholat karena malas. Sebagian ulama menyatakan ia kafir sedangkan sebagian yang lain tidak. Syaikh juga menyebutkan bahwa pendapat yang tidak mengkafirkan ini adalah pendapat jumhur ulama. Meskipun demikian beliau juga memilih pendapat Imam Ahmad dan para ulama muhaqqiq yang menyatakan kafirnya berdasarkan dalil-dalil yang ada. Wallahu a’lam (lihat Tashil al-Ilmam, 2/9-10)
Semoga sedikit catatan ini bermanfaat. Wallahul muwaffiq.